Kewajiban PPh 23 Hotel Atas Jasa Restoran: Panduan Pajak Lengkap
Memahami Kompleksitas Perpajakan: PPh 23 dan Jasa Restoran Hotel
Jawaban Langsung: Apakah Hotel Wajib Memotong PPh 23 atas Jasa Restoran?
Untuk menjawab pertanyaan utama secara langsung, hotel pada umumnya tidak diwajibkan untuk memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas penjualan makanan dan minuman yang disediakan di restoran internalnya. Penjualan ini merupakan bagian dari layanan perhotelan yang menjadi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Daerah. Ini adalah poin krusial yang membedakan penyerahan jasa oleh hotel sendiri dari skenario jasa pihak ketiga. Namun, kewajiban pemotongan PPh 23 dapat muncul apabila hotel menggunakan jasa katering atau restoran dari pihak ketiga dan bertindak sebagai pemotong pajak saat melakukan pembayaran imbalan jasa tersebut. Kondisi lain yang memicu PPh 23 adalah jika transaksi tersebut melibatkan bendahara pemerintah, baik APBN maupun APBD, sebagai pihak pembayar.
Mengapa Pemahaman Pajak Ini Krusial untuk Kepatuhan Bisnis Hotel?
Bagi setiap manajer keuangan atau pemilik bisnis hotel, pemahaman yang akurat mengenai perbedaan antara PPh 23 dan Pajak Daerah (PBJT) adalah sangat penting. Kesalahan klasifikasi transaksi dapat berujung pada potensi sanksi karena kurang bayar atau salah potong. Berdasarkan data kepatuhan pajak yang sering dirilis oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), misklasifikasi objek pajak antara PPh dan Pajak Daerah merupakan salah satu temuan audit yang umum terjadi pada sektor jasa. Menguasai ketentuan ini memastikan bahwa hotel menjalankan operasionalnya dengan tingkat kredibilitas dan akuntabilitas fiskal yang tinggi, melindungi hotel dari risiko finansial dan hukum.
Kunci Pembeda Pajak: Restoran Hotel sebagai Objek PBJT (Pajak Daerah)
Pemahaman yang mendalam mengenai klasifikasi jenis pajak adalah fondasi bagi kepatuhan pajak yang baik, khususnya di sektor perhotelan. Kekeliruan dalam mengidentifikasi objek pajak—apakah itu Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Daerah—dapat mengakibatkan kesalahan pemotongan dan sanksi. Dalam konteks jasa restoran yang disediakan langsung oleh hotel, pembedaan ini menjadi sangat krusial.
Penjualan makanan dan minuman yang disediakan oleh restoran di dalam atau yang dikelola oleh hotel seringkali merupakan objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)—yang sebelumnya dikenal sebagai Pajak Hotel dan Restoran (PHR) atau PB1—bukan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini berarti bahwa pajak yang harus dipungut, disetor, dan dilaporkan adalah pajak daerah, dan bukan kewajiban pemotongan PPh 23.
Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) vs. Pajak Penghasilan (PPh)
Untuk menegaskan otoritas informasi ini, merujuk pada regulasi terkini, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) secara eksplisit menetapkan bahwa konsumsi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh restoran (termasuk restoran hotel) merupakan objek PBJT. Pasal ini adalah landasan hukum utama yang memindahkan otoritas pengenaan pajak atas transaksi ini dari pemerintah pusat (PPh dan PPN) ke pemerintah daerah. Dengan demikian, hotel bertindak sebagai pemungut (bukan pemotong) PBJT yang tarifnya ditetapkan oleh Peraturan Daerah (Perda), umumnya berkisar 10% dari nilai jual.
Kriteria Jasa Restoran yang Dikecualikan dari PPN (dan PPh 23)
Pengecualian ini diperkuat oleh ketentuan mengenai PPN. Jasa penyediaan makanan dan minuman yang merupakan bagian tak terpisahkan dari layanan hotel dikecualikan dari pengenaan PPN, yang secara tidak langsung juga memastikannya tidak masuk dalam rezim PPh Pasal 23. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengatur batas pengecualian ini, dan secara konsisten menegaskan bahwa jasa penyediaan makanan atau minuman yang disajikan di tempat termasuk dalam kategori objek Pajak Daerah.
Intinya, selama restoran dan katering tersebut dikelola dan dioperasikan oleh pihak hotel sendiri, transaksi penjualan makanan dan minuman tersebut akan fokus pada kewajiban Pajak Daerah (PBJT), dan tidak menimbulkan kewajiban bagi hotel untuk memotong PPh 23. Hotel hanya wajib memotong PPh 23 ketika terjadi pembayaran imbalan jasa kepada pihak ketiga.
Skenario Wajib Potong PPh Pasal 23: Imbalan Jasa kepada Pihak Ketiga
Kapan Jasa Katering/Restoran Pihak Luar Dikenakan PPh 23?
Kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 oleh hotel atas jasa katering atau restoran sangat spesifik dan tidak berlaku pada penjualan makanan/minuman yang merupakan layanan inti hotel. PPh Pasal 23 menjadi relevan ketika hotel bertindak sebagai pembayar (pemotong pajak) atas jasa yang diterima dari entitas pihak luar.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, jasa katering atau tata boga termasuk dalam kategori jasa lain yang dikenakan PPh Pasal 23. Oleh karena itu, jika sebuah hotel menggunakan jasa penyedia katering atau restoran eksternal—misalnya, untuk acara besar atau event khusus—dan hotel tersebut membayar imbalan jasa tersebut, maka hotel wajib memotong PPh Pasal 23. Tarif yang berlaku adalah 2% dari jumlah bruto nilai imbalan jasa (sebelum dikurangi PPN dan reimbursement tertentu). Pengecualian hanya berlaku jika penyedia jasa tersebut adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (OP) atau jika transaksi adalah objek Pajak Daerah (PBJT).
Untuk membedakannya secara jelas, penjualan makanan dan minuman oleh restoran internal hotel adalah objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) — dulunya dikenal sebagai Pajak Hotel/Restoran (PB1) — yang merupakan pajak daerah. Sebaliknya, pembayaran imbalan kepada pihak ketiga untuk jasa katering adalah objek PPh Pasal 23. Peraturan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara konsisten memisahkan kedua perlakuan ini: Penyerahan Makanan/Minuman oleh hotel sendiri dikenakan PBJT, sedangkan Pembayaran Jasa Katering oleh hotel kepada pihak luar dikenakan PPh 23. Pemahaman yang mendalam mengenai klasifikasi transaksi ini merupakan fondasi keahlian dan kepatuhan dalam perpajakan sektor perhotelan.
Dampak Status ‘Bendahara Pemerintah’ terhadap Pemotongan PPh 23 Hotel
Status pembayar memainkan peran krusial dalam menentukan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23. Dalam skenario ini, hotel dapat saja dikenakan PPh 23, namun bukan karena jasanya, melainkan karena pihak yang membayar adalah Bendahara Pemerintah (Instansi pemerintah pusat maupun daerah, baik APBN atau APBD).
Meskipun hotel umumnya memungut PBJT (Pajak Daerah) atas penjualan makanan/minuman, terdapat ketentuan yang bersifat ‘sapu jagat’ yang harus diperhatikan:
- Hotel sebagai Pemotong Pajak: Jika hotel menyewa jasa katering/restoran dari pihak ketiga (selain OP) dan membayarnya, hotel wajib memotong PPh 23 sebesar 2% atas imbalan jasa tersebut. Dalam kasus ini, hotel bertindak sebagai pemotong PPh.
- Hotel sebagai Pihak yang Dipotong Pajak: Jika instansi pemerintah (Bendahara Pemerintah) membeli jasa perhotelan, termasuk makanan/minuman, dan pembayarannya dibebankan pada APBN atau APBD, maka instansi pemerintah tersebut yang wajib memotong PPh Pasal 23 atas Jasa Perhotelan.
Ketentuan Jasa Lain dalam PMK No. 141/PMK.03/2015 menegaskan bahwa pemotongan PPh 23 oleh Bendahara wajib dilakukan atas pembayaran jasa yang dibebankan pada anggaran negara. Jadi, sekalipun penjualan makanan/minuman di hotel seharusnya objek PBJT, ketika pembeli adalah Bendahara Pemerintah, PPh 23 (atas Jasa Perhotelan, bukan Jasa Katering) akan dipotong oleh Bendahara pada saat pembayaran. Untuk memastikan keahlian dalam kepatuhan, Manajer Keuangan Hotel harus selalu memverifikasi identitas pembayar dan dasar hukum pembayaran tersebut.
Oleh karena itu, kewajiban PPh 23 bagi hotel muncul dalam dua kondisi utama: (1) Hotel membayar jasa katering pihak ketiga (Hotel memotong), atau (2) Hotel menerima pembayaran dari Bendahara Pemerintah (Bendahara memotong).
Pengecualian dan Perbedaan: PPh 23 ‘Sapu Jagat’ dalam Transaksi Hotel
Meskipun prinsip umum memposisikan penjualan makanan dan minuman oleh hotel sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) Daerah dan mengecualikannya dari PPh Pasal 23, terdapat satu skenario pengecualian yang sangat penting untuk dipahami. Skenario ini muncul ketika hotel berhadapan dengan Instansi Pemerintah sebagai pelanggan. Pemahaman mendalam mengenai ketentuan ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan dan menjaga kredibilitas serta kepercayaan (yang merupakan esensi dari E-A-T dalam konten teknis) dalam pengelolaan keuangan hotel.
Ketentuan Khusus ‘Jasa Lain’ yang Dikenakan PPh 23: Jasa Hotel dalam APBN/APBD
Dalam praktik perpajakan, jasa yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan selalu dipotong PPh Pasal 23. Kondisi ini sering disebut sebagai kondisi ‘sapu jagat’ (penyapu bersih) yang secara efektif mencakup jasa perhotelan, termasuk penggunaan restoran hotel oleh instansi pemerintah, meskipun pada dasarnya jasa tersebut adalah objek Pajak Daerah (PBJT).
Ketentuan yang memicu pemotongan PPh Pasal 23 oleh bendahara ini secara spesifik merujuk pada lampiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain. PMK ini mencantumkan “Jasa Perhotelan” sebagai salah satu jenis jasa lain yang dikenakan PPh 23 dengan tarif 2%. Hal ini secara langsung mengikat bendahara pemerintah untuk melakukan pemotongan, terlepas dari klasifikasi PPN atau PBJT pada umumnya. Oleh karena itu, bagi hotel, sangat penting untuk mengetahui siapa yang membayar tagihan. Jika pembayar adalah Instansi Pemerintah (Bendahara), pemotongan PPh 23 tidak terhindarkan.
Implikasi Bendahara Pemerintah Menggunakan Jasa Restoran Hotel
Ketika sebuah instansi pemerintah (bendahara APBN/APBD) memesan layanan makanan dan minuman dari restoran yang dikelola oleh hotel, implikasi perpajakannya bergeser dari fokus pada PBJT ke PPh Pasal 23.
Dalam skenario ini, hotel bertindak sebagai pihak yang menerima penghasilan atas “Jasa Perhotelan.” Penting untuk dicatat, instansi pemerintah yang bertindak sebagai bendahara memiliki kewajiban untuk memotong PPh 23. Mereka akan memotong PPh 23 atas Jasa Perhotelan (sebagaimana diatur dalam PMK 141/2015) dengan tarif 2% dari nilai bruto, bukan PPh 23 atas Jasa Katering atau Restoran yang berdiri sendiri.
- Pembeda Kunci: Pemotongan ini terjadi karena adanya kewajiban bendahara pemerintah untuk memotong PPh 23 atas setiap pembayaran yang dibebankan ke kas negara/daerah (APBN/APBD).
- Tarif Pemotongan: Tarif yang digunakan adalah 2% dari jumlah bruto, kecuali hotel tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang akan meningkatkan tarif menjadi 4%.
Dengan kata lain, kewajiban pemotongan PPh 23 tidak terletak pada klasifikasi jasa yang dijual (makanan/minuman), melainkan pada status pembayar (Bendahara Pemerintah) dan sumber dananya (APBN/APBD) yang mengaktifkan ketentuan ‘Jasa Perhotelan’ dalam PMK 141/2015. Hotel harus memastikan bahwa bukti potong PPh Pasal 23 ini diterima dari Bendahara sebagai kredit pajak hotel.
Langkah Praktis Kepatuhan: Mengidentifikasi Dasar Hukum dan Tarif yang Tepat
Memastikan kepatuhan perpajakan di sektor perhotelan bukan hanya tentang membayar, tetapi juga tentang mengidentifikasi dengan tepat jenis pajak, subjek, dan dasar pengenaannya. Kesalahan dalam klasifikasi dapat berujung pada sanksi dan koreksi, terutama dalam membedakan antara Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang bersifat lokal dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang bersifat nasional.
Panduan Ceklist: Kapan Hotel Bertanggung Jawab sebagai Pemungut PBJT?
Kepatuhan dimulai dengan menentukan secara tepat apakah transaksi yang terjadi adalah ‘penyerahan jasa perhotelan’ (PBJT), yang berarti hotel bertindak sebagai pemungut Pajak Daerah, atau ‘pembayaran imbalan jasa’ (PPh 23), yang berarti hotel bertindak sebagai pemotong PPh.
Untuk membantu manajer keuangan hotel memvisualisasikan keputusan ini, berikut adalah skema alur yang disederhanakan berdasarkan praktik terbaik dan regulasi perpajakan:
- Hotel Jual Makanan/Minuman Langsung ke Konsumen $\rightarrow$ Objek PBJT (Pajak Daerah). Hotel memungut pajak (misalnya 10%) dari konsumen dan menyetorkannya ke Kas Daerah.
- Hotel Bayar Jasa Katering/Restoran Pihak Ketiga $\rightarrow$ Objek PPh 23. Hotel memotong PPh 23 (2%) dari pembayaran kepada penyedia katering pihak ketiga dan menyetorkannya ke Kas Negara.
- Instansi Pemerintah Bayar Jasa Restoran Hotel $\rightarrow$ Objek PPh 23 (Jasa Perhotelan) atau PBJT (tergantung pembebanan anggaran). Bendahara Pemerintah yang wajib memotong PPh 23.
Dengan fokus pada penguasaan dan pemahaman atas regulasi ini, hotel dapat membangun tata kelola yang tepercaya dan akuntabel di mata regulator. Keputusan harus selalu didasarkan pada karakteristik transaksi: apakah itu penyerahan produk/layanan hotel atau penggunaan jasa pihak ketiga oleh hotel.
Tarif Pemotongan PPh 23 dan Sanksi bagi yang Tidak Memiliki NPWP
Jika transaksi jatuh pada kategori PPh Pasal 23—yaitu pembayaran imbalan jasa kepada pihak ketiga (selain OP) oleh hotel (misalnya untuk jasa katering luar)—maka hotel harus mengetahui tarif yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur jenis-jenis jasa yang dikenakan PPh 23, tarif pemotongan yang berlaku atas imbalan jasa adalah sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dalam konteks ini, DPP PPh 23 untuk jasa adalah jumlah bruto imbalan yang dibayarkan.
Penting untuk dicatat bahwa nilai bruto ini:
- Tidak termasuk PPN yang dipungut oleh pihak yang menyerahkan jasa (jika terutang).
- Tidak termasuk biaya reimbursement tertentu yang dibayarkan oleh hotel kepada pihak ketiga, asalkan didukung dengan invoice atas nama hotel yang bersangkutan.
Sanksi Kepatuhan (Tanpa NPWP):
Dalam upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, peraturan perpajakan menetapkan sanksi tegas bagi penerima penghasilan (penyedia jasa/katering) yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jika hotel melakukan pembayaran PPh 23 kepada penyedia jasa yang tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan yang berlaku adalah 100% lebih tinggi dari tarif normal.
Artinya, jika tarif normal adalah 2%, maka tarif yang wajib dipotong menjadi 4% dari nilai bruto. Pemotongan ganda ini bertujuan untuk mendorong setiap entitas bisnis untuk mendaftarkan dan menggunakan NPWP, yang merupakan aspek penting dari ketaatan pajak yang baik dan kredibel.
Tindakan proaktif hotel untuk memverifikasi status NPWP setiap vendor jasa yang disewa adalah langkah fundamental dalam mengimplementasikan praktik kepatuhan pajak yang teruji.
Studi Kasus Perpajakan Restoran Hotel: Analisis Real-World
Memahami perbedaan antara Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dan PPh Pasal 23 paling mudah dilakukan dengan menganalisis studi kasus nyata. Contoh-contoh ini akan mengilustrasikan kapan hotel bertindak sebagai pemungut (PBJT) dan kapan pihak lain, seperti bendahara pemerintah, yang wajib memotong pajak (PPh 23).
Kasus 1: Perusahaan Swasta Mengadakan Pesta Pernikahan dengan Katering Hotel
Sebuah perusahaan swasta memutuskan untuk mengadakan resepsi pernikahan di sebuah ballroom hotel, termasuk paket makanan dan minuman (katering) yang disediakan sepenuhnya oleh dapur hotel. Total biaya yang disepakati (Dasar Pengenaan Pajak - DPP) adalah Rp10.000.000.
Transaksi ini, di mana hotel menyediakan makanan dan minuman sebagai bagian dari layanan perhotelan atau restoran yang dikelolanya, secara hukum diklasifikasikan sebagai objek PBJT (Pajak Daerah). Ini berarti Perusahaan Swasta tidak wajib memotong PPh Pasal 23 dari total pembayaran Rp10.000.000 tersebut. Sebaliknya, hotel wajib memungut PBJT dari perusahaan swasta dan menyetorkannya kepada Pemerintah Daerah.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan dasar hukum dan nominal, mari kita bandingkan perhitungannya. Jika diasumsikan tarif PBJT (Pajak Restoran) adalah 10% dan tarif PPh 23 adalah 2%, perhitungannya adalah:
-
Pajak yang Dipungut oleh Hotel (PBJT): $Rp10.000.000 \times 10% = Rp1.000.000$. Pajak ini masuk ke kas daerah.
-
Pemotongan PPh Pasal 23 (Jika Transaksi Salah Diklasifikasikan): $Rp10.000.000 \times 2% = Rp200.000$. Pajak ini seharusnya disetor ke kas negara.
Perbedaan yang signifikan ini menegaskan bahwa dasar hukum transaksi — apakah itu penjualan (objek PBJT) atau imbalan jasa katering pihak ketiga (objek PPh 23) — sangat krusial. Dalam Kasus 1, transaksi adalah penjualan dan berada di bawah payung PBJT.
Kasus 2: Instansi Pemerintah Memesan Makanan dari Restoran Hotel untuk Rapat
Kantor A, sebuah instansi yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), memesan sejumlah makanan box dan menyewa ruang rapat dari sebuah hotel untuk kegiatan kedinasan. Total tagihan untuk sewa ruang dan konsumsi (makanan) adalah Rp10.000.000.
Menurut ketentuan perpajakan, khususnya terkait pihak-pihak yang bertindak sebagai pemotong, setiap pembayaran yang dibebankan pada APBN/APBD dan termasuk dalam kategori “Jasa Lain” wajib dipotong PPh Pasal 23 oleh bendahara pemerintah. Jasa hotel, yang di dalamnya termasuk penyediaan makanan/minuman sebagai bagian dari akomodasi, masuk dalam kategori Jasa Perhotelan.
Oleh karena itu, Bendahara Kantor A wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto (Rp10.000.000). Pemotongan ini dilakukan atas Jasa Perhotelan yang disediakan oleh hotel, bukan PPh 23 atas Jasa Katering sebagaimana yang dibayarkan kepada pihak ketiga.
Perhitungan Pajak yang Dipotong Bendahara:
- PPh Pasal 23 (2% Jasa Perhotelan): $Rp10.000.000 \times 2% = Rp200.000$. Bendahara akan menyetor jumlah ini ke kas negara atas nama hotel.
Meskipun makanan dan minuman merupakan inti dari transaksi, status pembayar sebagai Bendahara Pemerintah menjadi faktor penentu. Ini menunjukkan bahwa fokus beralih dari pengenaan PBJT ke kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 oleh pihak yang membayarkan jasa tersebut. Hotel, dalam kasus ini, hanya menerima pembayaran bersih setelah dipotong PPh 23.
Pertanyaan Populer Mengenai PPh 23 dan Operasional Restoran Hotel
Memahami perbedaan antara Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Daerah (PBJT) seringkali menjadi titik krusial yang menentukan kepatuhan pajak hotel. Berikut adalah jawaban atas dua pertanyaan paling umum yang berkaitan dengan PPh Pasal 23 dalam konteks operasional hotel dan restorannya.
Q1. Apakah ‘Service Charge’ dalam Restoran Hotel Dikenakan PPh 23?
Tidak. Service charge (uang layanan) yang dikenakan oleh hotel atau restoran yang dikelola hotel pada dasarnya adalah komponen dari jasa perhotelan secara keseluruhan, yang berada di bawah rezim Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)—dulu dikenal sebagai Pajak Hotel dan Restoran (PB1), yaitu Pajak Daerah.
Berdasarkan praktik dan penafsiran otoritas pajak, komponen biaya seperti harga makanan/minuman, tarif kamar, dan service charge yang tertera pada tagihan tamu dikategorikan sebagai objek PBJT, bukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ataupun PPh Pasal 23. Pendapatan hotel dari service charge dianggap sebagai bagian dari total imbalan atas jasa perhotelan yang telah dikenakan PBJT (maksimal 10%) oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, hotel bertindak sebagai pemungut PBJT dari tamu.
Adapun uang service charge tersebut, ketika dibayarkan kepada karyawan, akan dikenakan PPh Pasal 21, yaitu pajak atas penghasilan orang pribadi, karena dianggap sebagai tambahan penghasilan non-upah bagi karyawan. Pengusaha (hotel) yang wajib memotong dan menyetorkan PPh 21 ini, bukan PPh 23.
Q2. Bagaimana Jika Hotel Menyewakan Ruang untuk Restoran Pihak Lain?
Jika hotel bertindak sebagai pemilik gedung dan menyewakan sebagian ruangannya (misalnya untuk ATM, money changer, atau restoran independen yang dikelola pihak ketiga) kepada pihak lain, penghasilan yang diperoleh hotel tersebut dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) Final, bukan PPh Pasal 23.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah yang mengatur persewaan tanah dan/atau bangunan, tarif pajak atas sewa ruangan (tempat usaha) oleh hotel kepada penyewa adalah 10% dari nilai sewa bruto dan bersifat Final. PPh Final ini wajib dipotong oleh penyewa (jika penyewa adalah badan) atau disetor sendiri oleh hotel (jika penyewa adalah orang pribadi). Penting untuk diperhatikan, penghasilan sewa ruangan yang termasuk dalam lingkup jasa perhotelan (seperti penyewaan ballroom atau ruang rapat untuk acara) seringkali dikecualikan dari PPh Pasal 4(2) dan masuk ke dalam skema PBJT/Pajak Daerah, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, jika sewa ruangan tersebut digunakan untuk usaha komersial pihak lain (seperti sewa kios restoran jangka panjang), maka PPh Final 4(2) wajib diterapkan.
Poin Penting: Memastikan Kepatuhan Pajak Hotel di Tahun 2025
3 Langkah Kepatuhan Cepat untuk Manajer Keuangan Hotel
Kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas jasa restoran hotel sangat jarang terjadi. Hal ini didasarkan pada pemahaman mendalam mengenai Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) yang menempatkan penjualan makanan dan minuman oleh restoran hotel di bawah rezim Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Fokus utama kepatuhan hotel harus selalu pada PBJT, kecuali jika terdapat dua kondisi spesifik: pertama, hotel menggunakan jasa katering pihak ketiga; atau kedua, transaksi jasa perhotelan (termasuk restoran) dibayar oleh Bendahara Pemerintah (APBN/APBD). Dengan memverifikasi dua kondisi ini, hotel dapat memastikan pemenuhan regulasi yang benar.
Aksi Selanjutnya: Konsultasi dan Audit Perpajakan
Untuk mencapai akuntabilitas tinggi dan meminimalisasi risiko sanksi, langkah krusial adalah selalu verifikasi klasifikasi transaksi secara tepat. Manajer keuangan harus menentukan secara pasti apakah transaksi tersebut adalah penyerahan jasa perhotelan (objek PBJT) atau pembayaran imbalan jasa (objek PPh 23). Selain itu, identitas pembayar—apakah entitas swasta non-pemotong pajak atau Bendahara Pemerintah—akan menentukan siapa yang memiliki kewajiban memotong dan jenis PPh apa yang dikenakan. Melakukan audit internal secara berkala dan berkonsultasi dengan konsultan pajak yang memiliki rekam jejak teruji dalam kepatuhan sektor perhotelan adalah kunci untuk menjaga integritas dan kebenaran pelaporan pajak Anda.