Ketentuan Hukum: Bolehkah Jasa Pekerjaan Tidak Dibayar Sekaligus?
Panduan Lengkap: Aturan Pembayaran Jasa Pekerjaan Tidak Sekaligus
Definisi Hukum Pembayaran Termin untuk Jasa Pekerjaan
Pertanyaan mengenai bolehkah jasa pekerjaan tidak dibayar sekaligus sering muncul, dan jawabannya adalah ya, pembayaran jasa pekerjaan secara bertahap, atau yang dikenal sebagai termin, tidak hanya diperbolehkan namun juga merupakan praktik yang sangat umum dan diakui dalam berbagai sektor, mulai dari konstruksi hingga jasa profesional.
Pembayaran termin adalah mekanisme di mana total nilai kontrak dipecah menjadi beberapa tahap pembayaran, yang biasanya dikaitkan dengan pencapaian milestone atau persentase kemajuan pekerjaan tertentu. Aspek krusialnya adalah, pembayaran termin hanya sah dan mengikat apabila telah diatur secara jelas, detail, dan disepakati oleh kedua belah pihak di dalam sebuah kontrak tertulis. Tanpa pengaturan yang eksplisit dalam kontrak, pembayaran penuh sekaligus adalah standar baku yang berlaku.
Pentingnya Memastikan Kontrak yang Adil dan Jelas
Memahami cara kerja pembayaran termin merupakan langkah fundamental bagi pemberi kerja maupun penyedia jasa. Artikel ini dirancang untuk memberikan landasan pengetahuan yang kuat mengenai landasan hukum yang mendukung sistem pembayaran termin, berbagai jenis-jenis termin yang dapat digunakan, serta cara praktis menyusun perjanjian yang dapat melindungi kepentingan finansial dan kinerja kedua belah pihak. Dengan merinci hal-hal ini, kami memastikan bahwa setiap pembaca dapat membuat keputusan yang terinformasi, yang menumbuhkan kepercayaan dan meminimalisir risiko sengketa di masa mendatang.
Landasan Hukum Pembayaran Jasa Proyek dan Kontrak Kerja di Indonesia
Untuk menjawab pertanyaan apakah bolehkah jasa pekerjaan tidak dibayar sekaligus, pemahaman mendalam tentang dasar hukum di Indonesia sangat krusial. Pembayaran secara bertahap atau termin tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga menjadi praktik standar dalam industri proyek dan jasa profesional, asalkan memiliki pijakan hukum yang kuat.
Prinsip Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan Pembayaran
Penyusunan metode pembayaran secara termin (bertahap) harus merujuk pada prinsip hukum fundamental, yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas ini, yang secara eksplisit diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1338 ayat (1), menyatakan, “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Prinsip ini memberikan keleluasaan kepada Pemberi Kerja dan Penyedia Jasa untuk menyepakati mekanisme pembayaran yang paling sesuai untuk proyek tersebut, termasuk skema pembayaran tidak sekaligus. Kami menekankan bahwa agar perjanjian ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat layaknya undang-undang, persetujuan harus dibuat secara sah—yaitu memenuhi syarat sahnya perjanjian (sepakat, cakap, hal tertentu, dan kausa yang halal) sesuai KUHPerdata Pasal 1320.
Keahlian hukum menunjukkan bahwa pembayaran termin berfungsi ganda: sebagai mitigasi risiko bagi pemberi kerja (owner)—mereka hanya membayar setelah pekerjaan mencapai kemajuan tertentu—dan sebagai jaminan aliran dana bagi penyedia jasa (kontraktor) untuk menutupi biaya operasional dan material secara berkelanjutan. Khusus untuk sektor konstruksi, selain KUHPerdata, kontrak wajib mematuhi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang mengatur kewajiban pembayaran, masa retensi, dan perlindungan hak pekerja, sehingga memastikan legalitas dan kepatutan yang lebih tinggi.
Perbedaan Kontrak Borongan (Perjanjian Kerja) dan Jasa Profesional
Meskipun keduanya melibatkan pembayaran jasa, penting untuk membedakan antara kontrak borongan dan perjanjian penyediaan jasa profesional, karena ini memengaruhi cara pembayaran termin diterapkan.
-
Kontrak Borongan (Perjanjian Kerja): Biasanya mencakup penyelesaian pekerjaan secara keseluruhan dengan hasil akhir yang telah ditentukan (misalnya, membangun rumah atau jembatan). Pembayaran termin sering didasarkan pada progres fisik yang dicapai di lapangan. Dasar hukumnya berada pada pasal-pasal seputar Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dalam KUHPerdata. Dalam konteks ini, pembayaran termin adalah mekanisme vital untuk memecah risiko penyelesaian proyek yang besar dan berjangka panjang.
-
Jasa Profesional: Mencakup layanan yang didasarkan pada keahlian atau intelektual (misalnya, jasa konsultan hukum, akuntan, atau desainer). Pembayaran termin di sini cenderung dikaitkan dengan milestone atau pencapaian tahapan tertentu (seperti penyerahan laporan kajian atau persetujuan desain).
Dalam kedua kasus, sistem pembayaran termin menjamin kedua belah pihak terlindungi. Dengan adanya kontrak yang kuat dan transparan, Penyedia Jasa mendapatkan kepastian arus kas untuk melanjutkan pekerjaan, sementara Pemberi Kerja terjamin bahwa dana yang dikeluarkan sesuai dengan output atau progres yang telah diverifikasi, membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam transaksi.
Jenis-Jenis Metode Pembayaran Termin (Bertahap) yang Umum Digunakan
Pembayaran bertahap yang diperbolehkan karena adanya kebebasan berkontrak—asas yang dilindungi oleh hukum perdata Indonesia—memunculkan beragam skema yang dapat disesuaikan dengan kompleksitas proyek. Memahami jenis-jenis termin ini adalah kunci untuk menyusun kontrak yang adil dan memitigasi risiko finansial, baik bagi pemberi kerja maupun penyedia jasa.
Termin Berdasarkan Progres Fisik (Progress Payment)
Metode yang paling umum dalam sektor konstruksi dan proyek fisik adalah Termin Berdasarkan Progres Fisik atau Progress Payment. Dalam skema ini, pembayaran baru dapat diajukan setelah pekerjaan mencapai persentase penyelesaian tertentu.
Penyedia jasa wajib mengajukan tagihan (invoice) yang dilampirkan dengan dokumen pendukung seperti Berita Acara Kemajuan Pekerjaan, foto-foto progress di lapangan, dan laporan verifikasi yang ditandatangani oleh tim pengawas atau konsultan independen. Skema ini memberikan kontrol finansial yang ketat bagi pemberi kerja, memastikan bahwa dana yang dikeluarkan sejalan dengan nilai pekerjaan yang benar-benar terwujud di lapangan. Pembayaran per kemajuan ini juga menjamin bahwa pemilik proyek mendapatkan layanan yang sesuai dengan klaim keahlian dari kontraktor.
Termin Berdasarkan Waktu/Milestone (Milestone Payment)
Untuk layanan profesional, konsultasi, pengembangan software, atau proyek yang deliverable-nya lebih konseptual daripada fisik, skema Termin Berdasarkan Waktu/Milestone (Milestone Payment) lebih sering digunakan.
Di sini, pembayaran tidak didasarkan pada persentase fisik, melainkan pada pencapaian tonggak (milestone) yang telah disepakati, terlepas dari total waktu yang dihabiskan. Contoh milestone bisa berupa “Penyelesaian Desain Konsep Akhir,” “Peluncuran Versi Beta Aplikasi,” atau “Persetujuan Laporan Studi Kelayakan.” Kunci dari metode milestone adalah kejelasan definisi tonggak tersebut agar tidak menimbulkan sengketa saat penagihan.
Untuk membantu Anda menentukan struktur Progress Payment yang dianggap sebagai praktik terbaik di industri, berikut adalah contoh distribusi persentase pembayaran yang sering diterapkan dalam kontrak jasa proyek:
| Tahap Pembayaran | Persentase (%) | Deskripsi Milestone (Contoh Proyek Konstruksi) |
|---|---|---|
| Uang Muka (DP) | 20% | Pembayaran di awal kontrak, digunakan untuk mobilisasi dan pembelian material awal. |
| Termin I | 40% | Progres fisik mencapai 50% (Penyelesaian struktur dasar/kasar). |
| Termin II | 30% | Progres fisik mencapai 90% (Penyelesaian finishing dan instalasi). |
| Retensi | 10% | Dibayarkan setelah masa pemeliharaan berakhir dan cacat telah diperbaiki. |
| Total | 100% |
Mengadopsi format terstruktur ini menunjukkan kejelasan dan transparansi dalam proses transaksi, sebuah elemen penting yang menumbuhkan kepercayaan antara kedua belah pihak. Praktik ini juga memudahkan tim audit atau quality assurance dalam memverifikasi klaim keahlian dan kemajuan proyek.
Sistem Retensi (Retention) sebagai Jaminan Kualitas Pekerjaan
Dalam proyek-proyek skala besar, khususnya konstruksi, pengadaan, dan manufaktur, Sistem Retensi (Retention) memegang peranan krusial sebagai jaminan kualitas pekerjaan dan bukti akuntabilitas kontraktor.
Retensi adalah sejumlah dana yang ditahan oleh pemberi kerja dari total nilai kontrak, yang besarnya umumnya berkisar antara 5% hingga 10%. Dana ini ditahan selama Masa Pemeliharaan (biasanya 6 hingga 12 bulan) yang dimulai setelah pekerjaan utama dinyatakan selesai (Serah Terima Pertama). Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa penyedia jasa akan bertanggung jawab penuh dan segera memperbaiki setiap cacat atau kerusakan yang muncul selama masa pemeliharaan tersebut. Tanpa sistem retensi, pemberi kerja tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk memastikan perbaikan kualitas pasca-proyek. Retensi adalah praktik manajemen risiko yang solid, dan seringkali diatur secara eksplisit dalam dokumen kontrak yang mendasari hubungan kerja sama yang akuntabel.
Panduan Praktis Menyusun Klausul Pembayaran yang Kuat dan Adil
Menyusun klausul pembayaran dalam kontrak jasa atau proyek adalah jantung dari mitigasi risiko. Klausul yang kuat tidak hanya memastikan aliran dana yang sehat bagi penyedia jasa, tetapi juga memberikan kontrol kualitas dan jadwal bagi pemberi kerja. Ini adalah dasar penting untuk menunjukkan otoritas dan kredibilitas dalam praktik kontrak Anda, memastikan semua pihak memahami hak dan kewajiban mereka secara mendalam.
Elemen Krusial dalam Klausul Termin: Persyaratan dan Waktu
Klausul pembayaran bertahap (termin) harus sangat spesifik dan tidak menyisakan ruang untuk interpretasi ganda. Secara esensial, klausul tersebut wajib mencakup nilai termin (baik dalam persentase maupun nominal Rupiah), tanggal jatuh tempo yang jelas (misalnya, 7 hari kerja sejak tagihan diterima), dan yang paling krusial, syarat pengajuan tagihan (invoice).
Syarat pengajuan ini harus merinci dokumen pendukung wajib yang harus dilampirkan, seperti: Berita Acara Serah Terima (BAST) parsial yang ditandatangani, laporan progres pekerjaan yang diverifikasi oleh konsultan pengawas, dan bukti pajak (jika relevan). Tanpa dokumen-dokumen ini, invoice dianggap cacat dan pembayaran tidak dapat diproses. Praktik ini memastikan setiap pembayaran didasarkan pada bukti kerja yang terverifikasi dan menciptakan akuntabilitas maksimal.
Memetakan Risiko: Apa yang Terjadi Jika Pembayaran Terlambat?
Salah satu risiko terbesar dalam kontrak jasa adalah keterlambatan pembayaran. Kontrak yang berkualitas tinggi dan terperinci harus secara eksplisit mengatur konsekuensi dari keterlambatan ini.
Menurut saran dari praktisi hukum kontrak, untuk membangun kepercayaan dan keandalan dalam perjanjian, sangat penting untuk menyertakan sanksi keterlambatan pembayaran (denda atau bunga). Sanksi ini tidak hanya berfungsi sebagai ancaman, tetapi sebagai insentif finansial bagi pemberi kerja untuk mematuhi tanggal jatuh tempo. Contohnya, kontrak dapat menetapkan denda keterlambatan sebesar 0.1% per hari dari nilai tagihan yang tertunggak, dengan batas maksimal tertentu (misalnya 5% dari nilai kontrak total), sesuai dengan praktik komersial yang wajar dan tunduk pada koridor hukum perdata. Penetapan sanksi ini menunjukkan bahwa kontrak Anda telah disusun dengan keahlian yang mumpuni dalam manajemen risiko keuangan. Selain denda finansial, kontrak juga harus memberikan hak kepada penyedia jasa untuk menangguhkan pekerjaan tanpa sanksi jika keterlambatan pembayaran melampaui jangka waktu yang ditentukan (misalnya, lebih dari 30 hari).
Pentingnya Berita Acara Serah Terima (BAST) di Setiap Tahap
Dalam konteks pembayaran termin, Berita Acara Serah Terima (BAST) adalah dokumen paling penting untuk memvalidasi klaim progres pekerjaan. BAST bukanlah formalitas belaka; ini adalah alat validasi resmi.
BAST berfungsi sebagai bukti hukum yang sah bahwa milestone atau persentase pekerjaan yang disepakati (misalnya, fondasi selesai, desain final disetujui, atau pengembangan tahap I rampung) telah tercapai dan telah diterima secara resmi oleh pemberi kerja atau perwakilannya (seperti konsultan pengawas). Dokumen BAST yang ditandatangani adalah dasar hukum tunggal bagi penyedia jasa untuk menerbitkan tagihan termin berikutnya. Tanpa BAST yang jelas dan disetujui, penyedia jasa tidak memiliki hak kuat untuk menagih. Dengan demikian, proses BAST memastikan bahwa seluruh alur pembayaran terikat pada verifikasi kerja nyata, yang merupakan kunci untuk menjaga transparansi dan keakuratan dalam seluruh transaksi kontrak.
Mengatasi Potensi Konflik: Jika Pembayaran Jasa Macet atau Diperselisihkan
Meskipun kontrak telah disusun dengan detail, risiko sengketa pembayaran, atau yang lebih dikenal dengan wanprestasi di bidang hukum, tetap ada. Kemacetan pembayaran jasa dapat mengganggu arus kas dan kelangsungan bisnis penyedia jasa. Untuk memastikan kredibilitas dan perlindungan hukum, penting untuk memahami prosedur yang tepat dalam menyelesaikan perselisihan ini, mulai dari jalur non-litigasi hingga litigasi.
Langkah Awal Negosiasi dan Pemberian Somasi (Teguran Resmi)
Ketika pembayaran jasa macet dan melewati tanggal jatuh tempo yang telah disepakati dalam klausul kontrak, tindakan pertama yang wajib dilakukan adalah mengupayakan negosiasi secara baik-baik. Namun, jika negosiasi informal tidak membuahkan hasil, langkah formal yang harus ditempuh adalah pemberian Somasi atau teguran resmi secara tertulis.
Somasi berfungsi sebagai peringatan hukum yang sah kepada pihak yang lalai (debitur) untuk segera memenuhi kewajibannya. Surat somasi ini harus dibuat dengan jelas, menyebutkan dasar hukum (kontrak), jumlah kewajiban yang belum dibayar, dan yang paling penting, memberikan jangka waktu yang tegas dan rasional (misalnya 7 hingga 14 hari) sebelum penyedia jasa mengambil tindakan hukum lebih lanjut. Dokumen ini adalah bukti kuat di mata hukum bahwa penyedia jasa telah memberikan kesempatan dan peringatan yang memadai sebelum menempuh jalur pengadilan.
Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR): Mediasi dan Arbitrase
Apabila somasi tidak direspon atau pihak yang lalai tetap tidak memenuhi kewajiban, menempuh jalur pengadilan bukanlah satu-satunya opsi. Untuk menunjukkan keahlian dan efisiensi dalam penanganan sengketa, banyak kontrak profesional saat ini menyertakan klausul Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang mencakup Mediasi dan Arbitrase.
Mediasi dan Arbitrase adalah dua opsi penyelesaian non-litigasi yang memiliki perbedaan fundamental yang perlu dipahami oleh para profesional. Dalam Mediasi, pihak ketiga yang netral (Mediator) hanya bertugas memfasilitasi komunikasi dan negosiasi. Keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan para pihak dan bersifat musyawarah. Sebaliknya, Arbitrase, yang seringkali dilakukan melalui institusi seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), melibatkan Arbiter yang berwenang untuk mengeluarkan putusan yang mengikat secara hukum (final and binding), mirip dengan putusan pengadilan. Keuntungan utama Arbitrase adalah prosesnya yang umumnya lebih cepat, bersifat rahasia, dan putusannya diakui oleh pengadilan. Memilih salah satu dari metode ini pada tahap kontrak menunjukkan trustworthiness bahwa para pihak berupaya mencari solusi yang cepat dan efektif di luar hiruk pikuk pengadilan.
Jalur Hukum: Menggugat Wanprestasi ke Pengadilan Negeri
Jika semua upaya non-litigasi gagal, jalur hukum melalui Pengadilan Negeri menjadi pilihan terakhir. Dasar gugatan utama dalam sengketa pembayaran jasa yang tidak dibayar adalah Wanprestasi atau ingkar janji.
Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak memenuhi, atau terlambat memenuhi, kewajiban yang telah dijanjikan secara tegas dalam kontrak. Dalam konteks pembayaran jasa, wanprestasi terjadi saat pemberi kerja (debitur) gagal membayar termin sesuai jadwal dan syarat yang tertuang dalam perjanjian. Untuk membuktikan gugatan ini, penyedia jasa harus melampirkan kontrak asli, bukti progres pekerjaan yang telah diserahkan (misalnya Berita Acara Serah Terima), dan bukti kegagalan pembayaran (misalnya tagihan/invoice yang telah jatuh tempo).
Pengajuan gugatan wanprestasi memungkinkan penggugat untuk menuntut pemenuhan kewajiban utama (pembayaran), ganti rugi (termasuk bunga/denda keterlambatan jika diatur dalam kontrak), dan bahkan penyitaan aset sebagai jaminan. Langkah ini adalah tindakan hukum yang paling serius dan membutuhkan bukti yang kuat bahwa pihak yang digugat benar-benar tidak memenuhi kewajiban pembayaran yang tertera jelas di dalam kontrak kerja.
Tanya Jawab Seputar Pembayaran Jasa dan Hak Kontraktor/Pekerja
Q1. Apakah Pemberi Kerja Wajib Memberikan Uang Muka (DP) Proyek?
Secara hukum perdata yang mengatur perjanjian jasa atau kontrak pekerjaan, tidak ada kewajiban mutlak yang memaksa pemberi kerja (owner) untuk memberikan uang muka atau Down Payment (DP) kepada penyedia jasa (kontraktor) sebelum pekerjaan dimulai. Kewajiban DP ini tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang seperti halnya ketentuan pajak atau ketenagakerjaan.
Namun, dalam praktik komersial yang mapan dan berfokus pada kualitas dan kepercayaan dalam kerja sama, pemberian DP merupakan hal yang sangat umum dan direkomendasikan. DP berfungsi sebagai modal kerja awal bagi penyedia jasa untuk mobilisasi, pembelian material, atau persiapan lainnya. Oleh karena itu, agar DP menjadi kewajiban yang mengikat, klausul mengenai nilai DP, waktu pembayaran, dan mekanismenya harus diatur secara eksplisit dan rinci di dalam kontrak kerja. Kontrak yang jelas mengenai hal ini menunjukkan pengalaman profesional dan mengurangi potensi perselisihan.
Q2. Apa yang dimaksud dengan ‘Hak Tukar’ (Right of Set-Off) dalam Sengketa Kontrak?
Hak Tukar, atau dikenal juga sebagai Right of Set-Off atau kompensasi dalam istilah hukum perdata Indonesia (Pasal 1424 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), adalah hak yang dimiliki oleh salah satu pihak yang berutang untuk memperhitungkan atau mengurangkan kewajiban utangnya dengan piutang yang ia miliki terhadap pihak yang sama.
Ini sering digunakan dalam sengketa kontrak, khususnya dalam proyek konstruksi atau jasa, di mana terjadi klaim kualitas atau denda keterlambatan. Misalnya, jika penyedia jasa menagih termin senilai Rp 100 juta, tetapi pemberi kerja memiliki klaim denda keterlambatan senilai Rp 10 juta sesuai kontrak, maka pemberi kerja dapat menggunakan Hak Tukar untuk hanya membayar Rp 90 juta. Penggunaan Hak Tukar ini adalah cara cepat untuk menyelesaikan kewajiban keuangan timbal balik, tetapi ia hanya dapat diterapkan jika kedua utang tersebut sudah jatuh tempo dan bersifat setara (sejenis), seperti uang dengan uang. Mengintegrasikan pemahaman mendalam tentang mekanisme kompensasi ini dalam perjanjian menunjukkan keahlian hukum dalam mitigasi risiko kontrak.
Final Takeaways: Mastering Pembayaran Jasa yang Aman dan Sesuai Hukum
Ringkasan 3 Langkah Kritis untuk Kontrak yang Kuat
Kesimpulannya, menjawab pertanyaan bolehkah jasa pekerjaan tidak dibayar sekaligus adalah ya, asalkan seluruh mekanisme pembayaran bertahap atau termin tersebut didasarkan pada fondasi hukum yang kuat. Kunci utama untuk memastikan keamanan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak adalah: Tidak ada pembayaran yang aman tanpa kontrak tertulis yang mendefinisikan termin, progres, dan konsekuensi keterlambatan.
Untuk mencapai kontrak yang solid dan minim sengketa, fokuskan pada tiga langkah kritis berikut:
- Definisikan Termin Secara Jelas: Tentukan persentase dan nilai mata uang yang pasti untuk setiap tahap pembayaran (misalnya, Uang Muka, Progres 50%, Retensi), termasuk daftar dokumen pendukung wajib untuk penagihan.
- Sertakan Mekanisme Verifikasi: Setiap pembayaran termin harus diikat dengan pencapaian milestone atau progres fisik yang disahkan melalui Berita Acara Serah Terima (BAST). Ini adalah bukti resmi bahwa pekerjaan telah selesai sesuai kesepakatan.
- Terapkan Sanksi Keterlambatan: Masukkan klausul tegas mengenai denda atau bunga yang berlaku jika terjadi keterlambatan pembayaran oleh pemberi kerja, serta hak pemutusan kontrak bagi penyedia jasa jika wanprestasi berlanjut.
Membangun Trustworthiness dalam Setiap Transaksi
Dalam dunia bisnis, integritas dan kejelasan hukum membangun kredibilitas dan kepercayaan. Cara terbaik untuk menunjukkan profesionalisme dan kehati-hatian hukum adalah dengan selalu melibatkan ahli hukum dalam perancangan kontrak untuk melindungi kepentingan Anda sepenuhnya, menumbuhkan kepercayaan dan keahlian di mata mitra bisnis. Kontrak yang kuat bukan hanya tentang melindungi diri dari kerugian, tetapi juga menjadi bukti bahwa Anda memahami kerumitan dan peraturan yang berlaku, menjamin transaksi yang lancar dan adil.