Kewenangan Pembayaran Pengadaan Barang Jasa: Siapa Bertanggung Jawab?

Memahami Aturan Pembayaran Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pembayaran dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah aspek krusial yang menentukan akuntabilitas dan legalitas penggunaan uang negara. Kompleksitas regulasi seringkali menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai siapa yang sebenarnya berwenang memegang kendali atas dana tersebut. Kesalahan dalam prosedur pembayaran dapat berakibat fatal, mulai dari temuan audit hingga potensi sanksi hukum.

Siapa Sebenarnya yang Berhak Melakukan Pembayaran Resmi?

Secara fundamental, pembayaran pengadaan barang/jasa pemerintah bukanlah wewenang pelaksana kegiatan (staf teknis, panitia pelaksana) secara langsung. Kewenangan tertinggi untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran berada di tangan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat yang didelegasikan, yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Pembayaran riil kepada penyedia dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran setelah melalui proses verifikasi yang ketat. Memahami pemisahan fungsi ini—antara teknis pelaksanaan dan keuangan—adalah inti dari tata kelola anggaran yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mengapa Kepatuhan Aturan Pembayaran Sangat Penting?

Kepatuhan terhadap aturan pembayaran sangat penting karena alasan akuntabilitas dan legalitas. Proses pembayaran harus mampu menciptakan kepercayaan publik. Hal ini terwujud ketika setiap rupiah yang dikeluarkan dapat ditelusuri jejaknya, memiliki dasar hukum yang jelas, dan didukung oleh bukti transaksi yang valid. Artikel ini dirancang untuk memandu Anda memahami secara mendalam landasan hukum, mengidentifikasi risiko penyimpangan, dan menguasai alur pembayaran yang benar. Pengetahuan ini esensial untuk memastikan pengelolaan keuangan publik yang transparan dan bebas dari praktik korupsi.

Landasan Hukum dan Kewenangan Pembayaran dalam Pengadaan Pemerintah

Memahami siapa yang secara sah memiliki kewenangan untuk melakukan pembayaran dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah fondasi dari tata kelola keuangan yang kredibel dan dapat diandalkan. Regulasi telah menetapkan peran yang jelas untuk memastikan adanya sistem check and balance dalam penggunaan uang negara. Pemahaman yang keliru mengenai wewenang ini adalah akar dari banyak temuan audit dan penyimpangan.

Peran Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Dalam struktur anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dari Pengguna Anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab Pengguna Anggaran pada kementerian/lembaga atau satuan kerja. Namun, dalam konteks pengadaan, peran eksekusi keuangan utama diemban oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya (terkini Perpres No. 12 Tahun 2021), PPK adalah pihak yang memiliki wewenang krusial. Secara eksplisit, PPK adalah pihak yang berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja. Kewenangan ini mencakup penetapan spesifikasi teknis, penandatanganan kontrak, dan yang paling penting, penetapan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) setelah memastikan pekerjaan selesai.

Untuk memperkuat aspek kredibilitas, penting untuk merujuk langsung pada regulasi. Pasal 10 Perpres No. 16 Tahun 2018 (yang menjadi landasan bagi Perpres No. 12 Tahun 2021) secara tegas mengatur tugas PPK, di mana salah satunya adalah melaksanakan pembayaran. Kewenangan ini tidak dapat dilakukan oleh “pelaksana kegiatan” karena mereka tidak memiliki tanggung jawab pengambilan keputusan yang mengikat secara hukum terhadap anggaran.

Tugas dan Fungsi Pejabat Penguji dan Penerbit Surat Perintah Membayar (PPSPM)

Meski PPK memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan pengeluaran, pembayaran riil (uang keluar) tidak dilakukan oleh PPK itu sendiri. Setelah PPK menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP), dokumen tersebut akan berpindah ke Pejabat Penguji dan Penerbit Surat Perintah Membayar (PPSPM).

PPSPM bertugas melakukan verifikasi dan pengujian atas SPP yang diajukan oleh PPK. Tugasnya adalah memastikan bahwa semua dokumen pendukung, seperti berita acara serah terima, kuitansi, dan faktur pajak, telah lengkap dan sah. Jika SPP telah teruji dan disetujui, PPSPM kemudian menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM).

SPM yang telah terbit kemudian diajukan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). KPPN akan memprosesnya dan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Pembayaran riil kepada penyedia barang/jasa hanya dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran setelah menerima SP2D dari KPPN. Alur yang berlapis ini memastikan bahwa tidak ada satu pun individu—termasuk pelaksana kegiatan—yang memiliki kewenangan tunggal untuk mengeluarkan uang, sehingga menjamin akuntabilitas.

Batasan dan Kriteria ‘Pelaksana Kegiatan’ dalam Struktur Anggaran

Definisi dan Batasan Tanggung Jawab Pelaksana Kegiatan Non-PPK

Dalam struktur pengadaan pemerintah, istilah ‘Pelaksana Kegiatan’ seringkali menimbulkan ambiguitas. Secara definitif, Pelaksana Kegiatan umumnya merujuk pada panitia pelaksana, tim teknis, atau staf pelaksana harian yang bertugas mengurus aspek teknis dan operasional suatu pekerjaan atau proyek. Peran mereka sangat spesifik dan tidak mencakup kewenangan keuangan formal. Tanggung jawab mereka berpusat pada eksekusi teknis pekerjaan, memastikan kualitas sesuai spesifikasi kontrak, dan membuat laporan kemajuan fisik, misalnya menyusun Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan.

Penting untuk dipahami bahwa, berbeda dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Bendahara Pengeluaran, Pelaksana Kegiatan non-PPK tidak memiliki mandat hukum untuk mengambil keputusan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran. Memegang peran teknis berarti mereka harus berfokus pada hasil kerja, bukan pada urusan administrasi pembayaran. Pemisahan fungsi ini adalah kunci untuk menciptakan akuntabilitas dan menghindari konflik kepentingan dalam pengelolaan keuangan negara, sebuah prinsip fundamental yang ditekankan oleh pengawas keuangan.

Mekanisme Uang Persediaan (UP) dan Batas Pembayaran Langsung (LS)

Mengingat Pelaksana Kegiatan tidak berwenang melakukan pembayaran, lantas bagaimana mereka membiayai kebutuhan operasional mendesak di lapangan? Mekanismenya adalah melalui Uang Persediaan (UP) yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran. UP adalah uang muka yang disediakan Bendahara untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari yang sifatnya mendesak atau pengeluaran yang nilainya kecil.

Pelaksana Kegiatan hanya boleh menggunakan UP ini untuk pengeluaran-pengeluaran kecil yang wajib dipertanggungjawabkan segera (mekanisme reimburse) kepada Bendahara Pengeluaran. Terdapat batasan nilai tertentu untuk penggunaan UP, misalnya pembelian yang dibayar menggunakan UP tunai seringkali dibatasi maksimal Rp50 juta per penyedia/per transaksi. Di atas batas ini, pembayaran harus diproses melalui Pembayaran Langsung (LS). Pembayaran LS ini adalah proses yang lebih formal, di mana dana langsung ditransfer dari Kas Negara ke rekening penyedia/rekanan berdasarkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Dalam skema ini, keterlibatan Pelaksana Kegiatan dalam urusan uang tunai menjadi nihil, sehingga fokusnya tetap pada hasil teknis.

Pemisahan peran ini merupakan instrumen pencegahan risiko yang krusial. Dalam sebuah studi kasus (anonim) yang pernah ditangani oleh aparat penegak hukum, penyimpangan keuangan terindikasi kuat ketika seorang staf teknis (Pelaksana Kegiatan) secara rutin ‘menalangi’ pembayaran proyek besar yang seharusnya menggunakan mekanisme LS. Ia kemudian meminta Bendahara mengeluarkan uang dengan dalih reimbursement tanpa dokumen pendukung yang memadai, sehingga menciptakan kerugian negara. Kasus tersebut menjadi pengingat tegas bahwa tugas Pelaksana Kegiatan harus tetap berada pada ranah teknis, sementara otoritas pembayaran sepenuhnya berada di tangan pejabat keuangan yang ditunjuk, memastikan setiap Rupiah yang dikeluarkan memiliki jejak audit yang jelas dan legal.

Risiko dan Konsekuensi Pembayaran yang Tidak Sesuai Prosedur

Tindakan pembayaran pengadaan barang/jasa oleh pihak yang tidak berwenang—terutama yang dikenal sebagai “pelaksana kegiatan”—bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pelanggaran serius terhadap prinsip akuntabilitas keuangan publik. Konsekuensi dari penyimpangan ini bersifat berlapis, mulai dari masalah pelaporan hingga potensi jerat hukum yang berat.

Risiko Hukum dan Pidana bagi Individu yang Melakukan Pembayaran Ilegal

Dalam tata kelola keuangan negara, setiap pembayaran non-prosedural berpotensi dikategorikan sebagai penyimpangan administrasi keuangan, yang dapat berujung pada sanksi disiplin atau bahkan kasus pidana. Ketika seorang pelaksana kegiatan mengambil inisiatif untuk membayar tagihan atau pengadaan menggunakan dana pribadi atau dana yang bukan mekanisme resmi, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai gratifikasi atau tindak pidana korupsi, terutama jika ada unsur janji, keuntungan, atau penyalahgunaan wewenang.

Pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) karena melanggar ketentuan yang mengatur tata cara penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Pengalaman penegak hukum menunjukkan bahwa pemisahan yang jelas antara fungsi teknis dan fungsi keuangan adalah kunci untuk mencegah penyalahgunaan. Saat fungsi tersebut tumpang tindih—seperti ketika pelaksana kegiatan turut mengurus pembayaran—maka pintu penyalahgunaan dana menjadi terbuka lebar, menyebabkan kerugian negara yang wajib dipertanggungjawabkan.

Dampak Audit: Temuan Kerugian Negara dan Pengembalian Dana

Kewenangan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas terletak pada lembaga audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pembayaran yang tidak didukung oleh prosedur dan bukti legal yang lengkap merupakan temuan wajib dalam setiap pemeriksaan BPK.

Metodologi audit BPK secara ketat mengikuti siklus anggaran, memverifikasi bahwa setiap pengeluaran telah melalui alur yang ditetapkan: penerimaan barang/jasa, verifikasi PPK, penerbitan SPM oleh PPSPM, hingga pencairan SP2D oleh KPPN. Pembayaran yang dilakukan oleh individu (selain Bendahara Pengeluaran) akan dianggap sebagai pengeluaran yang tidak sah karena tidak ada jejak audit yang jelas dan tidak didukung oleh Surat Perintah Membayar (SPM) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) resmi.

Ketika BPK menemukan pembayaran yang tidak sah, hal ini otomatis dikategorikan sebagai potensi kerugian negara. Dampaknya adalah individu atau pejabat terkait akan diberikan Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTM) yang mewajibkan pengembalian dana sepenuhnya ke kas negara, terlepas dari apakah barang/jasa yang dibeli benar-benar diterima. Lebih dari itu, pembayaran yang tidak melalui mekanisme Bendahara juga menyulitkan pelaporan pajak, karena transaksi tersebut tidak tercatat secara resmi dalam sistem akuntansi pemerintah sebagai objek pemotongan pajak (PPh dan PPN) yang wajib disetorkan, sehingga menimbulkan masalah kepatuhan perpajakan di kemudian hari.

Prosedur Pembayaran yang Sah dan Akuntabel (Alur 7 Langkah)

Memahami alur pembayaran yang benar dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) adalah inti dari akuntabilitas. Prosedur ini tidak hanya memastikan legalitas, tetapi juga merupakan mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check-and-balance) untuk melindungi anggaran negara dari penyimpangan.

Langkah 1-3: Dari Penerimaan Barang/Jasa Hingga Penerbitan SPP

Alur pembayaran yang sah dan akuntabel dimulai segera setelah pekerjaan atau barang diselesaikan.

Langkah krusial pertama adalah Penerimaan Hasil Pekerjaan. Pembayaran harus dimulai dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang ditandatangani oleh Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). BAST ini adalah dokumen legal yang secara resmi menyatakan bahwa pekerjaan/barang telah diterima 100% dan memenuhi spesifikasi teknis dalam kontrak. Tanpa BAST yang sah, proses pembayaran tidak boleh dilanjutkan.

Langkah kedua adalah Pengajuan Tagihan oleh Penyedia. Setelah menerima BAST, Penyedia Jasa/Barang mengajukan tagihan resmi kepada PPK, melampirkan seluruh dokumen pendukung keuangan dan teknis.

Langkah ketiga adalah Penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP). PPK, setelah memverifikasi kelengkapan dokumen tagihan (BAST, kuitansi, faktur, dll.), menerbitkan SPP dan menyampaikannya kepada Pejabat Penguji dan Penerbit Surat Perintah Membayar (PPSPM). SPP ini adalah perintah kepada PPSPM untuk menyiapkan pembayaran.

Langkah 4-7: Verifikasi Keuangan, SPM, SP2D, dan Pembayaran Vendor

Setelah SPP terbit, fokus beralih ke verifikasi keuangan dan eksekusi pembayaran.

Langkah keempat adalah Pengujian dan Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) oleh PPSPM. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), PPSPM memiliki peran sentral sebagai ‘gerbang’ keuangan. PPSPM bertugas menguji keabsahan SPP, termasuk memastikan ketersediaan dana dan kelengkapan bukti pendukung. Jika SPP telah lolos pengujian, PPSPM menerbitkan SPM.

Langkah kelima adalah Penyampaian SPM ke KPPN. SPM yang telah diterbitkan oleh PPSPM kemudian diajukan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebagai representasi Bendahara Umum Negara (BUN).

Langkah keenam adalah Penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). KPPN akan memverifikasi legalitas SPM dan dokumen pendukung. KPPN bertindak sebagai pihak yang meyakinkan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan telah memenuhi kaidah kepatuhan anggaran. Jika verifikasi KPPN selesai, KPPN menerbitkan SP2D dan mengirimkan dana dari kas negara ke rekening Penyedia.

Langkah ketujuh, dan yang terakhir, adalah Pembayaran kepada Penyedia. Dana yang masuk ke rekening Penyedia dari KPPN (yang ditujukan untuk pembayaran atas kontrak) secara resmi menuntaskan proses transaksi.

Untuk menekankan mekanisme kontrol internal yang ketat, mari kita jelaskan alur ini sebagai sebuah diagram (digambarkan dalam teks):

PPK $\to$ PPSPM $\to$ KPPN $\to$ Penyedia

  • PPK: Memastikan prestasi kerja (BAST) dan menerbitkan SPP.
  • PPSPM: Menguji legalitas SPP dan menerbitkan SPM.
  • KPPN: Menguji keabsahan SPM, mencairkan dana, dan menerbitkan SP2D.
  • Penyedia: Menerima pembayaran yang sah.

Setiap pembayaran wajib didukung oleh bukti otentik yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari dokumen inti, termasuk kuitansi, faktur pajak, surat setoran pajak (SSP) untuk PPN/PPh, dan tentu saja, BAST. Kepatuhan pada alur ini adalah cara efektif untuk menghindari temuan audit dan memastikan bahwa transaksi keuangan publik dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

Strategi Membangun Akuntabilitas dan Kualitas Pengelolaan Keuangan

Mencegah penyimpangan dalam pembayaran pengadaan barang/jasa pemerintah tidak cukup hanya dengan mengetahui aturan; perlu ada penerapan strategi komprehensif yang berfokus pada peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan transparansi sistem. Dua pilar utama yang harus diperkuat adalah peningkatan kualitas pejabat pelaksana anggaran dan digitalisasi proses pengadaan.

Pentingnya Sertifikasi dan Kompetensi Pejabat Pengadaan

Untuk menjamin kepatuhan terhadap prosedur pembayaran yang legal dan akuntabel, sangat penting bagi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk memiliki sertifikasi dan pelatihan yang memadai dalam regulasi pengadaan dan keuangan negara. Kompetensi ini memastikan bahwa mereka memahami batas kewenangan, mulai dari penetapan spesifikasi teknis hingga penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan pengendalian mutu hasil pekerjaan.

Keandalan dalam tata kelola keuangan publik (sering disebut sebagai Expertise, Authority, and Trust) sangat bergantung pada pemahaman mendalam para pejabat kunci mengenai Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagai contoh nyata komitmen pada kualitas, kami mendorong pembaca untuk merujuk pada modul pelatihan yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Modul-modul ini, khususnya yang berkaitan dengan manajemen kontrak dan keuangan, adalah sumber otoritatif yang wajib diikuti untuk memperoleh sertifikasi profesional. Dengan demikian, keputusan terkait pembayaran diambil berdasarkan landasan hukum yang kuat, bukan asumsi pribadi.

Pemanfaatan Sistem Informasi Pengadaan (SIPA/SPSE) untuk Transparansi

Di era digital, salah satu strategi paling efektif untuk meminimalkan risiko pembayaran non-prosedural adalah dengan mengadopsi sistem e-procurement secara penuh, seperti Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPA) atau Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE). Adopsi penuh sistem ini dapat meminimalkan intervensi manual dan memastikan bahwa setiap transaksi tercatat dengan jejak audit yang jelas (clear audit trail).

Digitalisasi memastikan bahwa proses mulai dari perencanaan anggaran, pemilihan penyedia, pelaksanaan kontrak, hingga proses verifikasi tagihan dan pembayaran, dilakukan dalam satu platform terintegrasi. Ketika semua tahapan tercatat secara elektronik, sistem akan secara otomatis mengunci potensi pembayaran sebelum seluruh persyaratan administrasi (seperti Berita Acara Serah Terima, faktur, dan bukti pajak) terpenuhi. Jejak digital ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memudahkan auditor, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk melakukan pemeriksaan, sehingga secara inheren mengurangi peluang bagi ‘pelaksana kegiatan’ non-keuangan untuk menyimpang dari alur pembayaran resmi. Strategi ini pada akhirnya memperkuat integritas dan kejelasan setiap rupiah yang dibelanjakan.

Tanya Jawab Teratas Seputar Pembayaran Pengadaan

Q1. Apakah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat menyerahkan kewenangan pembayaran?

Secara prinsip, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak dapat menyerahkan atau mendelegasikan kewenangan pembayaran yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, PPK adalah pihak yang memiliki kewenangan mengambil keputusan dan/atau tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja.

Meskipun PPK dapat mendelegasikan sebagian kewenangan teknis dalam pelaksanaan kontrak kepada staf atau Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)—seperti melakukan pemeriksaan barang, membuat laporan kemajuan pekerjaan, atau menyiapkan dokumen teknis—namun, kewenangan pengambilan keputusan yang memicu pengeluaran anggaran tetap berada di tangan PPK. Pengecualian hanya dimungkinkan jika pendelegasian tersebut dilakukan secara tertulis oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan sesuai dengan batasan serta prosedur yang ditetapkan oleh regulasi keuangan negara. Pendekatan ini memastikan akuntabilitas dan meningkatkan kepercayaan publik (salah satu pilar utama dalam prinsip pengelolaan keuangan yang baik) karena keputusan vital tetap berada pada pejabat yang bertanggung jawab penuh.

Q2. Apa yang harus dilakukan pelaksana kegiatan jika diminta menalangi pembayaran terlebih dahulu?

Pelaksana kegiatan, baik itu PPTK, panitia penerima, atau staf teknis, harus menolak permintaan untuk menalangi (membayar dengan uang pribadi) transaksi pengadaan barang/jasa.

Permintaan untuk menalangi pembayaran adalah praktik yang melanggar prosedur keuangan negara dan menciptakan risiko serius, termasuk risiko hukum, hilangnya jejak audit, dan kesulitan dalam pertanggungjawaban di kemudian hari. Praktisi berpengalaman menegaskan bahwa pembayaran harus selalu diproses melalui mekanisme resmi: Uang Persediaan (UP) untuk pengeluaran kecil yang bersifat rutin dan segera, atau Pembayaran Langsung (LS) untuk pengeluaran dengan nilai besar.

Jika terdapat kebutuhan mendesak untuk pengeluaran, pelaksana kegiatan wajib segera melaporkannya kepada Bendahara Pengeluaran atau KPA. Bendahara kemudian yang bertugas memproses pengeluaran tersebut menggunakan dana UP, yang kemudian harus segera dipertanggungjawabkan (direimburse) dan dilampirkan dengan bukti yang sah. Mempertahankan pemisahan fungsi antara pelaksana teknis dan pengelola keuangan adalah langkah penting untuk menjamin transparansi dan mencegah temuan audit di kemudian hari, sekaligus menegakkan prinsip-prinsip tata kelola yang teruji.

Final Takeaways: Mastering Tata Kelola Pembayaran Pengadaan yang Benar

Artikel ini menegaskan dengan jelas bahwa Pelaksana Kegiatan (staf teknis) tidak memiliki kewenangan resmi untuk melakukan pembayaran pengadaan barang/jasa pemerintah. Wewenang itu berada di tangan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dengan Bendahara Pengeluaran sebagai eksekutor pembayaran riil. Memahami dan menerapkan aturan ini adalah fondasi untuk membangun pertanggungjawaban dan kepercayaan publik.

Tiga Pilar Kepatuhan Pembayaran Barang/Jasa

Keberhasilan dalam pengelolaan keuangan pengadaan terletak pada penegakan tiga pilar utama yang memastikan tidak adanya tumpang tindih fungsi yang dapat memicu penyimpangan.

  1. Pelaksana Kegiatan: Fokus sepenuhnya pada eksekusi teknis pekerjaan atau pengadaan. Mereka memastikan barang/jasa yang diterima sesuai dengan spesifikasi kontrak. Mereka tidak memegang dana atau melakukan pembayaran.
  2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK): Fokus pada manajemen kontrak dan pengambilan keputusan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran. Mereka bertindak sebagai pihak yang mengesahkan tagihan.
  3. Bendahara Pengeluaran: Fokus pada eksekusi keuangan dan pencairan dana. Mereka adalah satu-satunya pihak yang berwenang mengeluarkan uang dari kas negara setelah melalui verifikasi yang sah.

Prinsip pemisahan fungsi ini adalah kunci untuk menciptakan tata kelola yang teruji dan akuntabel.

Langkah Awal Anda Menuju Akuntabilitas Penuh

Untuk memastikan kepatuhan yang konsisten dan menghindari temuan audit, setiap unit kerja harus mengambil langkah-langkah praktis. Selalu merujuk pada regulasi terkini, khususnya Peraturan Presiden mengenai Pengadaan Barang/Jasa dan Peraturan Menteri Keuangan terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap pengeluaran, besar maupun kecil, harus dicatat dalam sistem dan didukung oleh dokumen keuangan yang valid, lengkap, dan otentik—mulai dari kuitansi, faktur pajak, hingga Berita Acara Serah Terima (BAST). Dengan demikian, jejak audit yang jelas akan selalu tersedia, membangun kredibilitas dan keandalan yang tak terbantahkan.

Jasa Pembayaran Online
💬