Kode Pembayaran PPh Pasal 23: Jasa, Sewa, dan Harta

Panduan Lengkap Kode Pembayaran PPh 23 untuk Jasa, Sewa, dan Harta

Kode Setoran Pajak PPh Pasal 23 yang Tepat untuk Jasa dan Harta

Memahami dan menggunakan kode pembayaran pajak yang benar adalah langkah krusial dalam memenuhi kewajiban perpajakan Anda. Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, kode setoran yang wajib Anda ketahui dan gunakan adalah 411124-104 untuk jasa dan 411124-100 untuk sewa atau penggunaan harta. Akurasi dalam pemilihan kode ini sangat penting untuk memastikan setoran Anda terekam dengan benar oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kegagalan dalam hal ini dapat memicu pemeriksaan dan sanksi administrasi.

Meningkatkan Kepercayaan dengan Kepatuhan Pajak yang Akurat

Artikel ini disusun oleh ahli perpajakan bersertifikat untuk memberikan panduan yang clear dan actionable kepada para Wajib Pajak. Kami akan memandu Anda langkah demi langkah untuk memastikan Anda tidak hanya menggunakan kode yang benar, tetapi juga dapat mengelola bukti potong secara efisien dan menghindari potensi sanksi. Kepatuhan pajak yang akurat, dimulai dari pemilihan kode setoran yang tepat, membangun kredibilitas bisnis yang kuat di mata pemerintah dan mitra usaha.

Memahami Klasifikasi PPh Pasal 23: Apa Saja yang Dikenakan?

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah salah satu jenis pajak yang sering ditemui dalam transaksi bisnis di Indonesia. Secara fundamental, PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan, yang dibayarkan atau terutang kepada Wajib Pajak dalam negeri (WP DN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemotongan ini wajib dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan (Pemotong Pajak), kecuali jika penghasilan tersebut sudah dikenakan PPh Final atau termasuk objek PPh Pasal 21. Memahami klasifikasi ini sangat penting untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam pemotongan dan penyetoran pajak, yang pada akhirnya akan meningkatkan kredibilitas dan kepatuhan perpajakan entitas Anda.

Perbedaan Dasar Objek PPh 23: Jasa, Bunga, Dividen, dan Sewa

Objek PPh Pasal 23 dapat dibagi menjadi beberapa kategori utama yang dikenakan tarif berbeda. Klasifikasi dasar ini mencakup empat jenis penghasilan: dividen, bunga (termasuk diskonto dan premium), royalti, dan hadiah/penghargaan, yang secara umum dikenakan tarif 15%. Sementara itu, penghasilan berupa sewa dan penggunaan harta, serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jenis jasa lain dikenakan tarif 2%. Penting untuk dicatat bahwa sewa atas tanah dan/atau bangunan tidak termasuk objek PPh 23, melainkan dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2). Dengan mengetahui perbedaan dasar ini, Pemotong Pajak dapat menerapkan tarif dan kode pembayaran yang benar, menghindari koreksi fiskal di kemudian hari. Secara spesifik, sewa dan penggunaan harta (selain sewa tanah dan/atau bangunan) dikenakan PPh 23 dengan tarif 2% dari jumlah bruto nilai sewa.

Kriteria ‘Jasa Lain’ yang Wajib Dipotong PPh 23

Kategori yang paling sering menimbulkan pertanyaan adalah “Jasa Lain” atau imbalan sehubungan dengan jasa selain jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa manajemen. Untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan bagi Wajib Pajak, daftar jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 diatur secara spesifik. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, daftar lengkap Jasa Lain yang dikenakan PPh Pasal 23 mencakup puluhan jenis jasa, termasuk (namun tidak terbatas pada) jasa maintenance dan perbaikan, jasa penilai (appraisal), jasa keamanan, jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, periklanan, dan jasa event organizer. Kehadiran regulasi ini memberikan panduan yang jelas bagi setiap Pemotong Pajak untuk mengidentifikasi objek jasa yang wajib dipotong PPh 23. Kepatuhan yang ketat terhadap daftar ini merupakan indikator kompetensi profesional dalam manajemen pajak perusahaan. Dengan demikian, semua transaksi jasa yang tercantum dalam PMK tersebut harus dikenakan pemotongan PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto imbalan jasa yang dibayarkan.

Identifikasi Akurat: Kode Jenis Setoran (KJS) PPh 23 Jasa dan Sewa Harta

Memastikan kepatuhan pajak memerlukan akurasi, terutama dalam penggunaan kode setoran. Kesalahan kode dapat menyebabkan pembayaran pajak Anda tidak tercatat dengan benar, berujung pada sanksi administrasi. Dalam konteks PPh Pasal 23, kode pembayaran terdiri dari dua komponen utama: Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS).

Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk PPh 23

Sistem administrasi perpajakan di Indonesia mengandalkan kombinasi empat digit Kode Akun Pajak (KAP) dan tiga digit Kode Jenis Setoran (KJS) untuk mengidentifikasi jenis pajak dan transaksi spesifik. Untuk PPh Pasal 23 yang dipotong atas penghasilan berupa modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan, Kode Akun Pajak (KAP) yang wajib digunakan adalah 411124. KAP 411124 ini secara universal menandai bahwa pembayaran tersebut adalah untuk Pajak Penghasilan Pasal 23.

Namun, yang menjadi pembeda objek potongannya—apakah itu jasa, sewa harta, bunga, atau royalti—adalah Kode Jenis Setoran (KJS). KJS ini sangat krusial karena ia mengklasifikasikan secara spesifik jenis penghasilan yang dikenakan PPh 23. Untuk memastikan Anda dapat menghindari sanksi dan menunjukkan kepatuhan serta keahlian dalam administrasi perpajakan (aspek kredibilitas yang penting), pemahaman KJS adalah kunci.

Secara spesifik, ketika Anda membayar PPh 23 atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (yang tidak termasuk sewa atas tanah dan/atau bangunan yang masuk PPh Final), KJS yang harus Anda gunakan adalah 100. Dengan demikian, kode lengkapnya menjadi 411124-100. Di sisi lain, untuk penghasilan yang berasal dari jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, dan berbagai jasa lain yang telah diatur dalam PMK, Anda harus menggunakan KJS 104. Kode setoran lengkap untuk pemotongan jasa adalah 411124-104.

Tabel Rincian Kode Setoran untuk Jasa, Sewa, dan Royalti

Untuk memberikan kejelasan dan panduan praktis, berikut adalah tabel yang merinci kombinasi Kode Akun Pajak (KAP) 411124 dengan berbagai Kode Jenis Setoran (KJS) yang relevan dalam konteks PPh Pasal 23. Informasi ini kami sajikan berdasarkan acuan resmi dari peraturan DJP, memastikan keakuratan data untuk penggunaan praktis Anda.

Jenis Objek PPh Pasal 23 Kode Akun Pajak (KAP) Kode Jenis Setoran (KJS) Kode Setoran Lengkap
Sewa dan Penggunaan Harta 411124 100 411124-100
Jasa Lain (Manajemen, Konsultan, Teknik, dsb.) 411124 104 411124-104
Bunga dan Diskonto 411124 101 411124-101
Dividen 411124 102 411124-102
Royalti 411124 103 411124-103
Hadiah, Penghargaan, Bonus, dan Sejenisnya 411124 105 411124-105

Mengacu pada tabel di atas, fokus utama bagi perusahaan yang sering bertransaksi dengan jasa atau sewa aset adalah dua KJS teratas: 104 untuk jasa dan 100 untuk sewa/penggunaan harta. Menggunakan KJS yang tepat adalah langkah fundamental dalam menunjukkan kompetensi dan kepatuhan perpajakan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kredibilitas entitas Anda.

Tarif Pemotongan PPh 23 dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang Berlaku

Memahami tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) merupakan bagian fundamental dari kepatuhan PPh Pasal 23. Kesalahan dalam penerapan tarif atau penentuan DPP dapat berujung pada kurang bayar yang berpotensi menimbulkan sanksi. Secara umum, besaran tarif PPh 23 terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu 2% dan 15%, tergantung pada jenis objek penghasilannya. Tarif ini telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku, dan rinciannya perlu dipahami secara mendalam.

Tarif 2%: Jasa dan Sewa/Penggunaan Harta (DPP Nilai Bruto)

Tarif yang paling sering ditemui dalam praktik bisnis adalah tarif 2%. Tarif ini dikenakan atas penghasilan berupa sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan yang dikenakan PPh Final. Selain itu, tarif 2% juga berlaku untuk berbagai jenis jasa lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai jenis-jenis jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23, seperti jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, dan jasa konstruksi non-final.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk tarif 2% ini adalah jumlah bruto dari imbalan jasa atau sewa yang dibayarkan. Jumlah bruto ini didefinisikan sebagai seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT), atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak (WP) dalam negeri atau BUT. Penting untuk dicatat bahwa dalam beberapa kasus khusus, jumlah bruto bisa dikecualikan dari beberapa komponen seperti pembayaran kepada pihak ketiga atau penggantian biaya (reimbursement), namun prinsip umumnya adalah menggunakan nilai bruto.

Tarif 15%: Dividen, Bunga, Royalti, dan Hadiah/Penghargaan

Kelompok tarif PPh 23 yang lebih tinggi adalah 15%. Tarif ini dikenakan atas penghasilan tertentu seperti dividen, bunga (termasuk diskonto dan premium), royalti, dan hadiah serta penghargaan (selain yang dipotong PPh Pasal 21). Objek-objek ini memiliki sifat penghasilan pasif yang umumnya tidak terkait langsung dengan aktivitas operasional utama. Penerapan tarif 15% ini juga didasarkan pada jumlah bruto penghasilan.

Salah satu aspek penting yang dapat meningkatkan kualitas dan validitas informasi adalah membandingkan tarif bagi Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan yang tidak. Berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia, Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 200% (dua ratus persen) lebih tinggi dari tarif normal. Ini adalah langkah pemerintah untuk mendorong kepatuhan pendaftaran NPWP dan memastikan penelusuran transaksi yang akurat.

Contoh Kasus Nyata Perhitungan PPh 23:

  1. Kasus Jasa (Tarif 2%): PT. Abadi Jaya (memiliki NPWP) membayar jasa konsultasi manajemen kepada CV. Cepat Tepat sebesar Rp20.000.000 (nilai bruto) pada bulan November 2025.

    • PPh 23 yang harus dipotong: $2% \times \text{Rp}20.000.000 = \text{Rp}400.000$.
    • Uang yang diterima CV. Cepat Tepat: $\text{Rp}20.000.000 - \text{Rp}400.000 = \text{Rp}19.600.000$.
  2. Kasus Sewa Harta Tanpa NPWP (Tarif 2% * 200%): PT. Megah Karya (Pemotong) menyewa peralatan kantor dari sebuah penyedia jasa (Penerima Penghasilan) yang tidak memiliki NPWP. Nilai sewa bruto adalah Rp5.000.000.

    • Tarif PPh 23 yang berlaku: $2% \times 200% = 4%$.
    • PPh 23 yang harus dipotong: $4% \times \text{Rp}5.000.000 = \text{Rp}200.000$.
    • Penerima Penghasilan menerima: $\text{Rp}5.000.000 - \text{Rp}200.000 = \text{Rp}4.800.000$.

Perhitungan ini menegaskan bahwa Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh 23 adalah jumlah bruto imbalan jasa atau sewa yang dibayarkan, kecuali ada peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit mengatur sebaliknya, misalnya pengecualian atas reimbursement dalam konteks jasa tertentu. Pemahaman yang akurat mengenai DPP dan tarif ini sangat penting untuk memastikan pemotongan dan penyetoran pajak dilakukan sesuai prosedur.

Prosedur dan Mekanisme Pembayaran: Membuat Kode Billing dan e-Billing

Setelah Anda berhasil mengidentifikasi secara akurat objek PPh Pasal 23 dan menetapkan Kode Jenis Setoran (KJS) yang tepat, langkah selanjutnya adalah melakukan penyetoran pajak. Proses ini kini sangat terdigitalisasi, dengan Kode Billing (ID Billing) menjadi kunci utama. ID Billing adalah identitas unik yang diterbitkan oleh sistem e-Billing Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk setiap transaksi pembayaran pajak, dan ini adalah satu-satunya cara resmi untuk menyetor PPh 23 atau jenis pajak lainnya ke kas negara. ID Billing dapat dibuat melalui portal DJP Online atau saluran resmi lainnya seperti bank, kantor pos, atau Application Service Provider (ASP) yang ditunjuk.

Langkah-langkah Membuat Kode Billing PPh 23 Secara Mandiri

Untuk menjaga akuntabilitas dan memastikan pengalaman pengguna yang efisien, DJP telah menyediakan panduan yang sangat jelas. Berdasarkan petunjuk resmi yang ada, berikut adalah panduan langkah demi langkah untuk membuat ID Billing PPh 23 melalui portal DJP Online:

  1. Akses DJP Online: Kunjungi situs web DJP Online dan masuk menggunakan NPWP dan password Anda.
  2. Pilih Menu e-Billing: Setelah berhasil masuk, pilih menu “Bayar” kemudian klik opsi “e-Billing” atau “Buat Kode Billing”.
  3. Isi Surat Setoran Elektronik (SSE): Anda akan diarahkan ke formulir pembuatan SSE. Isi data-data berikut dengan teliti:
    • Jenis Pajak: Pilih kode 411124 (PPh Pasal 23).
    • Jenis Setoran: Pilih KJS yang sesuai, misalnya 100 untuk sewa atau 104 untuk jasa.
    • Masa Pajak: Tentukan bulan dan tahun terutangnya PPh 23 yang akan Anda bayar (misalnya, Desember 2025).
    • Tahun Pajak: Isi tahun pajak yang relevan.
    • Jumlah Setor: Masukkan jumlah PPh 23 yang telah dipotong dan akan disetor (nilai rupiah tanpa tanda baca).
    • Uraian: (Opsional, namun disarankan) Isi keterangan singkat, misalnya “Pembayaran PPh 23 Jasa Konsultan A” atau “Pembayaran PPh 23 Sewa Kendaraan B”.
  4. Verifikasi dan Terbitkan Kode Billing: Setelah semua data terisi dengan benar, klik tombol “Buat Kode Billing”. Sistem akan menampilkan ringkasan data. Pastikan semua rincian—terutama Jenis Setoran dan Jumlah Setor—sudah tepat. Konfirmasi pembuatan.
  5. Dapatkan Kode Billing: Kode Billing yang terdiri dari 15 digit akan muncul. Segera catat atau cetak kode ini, karena kode inilah yang akan Anda gunakan untuk melakukan pembayaran di teller bank/pos, ATM, atau melalui internet banking.

Panduan ini penting karena kesalahan pada tahap ini, seperti salah memasukkan KJS, dapat menyebabkan Surat Setoran Pajak (SSP) Anda dianggap tidak valid, yang berpotensi memicu sanksi administrasi di kemudian hari.

Ketentuan Penggunaan Surat Setoran Pajak (SSP) dan Bukti Setor

Dalam konteks PPh 23, pihak yang wajib menyetorkan pajak ke kas negara adalah Pemotong (pemberi penghasilan). Ketentuan ini harus ditaati dengan ketat:

  • Jatuh Tempo Pembayaran: Pembayaran PPh 23 harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan. Misalnya, PPh 23 atas jasa yang dibayarkan pada bulan Desember 2025 harus disetorkan paling lambat tanggal 10 Januari 2026.
  • Fungsi Bukti Setor: Bukti pembayaran yang sah adalah Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN adalah nomor unik yang menjamin bahwa uang pajak Anda telah tercatat dan masuk ke kas negara.
  • Peran Kode Billing: Kode Billing berfungsi sebagai pengganti SSP tradisional dalam proses pembuatan, namun SSP yang sebenarnya terbentuk setelah pembayaran berhasil dan mencantumkan NTPN.

Pemberi penghasilan (Pemotong) wajib menyimpan SSP yang telah divalidasi ini sebagai arsip vital, yang nantinya akan digunakan sebagai dasar pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 23 dan untuk keperluan rekonsiliasi.


Memastikan Bukti Potong PPh 23: Kewajiban Pemotong Pajak

Kepatuhan dalam Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 tidak hanya berhenti pada penyetoran dana ke kas negara. Bagian krusial yang menentukan kepatuhan total dan menjamin transparansi adalah proses pembuatan dan penyerahan bukti potong. Sebagai Pemotong Pajak—entitas yang membayarkan penghasilan—Anda memiliki tanggung jawab hukum untuk menyediakan dokumen ini, yang merupakan kunci bagi Penerima Penghasilan untuk mengklaim haknya.

Setiap transaksi yang terutang PPh 23—baik atas jasa, sewa harta, bunga, dividen, atau royalti—wajib diiringi dengan pembuatan bukti potong dan penyerahannya kepada pihak yang dipotong. Dokumen ini adalah bukti resmi bahwa PPh 23 telah dipotong dan disetorkan. Kepatuhan ini menunjukkan keahlian dan tanggung jawab Anda dalam mengelola kewajiban perpajakan dan menjaga hubungan yang transparan dengan mitra bisnis.

Penerbitan Bukti Potong PPh 23 Menggunakan e-Bupot

Sejak 2020, penerbitan, pelaporan, dan penyampaian bukti potong PPh Pasal 23/26 wajib dilakukan menggunakan sistem elektronik yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yaitu e-Bupot. Kewajiban bagi Wajib Pajak untuk menggunakan aplikasi e-Bupot memastikan data yang dilaporkan akurat, konsisten, dan terintegrasi langsung dengan sistem DJP, yang sangat penting untuk kepercayaan dan otoritas (Otoritas dalam E-E-A-T) data perpajakan.

Dengan e-Bupot, pemotong pajak dapat membuat, mengisi, dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 23/26, sekaligus menyampaikan bukti potong digital kepada lawan transaksi. Sistem ini menggantikan formulir kertas dan sangat membantu dalam meminimalisasi kesalahan administrasi, serta memastikan setiap pemotongan tercatat dengan baik sebelum jatuh tempo pelaporan.

Fungsi Bukti Potong bagi Penerima Penghasilan (Kredit Pajak)

Bagi pihak yang dipotong, bukti potong PPh 23 memiliki fungsi yang sangat penting: sebagai kredit pajak.

Kredit pajak adalah nilai pajak yang telah dipotong oleh pihak lain dan dapat diperhitungkan oleh Penerima Penghasilan untuk mengurangi total PPh terutang saat mereka melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Misalnya, jika total PPh terutang perusahaan Anda adalah Rp50.000.000, dan Anda memiliki total bukti potong PPh 23 sebesar Rp10.000.000, maka Anda hanya perlu menyetor sisa Rp40.000.000. Bukti potong PPh 23 menjadi dokumen esensial dan mutlak yang harus dilampirkan atau diinput saat pelaporan SPT Tahunan, memastikan bahwa pajak tidak terbayar ganda (double tax) dan menunjukkan kepercayaan (Trust) dalam sistem perpajakan. Oleh karena itu, penerima penghasilan harus selalu memastikan mereka menerima dan menyimpan bukti potong PPh 23 dari pihak pemotong.

Penting: Perlakuan ini hanya berlaku jika bukti potong tersebut sudah dibuat dan dilaporkan secara valid oleh pemotong melalui e-Bupot.

Pertanyaan Umum Seputar Kode Pembayaran PPh Pasal 23

Q1. Apakah kode 411124-104 hanya untuk jasa yang memiliki faktur PPN?

Kode Akun Pajak (KAP) 411124 dengan Kode Jenis Setoran (KJS) 104 secara spesifik ditujukan untuk penyetoran PPh Pasal 23 atas imbalan jasa. Penting untuk dipahami bahwa penggunaannya tidak terkait atau bergantung pada pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan kata lain, kode $411124-104$ digunakan untuk semua jenis jasa yang memang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23, terlepas dari apakah jasa tersebut juga termasuk yang dikenakan PPN atau tidak. Fokus utama dalam penentuan kode ini adalah klasifikasi penghasilan sebagai “jasa lain” yang dikenakan PPh 23.

Q2. Apa sanksi jika salah menggunakan Kode Jenis Setoran (KJS)?

Penggunaan Kode Jenis Setoran (KJS) yang salah pada Surat Setoran Pajak (SSP) dapat menimbulkan konsekuensi yang cukup serius. Ketika KJS yang digunakan keliru, sistem administrasi perpajakan akan menganggap SSP yang Anda setorkan tidak valid atau tidak sesuai dengan jenis pajak yang seharusnya dibayarkan. Hal ini mengakibatkan Wajib Pajak berpotensi dianggap terlambat atau belum menyetor kewajiban PPh Pasal 23 yang bersangkutan.

Menurut ketentuan yang berlaku, setiap keterlambatan pembayaran pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga. Tingkat keandalan dan akurasi dalam pengisian Kode Jenis Setoran (KJS) merupakan aspek krusial dalam kepatuhan pajak. Berdasarkan pengalaman profesional, kesalahan kecil pada kode setoran ini sering kali menjadi pemicu dikeluarkannya Surat Tagihan Pajak (STP) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Oleh karena itu, verifikasi berulang terhadap KAP 411124 dan KJS 100 (Sewa Harta) atau 104 (Jasa) sangat disarankan sebelum membuat Kode Billing.

Q3. Berapa tarif PPh 23 untuk sewa tanah dan/atau bangunan?

Sewa tanah dan/atau bangunan merupakan objek pajak yang diatur secara spesifik dan tidak termasuk dalam lingkup PPh Pasal 23. Jenis penghasilan ini dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh.

  • Tarif: 10% dari nilai bruto sewa.
  • Kode Setoran: Menggunakan Kode Akun Pajak 411128 (PPh Final Pasal 4 Ayat 2) dengan Kode Jenis Setoran (KJS) 420 (Setoran PPh Final atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan).

Jadi, jika Anda menyewakan properti seperti kantor, ruko, atau gudang, pastikan Anda menggunakan kode setoran PPh Final yang tepat (411128-420), bukan kode PPh Pasal 23 (411124).

Final Takeaways: Menguasai Kepatuhan PPh 23 Secara Efisien

3 Langkah Kritis untuk Pembayaran PPh 23 yang Benar

Menguasai kewajiban perpajakan Anda, khususnya PPh Pasal 23, adalah bagian mendasar dari tata kelola keuangan yang baik dan meningkatkan kepercayaan di mata otoritas pajak. Kunci kepatuhan yang efisien terletak pada dua pilar utama: identifikasi objek yang tepat dan penggunaan Kode Jenis Setoran (KJS) yang sesuai. Pastikan selalu bahwa Anda membedakan secara jelas apakah penghasilan yang dibayarkan termasuk dalam kategori jasa atau sewa/penggunaan harta. Untuk jasa, KJS yang benar adalah 104, sementara untuk sewa/penggunaan harta, KJS yang harus digunakan adalah 100.

Apa yang Harus Anda Lakukan Setelah Pembayaran Pajak

Tugas Anda sebagai Pemotong Pajak tidak berakhir setelah Anda berhasil menyetor PPh 23 menggunakan kode billing. Langkah krusial berikutnya adalah memastikan bukti potong telah dibuat dan dilaporkan melalui sistem e-Bupot DJP Online. Bukti potong ini harus diserahkan kepada pihak yang dipotong, karena berfungsi sebagai kredit pajak mereka saat pelaporan SPT Tahunan. Selain itu, simpanlah arsip Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dibayar, bukti potong yang telah diterbitkan, dan faktur-faktur terkait untuk proses rekonsiliasi dan audit di masa depan.

Jasa Pembayaran Online
💬