Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran: Syarat dan Jenis Layanan
Apa Itu Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan Perannya?
Definisi Cepat: Memahami Inti dari PJP
Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), atau lebih umum dikenal sebagai Payment Service Providers, adalah badan usaha yang perannya sangat sentral dalam ekonomi digital saat ini. PJP menyediakan layanan untuk memfasilitasi transaksi pembayaran yang beragam, mencakup mulai dari transfer dana antar rekening, pembayaran digital menggunakan e-wallet, hingga layanan penarikan uang tunai di berbagai lokasi. Secara sederhana, PJP adalah jembatan yang memungkinkan uang berpindah dengan aman dan efisien dari satu pihak ke pihak lain, baik secara online maupun offline.
Pentingnya Lisensi PJP untuk Kepercayaan Pengguna
Artikel ini hadir sebagai panduan komprehensif mengenai regulasi PJP di Indonesia, dengan fokus utama pada persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dan strategi untuk peningkatan kualitas layanan. Dalam ekosistem yang serba digital dan rentan terhadap risiko siber, memiliki lisensi resmi dari otoritas seperti Bank Indonesia adalah bukti kredibilitas dan keandalan operasional. Proses perizinan yang ketat dan kepatuhan terhadap regulasi memastikan bahwa PJP memiliki standar keamanan data dan tata kelola yang memadai, sehingga menumbuhkan keyakinan publik terhadap sistem pembayaran yang mereka gunakan.
Regulasi Terbaru: Jenis-Jenis Kategori Izin PJP Bank Indonesia
Kategori Lisensi PJP: Dari Inisiasi Pembayaran hingga Pemrosesan Akhir
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran telah menetapkan kerangka regulasi yang jelas untuk lembaga penyedia jasa pembayaran (PJP) guna memastikan stabilitas dan keamanan. Berdasarkan lingkup kegiatan dan risiko yang melekat, Bank Indonesia mengklasifikasikan PJP ke dalam tiga kategori lisensi utama: Kategori I (luas), Kategori II (menengah), dan Kategori III (terbatas). Pembagian ini memungkinkan BI untuk menerapkan persyaratan perizinan, modal, dan manajemen risiko yang proporsional sesuai dengan kompleksitas layanan yang ditawarkan oleh setiap lembaga.
Sebagai contoh konkret, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran secara eksplisit mengatur kategorisasi ini, yang bertujuan untuk memperkuat kredibilitas industri pembayaran di Indonesia. Kategori I mencakup layanan PJP yang paling luas, termasuk penerbitan instrumen pembayaran dan pemrosesan transaksi yang sangat kompleks, seperti penerbitan uang elektronik atau layanan transfer dana. Sebaliknya, Kategori III memiliki ruang lingkup terbatas, seringkali berfokus pada layanan inisiasi pembayaran atau penyediaan informasi rekening.
Perbedaan fungsional yang paling signifikan terlihat antara Kategori I dan Kategori II, terutama dalam kemampuan memproses layanan transfer dana dan penerbitan instrumen pembayaran. Kategori I dikenakan persyaratan yang jauh lebih ketat, khususnya pada modal minimum dan tata kelola risiko, karena mereka memegang peranan krusial dalam infrastruktur pembayaran nasional. Lembaga dalam Kategori I sering kali merupakan pemain besar yang beroperasi pada skala nasional dan memiliki dampak sistemik yang lebih besar jika terjadi kegagalan operasional.
Memahami Arsitektur Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI)
Sistem kategorisasi PJP ini tidak dapat dilepaskan dari visi Bank Indonesia mengenai Arsitektur Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). ASPI adalah kerangka kebijakan yang memandu transformasi sistem pembayaran, memastikan sinergi antara regulasi, inovasi, dan perlindungan konsumen. Dalam konteks ASPI, PJP berfungsi sebagai operator yang mengimplementasikan berbagai inisiatif seperti open API dan standardisasi QR Code (QRIS).
Dalam kerangka ASPI, PJP yang memiliki lisensi di ketiga kategori diwajibkan untuk menjunjung tinggi prinsip kepercayaan publik melalui kepatuhan operasional dan keamanan data yang sangat tinggi. Hal ini mengharuskan PJP memiliki sumber daya manusia yang memiliki keahlian mendalam di bidang cybersecurity dan kepatuhan regulasi, serta infrastruktur teknologi yang teruji. Kepatuhan terhadap ASPI bukan sekadar syarat perizinan, melainkan merupakan strategi penting untuk menunjukkan kapabilitas dan keandalan lembaga di mata regulator dan pengguna.
Persyaratan Administrasi dan Keuangan untuk Mendapatkan Lisensi PJP
Mendapatkan izin sebagai lembaga penyedia jasa pembayaran (PJP) adalah langkah strategis yang membutuhkan komitmen modal dan kepatuhan administratif yang ketat. Persyaratan ini dirancang oleh Bank Indonesia (BI) untuk memastikan bahwa setiap entitas memiliki fondasi keuangan yang stabil dan tata kelola yang bertanggung jawab, yang krusial untuk melindungi dana publik dan menjaga integritas sistem pembayaran.
Kriteria Modal Minimum Berdasarkan Kategori Lisensi PJP
Persyaratan modal disetor minimal untuk PJP bervariasi secara signifikan antar kategori lisensi, yang mencerminkan tingkat risiko dan lingkup layanan yang diperbolehkan. Perbedaan ini merupakan mekanisme mitigasi risiko yang fundamental; semakin luas dan kompleks layanan pembayaran yang disediakan (misalnya, untuk PJP Kategori I), semakin besar pula modal yang diwajibkan. Hal ini bertujuan untuk menjamin stabilitas keuangan entitas, sehingga mampu menyerap potensi kerugian operasional dan menjaga keberlangsungan layanan.
| Kategori Lisensi PJP | Layanan Inti | Persyaratan Modal Minimum (Rp) | Sumber Data Kredibel |
|---|---|---|---|
| Kategori I | Mencakup layanan transfer dana dan penerbitan instrumen pembayaran yang luas. | 100 Miliar | Situs Resmi Bank Indonesia |
| Kategori II | Layanan menengah, terbatas pada sebagian fitur Kategori I. | 25 Miliar | Situs Resmi Bank Indonesia |
| Kategori III | Layanan terbatas, seperti Payment Gateway sederhana. | 5 Miliar | Situs Resmi Bank Indonesia |
Data perbandingan modal minimum ini, yang wajib diverifikasi melalui situs web resmi Bank Indonesia, secara jelas menunjukkan upaya regulator untuk membedakan operator berkapasitas besar dari entitas dengan lingkup operasional yang lebih kecil, sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan finansial setiap PJP.
Dokumen Administratif Kunci: Dari Struktur Korporasi hingga Rencana Bisnis
Proses aplikasi lisensi PJP membutuhkan penyampaian serangkaian dokumen administratif dan hukum yang sangat terperinci. Selain kelengkapan dokumen dasar korporasi—seperti akta pendirian, susunan dewan direksi dan komisaris, serta profil pemegang saham—salah satu dokumen terpenting yang menentukan kesuksesan aplikasi adalah Rencana Bisnis (Business Plan).
Rencana Bisnis yang diserahkan harus bersifat komprehensif dan mencakup proyeksi keuangan yang realistis selama periode minimal tiga tahun. Dokumen ini tidak hanya mengevaluasi potensi keuntungan, tetapi juga secara mendalam membahas analisis risiko operasional (termasuk risiko siber dan sistem), dan strategi kepatuhan terhadap regulasi. Selain itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban otoritas dan keandalan operasional, Rencana Bisnis wajib menguraikan secara eksplisit strategi pencegahan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT). PJP harus dapat membuktikan bahwa mereka memiliki sistem dan prosedur internal yang canggih untuk mengidentifikasi dan melaporkan transaksi mencurigakan, sebuah aspek yang sangat penting untuk membangun reputasi yang solid di mata regulator dan publik.
Mengoptimalkan Kepercayaan: Pilar Utama Peningkatan Reputasi Lembaga Jasa Pembayaran
Reputasi bagi lembaga penyedia jasa pembayaran (PJP) adalah mata uang yang paling berharga. Reputasi PJP sangat bergantung pada kejelasan tata kelola (governance) yang diterapkan dan kepemimpinan yang memegang kendali. Sebuah organisasi akan dipandang memiliki kewenangan dan keandalan jika para pemimpinnya memiliki rekam jejak yang kuat dan teruji di industri keuangan atau teknologi. Ketidakjelasan struktur kepemilikan dan manajemen senior yang kurang berpengalaman dapat dengan cepat merusak keyakinan publik, berpotensi memicu kekhawatiran dari regulator dan pengguna, bahkan sebelum layanan diluncurkan secara luas. Untuk membangun kredibilitas yang berkelanjutan, fokus harus diletakkan pada fondasi organisasi yang kuat dan transparan.
Pengalaman dan Keahlian: Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di PJP
Keberhasilan operasional PJP modern tidak hanya terletak pada teknologi canggih, tetapi juga pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Program pelatihan berkelanjutan yang berfokus pada teknologi finansial, keamanan siber, dan regulasi kepatuhan terbaru adalah investasi vital. PJP yang menunjukkan komitmen pada peningkatan keahlian timnya — mulai dari developer yang memahami enkripsi mutakhir hingga tim kepatuhan yang mengikuti setiap amandemen Peraturan Bank Indonesia — secara implisit membangun otoritasnya di mata regulator dan mitra bisnis. Kepercayaan ini berakar pada keyakinan bahwa orang-orang di balik sistem pembayaran memiliki pengetahuan dan kapabilitas untuk menjaga keamanan dana dan data nasabah.
Otoritas dan Keandalan: Standar Keamanan Data dan Anti-Fraud yang Diperlukan
Dalam ekosistem digital, data adalah aset yang perlu dilindungi secara ketat. Bukti nyata bahwa suatu PJP dapat dipercaya adalah melalui kepemilikan sertifikasi keamanan data internasional seperti ISO 27001, yang membuktikan adanya Sistem Manajemen Keamanan Informasi (SMKI) yang telah diuji dan diakui secara global. Selain itu, audit eksternal rutin oleh pihak independen menjadi penekanan penting yang berfungsi sebagai bukti transparansi dan perlindungan konsumen. Ketika sebuah lembaga secara sukarela membuka diri untuk diaudit, ini mengirimkan pesan kuat tentang keandalannya.
Sebagai contoh studi kasus nyata, kita dapat melihat dampak kegagalan perlindungan data. Di masa lalu, beberapa kasus pelanggaran data (tanpa menyebut nama institusi) yang mengakibatkan kebocoran informasi pribadi nasabah telah menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi pengguna dan hilangnya izin operasional bagi penyedia layanan. Insiden ini menegaskan bahwa tanpa standar keamanan yang ketat dan prosedur anti-fraud yang solid, seluruh sistem kepercayaan akan runtuh, jauh melampaui kerugian finansial jangka pendek.
Untuk benar-benar meraih kepercayaan publik dan menunjukkan otoritasnya, PJP harus mendemonstrasikan proses resolusi keluhan yang cepat, adil, dan transparan. Melampaui standar perlindungan konsumen minimum Bank Indonesia (BI) adalah kunci. Ini berarti menyediakan saluran komunikasi yang mudah diakses (24/7), menjamin Service Level Agreement (SLA) untuk penanganan keluhan, dan berkomitmen untuk mengembalikan dana yang hilang akibat kesalahan sistem secara proaktif. Kecepatan dan integritas dalam menangani masalah adalah indikator utama bahwa PJP menempatkan kepentingan pengguna di atas segalanya, yang merupakan inti dari kredibilitas dan keandalan dalam layanan keuangan.
Layanan Inti yang Ditawarkan oleh Lembaga Jasa Pembayaran Modern
Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) modern adalah tulang punggung ekosistem keuangan digital, menawarkan beragam layanan yang melampaui sekadar pemrosesan transaksi dasar. Inovasi PJP telah mengubah cara konsumen dan bisnis melakukan interaksi finansial, menjadikannya lebih cepat, mudah, dan terintegrasi.
E-Wallet dan Uang Elektronik: Memfasilitasi Pembayaran Ritel Harian
Layanan dompet digital (e-wallet) dan uang elektronik adalah jenis layanan PJP yang paling dikenal luas oleh masyarakat. Layanan ini memungkinkan pengguna untuk menyimpan nilai uang secara elektronik pada instrumen berbasis server atau chip, yang kemudian dapat digunakan untuk transaksi tanpa tunai di berbagai merchant fisik maupun online. Dengan nilai uang yang tersimpan, pengguna dapat melakukan pembayaran ritel harian seperti membeli makanan, membayar transportasi, hingga tagihan bulanan secara instan, menghilangkan kebutuhan untuk membawa uang tunai fisik.
Kepercayaan publik terhadap layanan ini sangat bergantung pada aspek otoritas dan keandalan dari PJP penerbit. Pengguna harus merasa yakin bahwa dana mereka aman dan dapat diakses kapan saja. Oleh karena itu, PJP yang menawarkan e-wallet diwajibkan oleh Bank Indonesia untuk menerapkan sistem keamanan data berlapis dan proses Know Your Customer (KYC) yang ketat. Kepatuhan terhadap regulasi ini adalah bukti komitmen dan pengalaman PJP dalam melindungi aset konsumen.
Gerbang Pembayaran (Payment Gateway) dan Transfer Dana Lintas Platform
Di ranah bisnis digital dan e-commerce, Gerbang Pembayaran (Payment Gateway) memegang peran vital. Layanan ini bertindak sebagai jembatan teknologi antara merchant, bank, dan PJP lain. Fungsinya adalah memvalidasi dan mengamankan detail pembayaran dari pelanggan ke bank atau lembaga keuangan yang relevan.
Salah satu fungsi krusial yang harus dipenuhi oleh PJP yang memfasilitasi transfer dana adalah kepatuhan terhadap standar domestik dan internasional, khususnya dalam hal interoperabilitas dan kecepatan. Di Indonesia, PJP harus mendukung dan mematuhi standar domestik seperti BI-FAST (Bank Indonesia Fast Payment). Sistem ini memastikan bahwa transfer dana antar bank atau antar PJP dapat diproses secara real-time, 24/7, dengan biaya yang efisien, dan memiliki daya tahan yang tinggi. Kemampuan untuk memproses transfer dana secara cepat dan aman melalui sistem terintegrasi adalah manifestasi langsung dari keahlian operasional PJP.
Inovasi teknologi yang didorong oleh PJP telah menghasilkan solusi yang sangat bermanfaat bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Banyak PJP kini menawarkan integrasi API (Application Programming Interface) yang memungkinkan bisnis kecil untuk menerima pembayaran dengan berbagai metode—seperti Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), Virtual Account (VA), dan kartu kredit—secara mulus di website atau aplikasi mereka. Integrasi ini mengurangi kompleksitas teknis dan biaya bagi merchant, yang pada gilirannya mendorong percepatan adopsi digital. Fleksibilitas ini tidak hanya meningkatkan pengalaman pengguna tetapi juga meningkatkan efisiensi pasar secara keseluruhan, menjadikannya layanan penting dalam lanskap keuangan modern.
Strategi Sukses: Mengelola Risiko dan Kepatuhan PJP di Era Digital
Di era digital yang bergerak cepat, keberhasilan sebuah lembaga penyedia jasa pembayaran (PJP) tidak lagi hanya bergantung pada inovasi layanan, tetapi secara fundamental berakar pada kemampuan untuk mengelola risiko dan mempertahankan kepatuhan regulasi yang ketat. Kepatuhan (atau compliance) terhadap kerangka hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dan lembaga terkait lainnya harus dipandang bukan sekadar kewajiban, melainkan sebagai aset strategis utama. Dengan mematuhi standar yang ada, sebuah PJP tidak hanya terhindar dari potensi denda operasional dan sanksi yang memberatkan, tetapi juga secara aktif membangun kredibilitas dan memupuk kepercayaan di mata regulator, mitra, dan konsumen.
Untuk itu, setiap PJP wajib merancang dan menerapkan kerangka kerja manajemen risiko yang komprehensif. Kerangka ini harus mencakup identifikasi, penilaian, mitigasi, dan pemantauan berkelanjutan terhadap semua risiko yang melekat pada operasi mereka, mulai dari risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, hingga risiko operasional dan siber. Salah satu praktik penting adalah stres-testing sistem, sebuah proses simulasi yang dirancang untuk memprediksi potensi kegagalan sistematis saat menghadapi kondisi ekstrem, seperti volume transaksi yang melonjak tajam saat puncak hari libur atau serangan siber. Pengujian ini memastikan sistem PJP tetap tangguh dan mampu memberikan layanan tanpa interupsi, yang merupakan elemen vital dalam mempertahankan pengalaman pengguna yang andal.
Mitigasi Risiko Siber: Melindungi Data Pengguna dari Ancaman Digital
Risiko siber adalah ancaman terbesar yang dihadapi oleh PJP. Layanan pembayaran digital menuntut PJP untuk menyimpan dan memproses data pribadi dan keuangan sensitif dalam volume besar. Oleh karena itu, strategi mitigasi risiko siber harus menjadi prioritas utama. Ini mencakup implementasi enkripsi end-to-end yang kuat, sistem deteksi intrusi real-time, dan pembaruan protokol keamanan secara berkala.
Para pemimpin PJP harus memiliki pengalaman dan keahlian yang mendalam dalam keamanan informasi. Hal ini memastikan bahwa semua keputusan operasional mempertimbangkan implikasi keamanan, dan perusahaan dapat menanggapi insiden siber dengan cepat dan efektif. Secara rutin, PJP harus melibatkan pihak ketiga independen untuk melakukan audit keamanan (penetration testing) guna mengidentifikasi kerentanan sebelum dieksploitasi oleh pihak tak bertanggung jawab. Bukti transparansi dan perlindungan konsumen ini adalah prasyarat dasar untuk mendapatkan dan menjaga otoritas dan keandalan di pasar.
Pentingnya Program Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT)
Program Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT) merupakan fondasi integritas operasional sebuah PJP. Bank Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) secara ketat mengawasi implementasi program ini, mengingat peran PJP sebagai pintu gerbang aliran dana.
PJP wajib memiliki kebijakan dan prosedur APU PPT yang mencakup:
- Customer Due Diligence (CDD): Proses verifikasi identitas pengguna yang ketat dan berkelanjutan.
- Enhanced Due Diligence (EDD): Prosedur pengawasan yang lebih mendalam untuk transaksi berisiko tinggi atau pelanggan dengan profil risiko tinggi.
- Pemantauan Transaksi: Sistem yang mampu mendeteksi dan melaporkan transaksi mencurigakan kepada pihak berwenang (PPATK) secara tepat waktu.
Kepatuhan yang kuat terhadap APU PPT bukan hanya tentang menghindari sanksi hukum; ini adalah cara fundamental bagi PJP untuk mendemonstrasikan tata kelola yang baik dan komitmen terhadap sistem keuangan yang bersih dan aman. Untuk mendapatkan perspektif mendalam mengenai standar kepatuhan yang diharapkan di sektor jasa pembayaran dan dampak dari risiko-risiko ini, para profesional didorong untuk secara rutin meninjau laporan atau studi yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dokumen-dokumen ini sering kali memuat panduan rinci dan temuan audit yang menjadi acuan penting untuk mengukur dan meningkatkan kepatuhan sektor PJP.
Pertanyaan Umum Seputar Lisensi dan Operasi Jasa Pembayaran
Q1. Apakah setiap bisnis yang menerima pembayaran digital wajib memiliki izin PJP?
Tidak semua bisnis yang menerima pembayaran digital wajib memiliki Izin Penyedia Jasa Pembayaran (PJP). Kewajiban lisensi ini secara spesifik ditujukan kepada badan usaha yang bertindak sebagai perantara utama (intermediary) dalam memfasilitasi transfer dana, penerbitan instrumen pembayaran (seperti e-wallet), atau penyelesaian transaksi. Sederhananya, jika perusahaan Anda membangun dan mengoperasikan infrastruktur inti pembayaran yang menghubungkan pembeli dan penjual—seperti payment gateway atau operator e-wallet—maka izin PJP dari Bank Indonesia (BI) sangatlah wajib.
Pengecualian berlaku untuk merchant atau toko ritel yang hanya bertindak sebagai penerima akhir dana. Misalnya, sebuah toko daring kecil yang menggunakan layanan payment gateway berlisensi atau menerima pembayaran melalui platform e-wallet yang sudah diizinkan, tidak perlu memiliki izin PJP sendiri. Pengecualian tertentu juga mungkin berlaku untuk agregator kecil yang lingkup kegiatannya terbatas dan sepenuhnya bergantung pada PJP yang sudah berizin. Untuk mengetahui status kepatuhan, sangat disarankan untuk memeriksa Peraturan Bank Indonesia terbaru.
Q2. Berapa lama proses pengajuan dan penerbitan izin PJP oleh Bank Indonesia?
Proses pengajuan dan penerbitan izin Penyedia Jasa Pembayaran oleh Bank Indonesia (BI) adalah proses yang kompleks dan memakan waktu, biasanya membutuhkan waktu antara 6 hingga 12 bulan. Durasi ini bergantung pada beberapa faktor krusial, termasuk kelengkapan dan kualitas dokumen yang diserahkan, kompleksitas model bisnis PJP yang diusulkan, dan proses due diligence internal BI.
Tahapan kunci yang memakan waktu adalah evaluasi menyeluruh terhadap rencana bisnis, struktur kepemilauan, dan terutama, proses uji coba sistem (regulatory sandbox). Dalam sandbox, PJP harus mendemonstrasikan bahwa sistem teknologinya andal, aman, dan mematuhi semua standar kepatuhan, khususnya terkait perlindungan konsumen dan keamanan data. Keterlambatan sering terjadi jika BI meminta klarifikasi atau perbaikan pada sistem manajemen risiko atau aspek tata kelola (governance).
Kesimpulan Akhir: Masa Depan Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran di Indonesia
Tiga Pilar Kunci Keberhasilan PJP: Lisensi, Kepercayaan, dan Inovasi
Dalam lanskap keuangan digital Indonesia yang terus berevolusi, Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) menempati posisi sentral sebagai fasilitator utama transaksi ekonomi. Untuk beroperasi dan berhasil bersaing di pasar yang dinamis ini, terdapat tiga pilar fundamental yang harus dipatuhi. Memperoleh lisensi PJP dari Bank Indonesia (BI) dan mempertahankan standar kredibilitas yang tinggi bukan hanya sekadar kewajiban regulasi, tetapi merupakan prasyarat fundamental yang membuka pintu bagi pertumbuhan. Lisensi adalah bukti otoritas resmi, sementara kredibilitas yang dibangun melalui keamanan data, tata kelola yang baik, dan resolusi keluhan yang transparan menunjukkan pengalaman dan keahlian dalam melayani konsumen. Pilar ketiga, Inovasi, memastikan PJP tetap relevan dengan terus mengintegrasikan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi dan jangkauan layanan pembayaran.
Langkah Berikutnya untuk Calon PJP
Bagi badan usaha yang berencana terjun sebagai Lembaga Penyedia Jasa Pembayaran, proses aplikasinya adalah sebuah perjalanan yang membutuhkan ketelitian dan persiapan menyeluruh. Langkah pertama yang kritis adalah melakukan tinjauan mendalam atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) terbaru—terutama yang berkaitan dengan Arsitektur Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI)—untuk memastikan semua persyaratan modal, administrasi, dan teknis telah dipenuhi. Sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum atau konsultan fintech yang memiliki rekam jejak teruji dalam proses perizinan BI. Keahlian eksternal ini akan membantu menyusun Rencana Bisnis yang kuat, merancang kerangka kerja manajemen risiko yang komprehensif, dan menavigasi kompleksitas proses uji coba sistem (sandbox) sebelum memulai proses aplikasi izin resmi.