Konsekuensi Hukum Tidak Melaporkan PPh Pasal 23 Jasa Pembayaran
Memahami PPh Pasal 23: Konsekuensi Tidak Melaporkan Jasa Pembayaran
PPh Pasal 23 adalah salah satu jenis pajak penghasilan yang seringkali menjadi fokus pengawasan oleh otoritas pajak, terutama dalam transaksi bisnis yang melibatkan jasa. Kelalaian dalam pemotongan dan pelaporan atas jasa pembayaran dapat memicu sanksi dan denda yang signifikan. Memahami dasar hukum dan kewajiban pelaporan adalah langkah awal yang krusial untuk menjaga kesehatan finansial dan legal perusahaan Anda.
Apa Itu PPh Pasal 23 dan Kewajiban Pemotongannya?
Pada dasarnya, PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong oleh pihak pemberi penghasilan (pemotong pajak) atas pembayaran yang dilakukan kepada Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 meliputi modal (seperti bunga, dividen, royalti), penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 (gaji/upah). Secara spesifik, setiap transaksi yang melibatkan jasa pembayaran kepada penyedia jasa di Indonesia wajib dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto, asalkan penyedia jasa tersebut memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang valid. Kewajiban ini melekat pada perusahaan Anda sebagai pemotong pajak, yang harus menyetor dan melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Mengapa Kepatuhan PPh 23 Penting untuk Kepercayaan Bisnis?
Kepatuhan dalam pelaporan PPh Pasal 23 bukan hanya tentang menghindari denda, tetapi juga membangun kepercayaan dan kredibilitas bisnis di mata regulator dan mitra kerja. Artikel ini secara komprehensif akan mengupas tuntas mengenai sanksi, denda, dan langkah-langkah korektif yang perlu Anda ambil jika terjadi kelalaian tidak melaporkan PPh Pasal 23 atas transaksi jasa pembayaran. Pengetahuan mendalam ini memastikan Anda tidak hanya terhindar dari masalah hukum, tetapi juga menunjukkan komitmen perusahaan terhadap tata kelola yang baik dan transparan. Konsistensi dalam mematuhi regulasi perpajakan yang berlaku adalah pilar utama dalam membangun fondasi bisnis yang kuat dan berkelanjutan.
Sanksi Administratif dan Denda Jika Tidak Melaporkan PPh Pasal 23 Tepat Waktu
Kegagalan untuk memenuhi kewajiban perpajakan, khususnya terkait dengan pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas jasa pembayaran, dapat menimbulkan serangkaian konsekuensi finansial dan hukum yang signifikan bagi Wajib Pajak. Sanksi ini dirancang untuk memastikan disiplin dan kepatuhan dalam sistem perpajakan nasional. Memahami besaran denda dan bagaimana ia dihitung adalah langkah pertama dalam mitigasi risiko.
Perhitungan Denda Keterlambatan Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23
Kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23 sangat diwajibkan, dengan batas waktu paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Berdasarkan ketentuan terbaru dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), khususnya Pasal 7 ayat (1), keterlambatan pelaporan SPT Masa dikenai sanksi administrasi berupa denda.
Denda yang dikenakan atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 23 ditetapkan sebesar Rp100.000 untuk setiap SPT yang terlambat disampaikan. Ketetapan denda ini bersifat per SPT, sehingga jika terjadi kelalaian dalam beberapa bulan, denda akan diakumulasikan sesuai dengan jumlah SPT Masa yang belum dilaporkan. Sebagai contoh praktis, dalam praktik kami sebagai konsultan pajak, kami pernah menangani kasus sebuah perusahaan di sektor teknologi yang terlambat melaporkan SPT Masa PPh 23 selama tujuh bulan berturut-turut. Meskipun total PPh 23 yang terutang pada beberapa bulan tersebut nihil, perusahaan tersebut tetap dikenai denda sebesar $7 \times \text{Rp}100.000 = \text{Rp}700.000$ karena kelalaian formalitas pelaporan. Ini menunjukkan betapa ketatnya penegakan aturan formalitas pelaporan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sanksi Bunga Penagihan dan Dampak pada Audit Pajak
Selain denda keterlambatan pelaporan, Wajib Pajak juga berpotensi dikenakan sanksi bunga penagihan jika terjadi kekurangan pembayaran PPh Pasal 23. Bunga ini timbul ketika PPh Pasal 23 yang telah dipotong (atau seharusnya dipotong) tidak disetor ke kas negara tepat waktu.
Bunga penagihan dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan secara periodik oleh Menteri Keuangan (diperbarui setiap bulan) dan dikenakan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran hingga tanggal pelunasan dilakukan. Mekanisme perhitungannya sangat jelas dalam UU KUP, di mana bunga dihitung secara proporsional. Sanksi ini dihitung dari jumlah pajak yang kurang atau terlambat dibayar. Sebagai contoh, jika terdapat kekurangan setoran PPh Pasal 23 sebesar Rp50.000.000 yang terlambat dibayar selama dua bulan, maka perhitungannya akan melibatkan tarif bunga per bulan yang berlaku dikalikan dengan kekurangan setoran tersebut, dan dikalikan dengan jumlah bulan keterlambatan.
Dampak paling serius dari ketidakpatuhan ini adalah dampaknya pada profil risiko perpajakan perusahaan. Kelalaian berulang dalam pelaporan dan penyetoran dapat meningkatkan skor risiko perusahaan di mata DJP, yang pada akhirnya dapat memicu pemeriksaan pajak yang lebih mendalam dan menyeluruh (all taxes audit). Pemeriksaan ini tidak hanya fokus pada PPh Pasal 23, tetapi dapat meluas ke semua jenis pajak lain seperti PPN dan PPh Badan, sehingga berpotensi menimbulkan koreksi pajak dan sanksi yang jauh lebih besar. Kepatuhan yang konsisten adalah fondasi untuk membangun hubungan yang sehat dan terpercaya dengan otoritas pajak, mengurangi kemungkinan intervensi audit yang memakan waktu dan biaya.
Identifikasi Transaksi Jasa Pembayaran yang Wajib Dipotong PPh Pasal 23
Pemahaman yang akurat mengenai jenis-jenis transaksi yang termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23, terutama dalam sektor jasa pembayaran yang terus berkembang, sangat penting. Kesalahan identifikasi dapat berakibat pada koreksi dan sanksi dari otoritas pajak. Secara umum, setiap jasa pembayaran yang melibatkan transfer dana atau penampungan dana dapat termasuk dalam objek PPh Pasal 23. Kewajiban pemotongan ini muncul jika pihak penyedia jasa adalah Wajib Pajak dalam negeri dan layanan tersebut tidak termasuk dalam pengecualian yang diatur.
Jasa Penyelenggara Layanan Pembayaran (Payment Gateway) dan PPh 23
Layanan yang disediakan oleh Penyelenggara Layanan Pembayaran (Payment Gateway) merupakan salah satu contoh paling relevan dalam transaksi jasa pembayaran modern. Ketika sebuah entitas bisnis, seperti e-commerce, menggunakan layanan payment gateway untuk memproses transaksi pelanggan, komisi atau fee yang dibayarkan kepada penyedia layanan tersebut wajib dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto. Hal ini didasarkan pada ketentuan mengenai jasa lain yang dikenakan PPh 23. Perlu diperhatikan bahwa pemotong PPh 23 adalah entitas yang membayar fee tersebut (pengguna jasa), bukan sebaliknya. Mengacu pada pengalaman audit pajak, kasus kelalaian pemotongan pada fee payment gateway sering menjadi temuan koreksi utama karena perlakuan pajak atas transaksi ini sering diabaikan.
Kriteria Jasa Lain yang Terkait Pembayaran Sesuai PMK Terbaru
Untuk memastikan kepatuhan dan menghindari interpretasi yang salah, Wajib Pajak harus merujuk pada regulasi yang paling spesifik. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) secara berkala merinci daftar jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23. Untuk menghindari ketidakpastian, selalu cek secara spesifik Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku mengenai daftar jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23. Memahami detail dalam PMK tersebut adalah kunci untuk menentukan apakah fee yang dibayarkan atas jasa-jasa seperti kliring, penyelesaian pembayaran, atau layanan sejenisnya, termasuk dalam objek pemotongan. Penggunaan PMK sebagai referensi utama menunjukkan komitmen dan keahlian dalam kepatuhan perpajakan.
Penting untuk membedakan PPh Pasal 23 dan PPh Final Pasal 4 ayat (2), terutama karena adanya kekeliruan dalam praktik terkait fee tertentu. Misalnya, PPh Pasal 23 dikenakan atas jasa sewa, manajemen, atau jasa lain dengan tarif 2%, yang umumnya bersifat tidak final. Sementara itu, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dikenakan atas jenis penghasilan tertentu seperti sewa tanah/bangunan, bunga deposito, atau jasa konstruksi. Jasa konstruksi sering disalahartikan karena juga merupakan jasa, namun ia dikenakan PPh Final dengan tarif yang bervariasi (mulai dari 1,75% hingga 4%) tergantung kualifikasi badan usaha. Transaksi fee jasa pembayaran tidak termasuk dalam kategori PPh Final 4(2). Kesalahan dalam mengaplikasikan tarif dan jenis PPh ini akan menyebabkan ketidakpatuhan substansi dan berujung pada sanksi.
Risiko Kepatuhan Jangka Panjang: Menguatkan Kepercayaan dan Kredibilitas Perpajakan
Kelalaian atau ketidakpatuhan dalam tidak melaporkan PPh 23 atas jasa pembayaran, terutama jika dilakukan secara berulang, dapat meninggalkan jejak risiko yang jauh lebih besar daripada sekadar denda administrasi. Ini adalah isu yang menyentuh inti dari kepercayaan dan kredibilitas sebuah entitas bisnis di mata regulator, sebuah aspek yang krusial untuk keberlanjutan dan kesehatan finansial jangka panjang. Pengelolaan risiko pajak yang lemah secara signifikan dapat merusak citra perusahaan dan bahkan mengarah pada konsekuensi hukum yang serius.
Dampak Ketidakpatuhan pada Pemeriksaan Bukti Permulaan (BUPER)
Ketidakpatuhan berulang, seperti keterlambatan atau kelalaian dalam tidak melaporkan PPh 23 secara konsisten, bukan hanya memicu sanksi denda. Tindakan ini dapat menjadi indikasi kuat adanya upaya penghindaran pajak yang lebih serius. Otoritas pajak, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), memiliki kewenangan untuk memulai pemeriksaan pajak menyeluruh (all taxes), yang tidak hanya terbatas pada PPh Pasal 23, melainkan mencakup seluruh jenis pajak, periode fiskal, dan transaksi yang dimiliki Wajib Pajak.
Dalam kasus yang paling parah, jika ditemukan adanya indikasi kuat tindak pidana di bidang perpajakan, pemeriksaan ini dapat ditingkatkan menjadi Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan, yang didahului oleh tahapan Pemeriksaan Bukti Permulaan (BUPER). Proses BUPER adalah pintu masuk menuju penuntutan pidana. Untuk menggarisbawahi urgensi masalah ini, berdasarkan data publik yang dirilis DJP, penegakan hukum melalui penyidikan tindak pidana pajak secara konsisten dilakukan setiap tahun, dengan fokus pada pengungkapan kasus-kasus kerugian negara yang signifikan. Bagi perusahaan, menghindari status sebagai ’target’ pemeriksaan adalah prioritas utama untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik.
Strategi Mengelola Risiko Pajak untuk Reputasi Bisnis yang Kuat
Membangun reputasi bisnis yang kuat sangat bergantung pada catatan kepatuhan perpajakan yang bersih. Ketidakpatuhan akan memicu risiko sanksi finansial yang substansial. Sebagai contoh simulasi risiko berdasarkan rata-rata kelalaian tahunan PPh 23 di sektor jasa, satu perusahaan jasa skala menengah yang lalai melaporkan PPh 23 selama 12 bulan berturut-turut akan langsung menanggung total denda keterlambatan pelaporan minimal sebesar Rp1.200.000 (12 bulan $\times$ Rp100.000), belum termasuk sanksi bunga penagihan atas kekurangan setoran. Jika hal ini terjadi secara konsisten, total beban finansial dalam beberapa tahun dapat mencapai puluhan juta rupiah, mencerminkan kerugian yang tidak perlu dan kerentanan terhadap audit.
Oleh karena itu, Pengelolaan Risiko Pajak yang proaktif sangatlah vital. Strategi utama untuk mencapai kepatuhan yang kuat adalah dengan menerapkan rekonsiliasi bulanan yang ketat dan sistematis. Rekonsiliasi ini harus dilakukan antara pencatatan akuntansi (khususnya Buku Besar) yang mencatat beban atau biaya jasa pembayaran yang telah dikeluarkan, dengan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 yang telah dibuat. Tujuan rekonsiliasi ini adalah untuk mencegah terjadinya perbedaan data yang dapat memicu surat permintaan penjelasan data (SP2D) dari DJP. Selain itu, dengan memastikan data akuntansi sejalan dengan pelaporan pajak, Wajib Pajak telah menunjukkan profesionalisme dan ketelitian yang menjadi dasar kuat kredibilitas perpajakan di mata regulator. Perusahaan yang mengadopsi prosedur kontrol internal seperti ini tidak hanya meminimalkan denda, tetapi juga secara aktif membangun citra sebagai entitas yang patuh dan bertanggung jawab.
Langkah Korektif dan Proses Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 yang Terlambat
Kegagalan dalam melaporkan atau salah hitung PPh Pasal 23, terutama atas transaksi yang kompleks seperti jasa pembayaran, bukanlah akhir dari segalanya. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan ruang untuk melakukan koreksi melalui mekanisme Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pembetulan. Namun, tindakan korektif ini harus dilakukan dengan cermat dan memahami batas waktu yang ditentukan untuk menjaga kepercayaan dan kredibilitas perusahaan di mata otoritas pajak.
Pembetulan SPT Masa dapat diajukan dalam jangka waktu 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Penting untuk dicatat bahwa hak untuk melakukan pembetulan ini akan gugur secara otomatis jika DJP telah memulai pemeriksaan pajak—baik itu pemeriksaan lengkap maupun pemeriksaan bukti permulaan. Oleh karena itu, kecepatan dan ketepatan dalam bertindak korektif merupakan langkah krusial untuk meminimalkan potensi sanksi dan bunga penagihan yang lebih besar.
Prosedur Pembetulan SPT Masa: Mengatasi Kesalahan Lapor atau Tidak Lapor
Proses pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 yang terlambat atau salah memerlukan pendekatan yang terstruktur. Langkah ini tidak hanya memperbaiki data, tetapi juga menunjukkan komitmen serius perusahaan terhadap kepatuhan fiskal. Berdasarkan praktik kepatuhan pajak yang diakui dan untuk mempermudah Anda dalam mengambil tindakan, berikut adalah panduan 4 langkah koreksi yang wajib diikuti:
- Hitung Ulang PPh Terutang yang Sebenarnya: Lakukan rekonsiliasi menyeluruh atas seluruh transaksi jasa pembayaran yang telah Anda lakukan pada masa pajak terkait. Pastikan tarif 2% (atau tarif lain yang relevan) telah diterapkan pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang benar untuk mengetahui jumlah PPh Pasal 23 yang seharusnya dipotong.
- Bayar Kekurangan Pajak (Jika Ada): Jika hasil perhitungan ulang menunjukkan ada PPh Pasal 23 yang kurang disetor (atau belum disetor sama sekali), segera lakukan pembayaran kekurangan tersebut menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dengan kode jenis setoran yang sesuai.
- Bayar Denda Keterlambatan dan Bunga (Jika Ada): Denda administratif atas keterlambatan pelaporan SPT Masa adalah Rp100.000 per SPT. Selain denda pokok, bayarkan juga bunga penagihan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pelunasan kekurangan PPh terutang, sesuai tarif bunga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (PMK).
- Lapor SPT Pembetulan: Setelah semua pembayaran dilakukan, buatlah SPT Masa PPh Pasal 23 Pembetulan. Pastikan Anda mencentang atau mengisi bagian “Pembetulan ke-X” (misalnya, Pembetulan ke-1) pada formulir SPT. Lampirkan semua bukti setor (SSP dan bukti bayar denda/bunga) bersamaan dengan SPT Pembetulan tersebut.
Menghitung Kembali Potongan dan Setoran PPh 23 yang Kurang Dibayar
Kesalahan dalam pemotongan PPh Pasal 23, khususnya pada jasa pembayaran yang sering kali melibatkan nilai transaksi besar, dapat menghasilkan kekurangan bayar yang signifikan. Proses perhitungan ulang harus dilakukan dengan teliti.
Misalnya, jika Anda baru menyadari bahwa pada masa pajak Maret 2025 terdapat jasa pembayaran senilai Rp200.000.000 yang belum dipotong PPh 23 (tarif 2%).
$$PPh : Kurang : Dibayar = 2% \times Rp200.000.000 = Rp4.000.000$$
Jumlah Rp4.000.000 ini adalah pokok pajak yang harus segera disetor. Selain itu, Anda harus menghitung dan menyetor denda keterlambatan pelaporan (Rp100.000) dan bunga penagihan.
Penting untuk melampirkan bukti potong yang valid (misalnya, bukti potong elektronik e-Bupot) kepada pihak yang dipotong (penerima jasa) saat melakukan pembetulan ini. Bukti potong yang sah dan terdokumentasi dengan baik akan memperkuat posisi kepatuhan Anda saat terjadi pemeriksaan di kemudian hari dan memastikan penerima jasa dapat mengkreditkan pajak yang telah dipotong tersebut. Tindakan proaktif ini akan sangat meningkatkan kualitas dan validitas informasi yang Anda sampaikan kepada DJP.
Tanya Jawab Lengkap Mengenai Pelaporan dan Pemotongan PPh Pasal 23
Q1. Apakah ‘Jasa Manajemen’ yang sering dikaitkan dengan pembayaran juga wajib dipotong PPh 23?
Jasa Manajemen, meski sering kali terkait erat dengan transaksi keuangan bisnis, adalah objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang terpisah dari jasa pembayaran. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur daftar jenis jasa lain, Jasa Manajemen termasuk objek PPh Pasal 23 dengan tarif pemotongan sebesar 2% dari jumlah penghasilan bruto. Kewajiban pemotongan ini berlaku jika penyedia jasa adalah Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Penting untuk membedakan antara jasa inti pengelolaan (manajemen) dan jasa teknis pembayaran (misalnya, payment gateway). Kesalahan dalam menentukan jenis jasa dapat berakibat pada penerapan tarif yang salah atau kelalaian pemotongan. Berdasarkan pengalaman dari Kantor Akuntan Publik (KAP) terkemuka, pemisahan yang jelas antara biaya management fee dan transaction fee dalam kontrak adalah praktik terbaik untuk memastikan kepatuhan yang konsisten dan akurat.
Q2. Bagaimana cara mendapatkan ‘Surat Keterangan Bebas’ PPh 23 jika memenuhi kriteria?
Wajib Pajak yang secara hukum dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23, seperti Wajib Pajak yang mengalami kerugian fiskal atau memiliki kriteria tertentu, harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat mereka terdaftar. Proses pengajuan SKB ini penting untuk memastikan bahwa Wajib Pajak yang menerima penghasilan tidak dipotong pajaknya oleh pihak lain.
Ada dua kondisi utama yang biasanya memungkinkan Wajib Pajak memperoleh SKB PPh 23:
- Memiliki Surat Keterangan Fiskal (SKF): SKF menunjukkan bahwa Wajib Pajak patuh dalam hal penyampaian SPT dan pembayaran pajak. Jika SKF diterbitkan oleh KPP, itu menjadi dasar kuat untuk pengajuan SKB.
- PPh yang akan dipotong nihil: Kondisi ini sering terjadi karena adanya kompensasi kerugian fiskal (rugi yang diderita tahun sebelumnya yang dapat dikurangkan dari penghasilan).
Untuk mengajukan SKB, Wajib Pajak perlu mengisi formulir permohonan, melampirkan Surat Keterangan Fiskal (jika ada), dan menunjukkan bukti pendukung lainnya seperti laporan keuangan yang menunjukkan kerugian fiskal. KPP akan memverifikasi data dan, jika disetujui, menerbitkan SKB yang berlaku untuk jangka waktu tertentu. Praktik ini menunjukkan komitmen pada kepercayaan dan kredibilitas dalam hubungan perpajakan, karena memberikan dasar hukum yang jelas bagi pemotong pajak.
Final Takeaways: Strategi Kepatuhan PPh 23 yang Efektif di Tahun 2026
Tiga Poin Kunci untuk Kepatuhan PPh 23 Jasa Pembayaran
Kepatuhan dalam pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 23, khususnya untuk transaksi jasa pembayaran yang kompleks, bergantung pada sistem internal yang akurat. Kunci utama untuk memastikan Anda terhindar dari sanksi dan denda yang tak perlu adalah rekonsiliasi data akuntansi dengan pelaporan pajak secara bulanan. Proses ini, yang dilakukan secara rutin setiap bulan, adalah upaya pencegahan terbaik. Praktisi pajak berpengalaman menunjukkan bahwa perbedaan data antara pembukuan dan SPT adalah pemicu utama surat teguran. Dengan rekonsiliasi yang ketat, perusahaan dapat mengidentifikasi selisih potongan pajak sebelum jatuh tempo pelaporan, sehingga dapat menghindari denda yang ditetapkan sebesar Rp100.000 per SPT Masa PPh 23, yang jika terakumulasi selama setahun bisa mencapai jutaan rupiah.
Tindakan Selanjutnya untuk Menghindari Sanksi Perpajakan
Bagi Wajib Pajak yang menyadari adanya kelalaian, langkah terbaik adalah bertindak cepat dan proaktif. Segera periksa dan betulkan SPT Masa PPh Pasal 23 yang belum dilaporkan atau salah hitung. Pembetulan yang dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan sangat mengurangi potensi sanksi yang lebih besar. Selain itu, pastikan pemegang bukti potong PPh 23 Anda — pihak yang dipotong pajaknya — memahami detail ini. Komunikasi yang jelas mengenai kewajiban pajak dapat memperkuat posisi Anda di mata DJP, menunjukkan niat baik dan ketaatan dalam menjalankan kewajiban perpajakan, yang merupakan fondasi penting dalam membangun kredibilitas bisnis jangka panjang.