Kelebihan Bayar Jasa: Apakah Tetap Kena PPh 23 dan Cara Mengurusnya?
Memahami Perlakuan PPh Pasal 23 Atas Kelebihan Pembayaran Jasa
Jawaban Singkat: Objek PPh 23 pada Transaksi Jasa yang Melebihi Nilai Sebenarnya
Kelebihan pembayaran (overpayment) yang terjadi pada transaksi jasa tidak secara otomatis menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. PPh Pasal 23, yang memiliki tarif 2%, secara eksklusif hanya dikenakan pada “jumlah bruto” imbalan jasa yang memang sesungguhnya terutang sebagai penghasilan oleh pihak penerima jasa. Artinya, apabila terjadi pembayaran yang melebihi nilai tagihan jasa yang sebenarnya (misalnya, membayar Rp120 juta untuk jasa bernilai Rp100 juta), PPh 23 hanya boleh dipotong dari nilai jasa yang sah, yakni Rp100 juta. Objek PPh 23 adalah imbalan jasa yang sah, sementara kelebihan bayar yang seharusnya dikembalikan kepada pembayar masuk dalam kategori utang atau uang muka, bukan merupakan penghasilan bagi penyedia jasa.
Mengenal Konsep Keahlian dan Kepatuhan Pajak
Dalam dunia perpajakan, pemahaman yang akurat mengenai dasar pengenaan pajak adalah pondasi utama untuk mencapai keahlian dan kepatuhan pajak yang tinggi. Berdasarkan pengalaman kami dalam penanganan kasus perpajakan, kekeliruan umum sering terjadi saat Pemotong PPh gagal membedakan antara nilai kontrak jasa (objek PPh 23) dengan total dana yang ditransfer (termasuk kelebihan bayar). Artikel ini akan memberikan panduan langkah demi langkah yang terstruktur. Tujuannya adalah membantu Anda dalam koreksi administrasi pajak yang wajib dilakukan—termasuk proses pembatalan Bukti Potong yang salah dan pengajuan pengembalian kelebihan bayar—untuk memastikan Anda senantiasa patuh terhadap regulasi pajak yang berlaku.
Dasar Hukum dan Batasan Pengenaan PPh Pasal 23 atas Jasa
Definisi ‘Jumlah Bruto’ sebagai Dasar Pengenaan PPh 23 Jasa
Pemahaman yang tepat mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah kunci untuk menghindari kesalahan pemotongan, terutama pada kasus kelebihan bayar transaksi jasa. Secara fundamental, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 dikenakan hanya atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehubungan dengan jasa, modal, atau hadiah dan penghargaan.
Mengacu pada Pasal 23 Undang-Undang PPh, tarif pemotongan untuk imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jenis jasa lain adalah sebesar 2% dari jumlah bruto yang dibayarkan. Frasa “jumlah bruto” inilah yang seringkali menjadi sumber kebingungan. Definisi dari Jumlah Bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya.
Untuk menegaskan batasan ini, penting untuk merujuk pada ketentuan yang mengatur komponen yang boleh dikeluarkan dari jumlah bruto. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015, jumlah bruto tidak termasuk pembayaran berupa penggantian biaya (reimbursement) atau utang yang dikembalikan. Oleh karena itu, jika terjadi kelebihan pembayaran (yang merupakan utang atau pengembalian uang muka), kelebihan tersebut tidak memenuhi kriteria “penghasilan” atau “imbalan jasa” dan secara hukum tidak menjadi objek PPh Pasal 23. Ini adalah prinsip dasar yang memastikan kepatuhan dan keabsahan pemotongan.
Jenis Jasa yang Menjadi Objek Pemotongan PPh 23 Berdasarkan PMK 141/PMK.03/2015
Kepatuhan dalam pemotongan PPh Pasal 23 juga sangat bergantung pada identifikasi jenis jasa yang tepat. Tidak semua transaksi jasa dikenakan PPh 23; hanya jasa-jasa tertentu yang secara eksplisit diatur dalam peraturan perpajakan.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 telah memperjelas jenis-jenis jasa yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Peraturan ini mencantumkan daftar terperinci sebanyak 62 jenis jasa, yang meliputi mulai dari jasa penilai, jasa akuntan, jasa hukum, hingga jasa cleaning service dan catering.
Pemahaman mendalam terhadap daftar 62 jenis jasa ini sangat krusial bagi Pemotong PPh. Dengan membedakan transaksi yang termasuk objek pajak dari transaksi non-objek pajak, seperti pengembalian kelebihan bayar, Wajib Pajak dapat membatasi pemotongan hanya pada nilai imbalan jasa yang sah. Pengabaian terhadap daftar ini dapat mengakibatkan pemotongan yang tidak seharusnya (over-withholding), yang pada akhirnya akan menambah beban administrasi berupa pembetulan Bukti Potong dan pengajuan restitusi atau pemindahbukuan.
Skenario Kelebihan Pembayaran Jasa dan Dampak pada PPh 23
Kasus 1: Kelebihan Bayar Akibat Kesalahan Administratif/Salah Hitung
Kesalahan manusiawi dalam proses administrasi seringkali menjadi penyebab utama terjadinya kelebihan pembayaran (overpayment) atas transaksi jasa. Misalnya, sebuah perusahaan memiliki tagihan jasa konsultasi sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah), namun karena input yang keliru, Pembayar secara tidak sengaja membayarkan Rp120.000.000. Dalam skenario ini, sesuai Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), PPh Pasal 23 hanya boleh dipotong dari ‘jumlah bruto’ imbalan jasa yang sesungguhnya terutang, yaitu Rp100.000.000.
Kelebihan pembayaran sebesar Rp20.000.000 yang seharusnya dikembalikan kepada Pembayar, diakui sebagai utang kepada penyedia jasa. Utang ini bukanlah objek PPh Pasal 23 karena tidak memenuhi definisi imbalan jasa atau penghasilan bagi penerima jasa. Peraturan perpajakan menekankan bahwa pemotongan PPh 23 harus didasarkan pada nilai jasa yang sah, bukan pada nilai transfer tunai yang terjadi karena kesalahan.
Kasus 2: Pembayaran di Muka (Uang Muka) yang Melebihi Nilai Kontrak
Pembayaran di muka atau uang muka seringkali dilakukan sebagai bagian dari kesepakatan kontrak. Dalam beberapa kasus, total uang muka yang telah dibayarkan melebihi total nilai kontrak yang terealisasi. PPh Pasal 23 terutang pada saat terjadinya pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan, atau saat jatuh tempo pembayaran, mana yang terjadi lebih dahulu. Jika pembayaran tersebut jelas-jelas diklasifikasikan sebagai uang muka dan bukan imbalan jasa, maka ia tidak serta-merta menjadi objek PPh 23.
Akan tetapi, jika uang muka tersebut dikaitkan langsung dengan imbalan jasa yang sudah disediakan untuk dibayarkan atau jatuh tempo, pemotongan PPh 23 harus dilakukan. Sisa pembayaran di muka yang kelebihan dan pada akhirnya dikembalikan kepada Pembayar karena pembatalan/pengurangan nilai kontrak, harus diperlakukan sebagai pengembalian utang, sehingga tidak dikenakan PPh 23.
Kasus 3: Pembatalan Transaksi Jasa Setelah PPh 23 Terlanjur Dipotong
Ketika sebuah transaksi jasa dibatalkan setelah Pemotong PPh terlanjur melakukan pembayaran dan pemotongan PPh Pasal 23 (serta menyetorkannya ke kas negara), maka wajib dilakukan pembetulan administrasi pajak. Saat terutangnya PPh 23 adalah pada saat pembayaran, sehingga pemotongan yang sudah dilakukan pada dasarnya sah pada tanggal transaksi. Namun, karena transaksi dibatalkan, maka tidak ada penghasilan jasa yang sebenarnya diterima.
Oleh karena itu, Pemotong PPh harus membatalkan Bukti Pemotongan PPh yang sudah diterbitkan dan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Unifikasi terkait.
Untuk menunjukkan otoritas dalam perhitungan ini, mari kita lihat contoh konkret:
Jika nilai tagihan jasa yang sebenarnya adalah Rp100.000.000, tetapi terlanjur dibayar Rp120.000.000 (terjadi kelebihan bayar Rp20.000.000):
- Pemotongan PPh 23 yang Benar: $2% \times \text{Rp100.000.000} = \text{Rp2.000.000}$
- Kelebihan Bayar Tunai (Bukan Objek PPh): $\text{Rp20.000.000}$
Ini menegaskan bahwa persentase PPh 23 ($2%$) hanya diaplikasikan pada nilai jasa yang sebenarnya (Rp100.000.000), bukan pada total uang yang ditransfer (Rp120.000.000). Kesalahan pemotongan yang sudah disetor harus dikoreksi melalui mekanisme pembatalan Bukti Potong dan pembetulan SPT, yang akan dijelaskan dalam panduan prosedur administratif selanjutnya.
Panduan Prosedur Administratif: Mengoreksi Kelebihan Potong PPh 23
Kesalahan pemotongan, terutama yang berujung pada kelebihan pemotongan PPh Pasal 23, memerlukan tindakan koreksi administratif yang cepat dan tepat. Proses ini krusial untuk memastikan kepatuhan pajak dan akurasi pelaporan, sekaligus memitigasi risiko sanksi. Mekanisme koreksi harus dilakukan melalui sistem yang berlaku, yaitu e-Bupot Unifikasi dan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Unifikasi.
Langkah 1: Pembatalan Bukti Pemotongan PPh Unifikasi (e-Bupot)
Apabila telah terjadi kelebihan pemotongan PPh 23—misalnya, PPh 23 dipotong dari total pembayaran Rp120 juta, padahal nilai jasa yang seharusnya hanya Rp100 juta—maka Bukti Potong yang sudah terbit menjadi tidak akurat. Untuk menyelesaikan kelebihan pemotongan ini, pemotong pajak wajib membatalkan Bukti Potong yang salah melalui sistem e-Bupot.
Pembatalan ini harus dilakukan sebelum Bukti Potong disampaikan kepada pihak yang dipotong dan sebelum pelaporan SPT Masa. Jika Bukti Potong yang salah sudah terlanjur dilaporkan, prosesnya menjadi pembetulan Bukti Potong, bukan sekadar pembatalan. Dasar hukum yang mengatur prosedur pembuatan dan pembatalan ini tercantum dalam peraturan terkait e-Bupot Unifikasi (saat ini mengikuti PER-23/PJ/2020 dan peraturan turunannya), yang mewajibkan akuntabilitas data pemotongan secara elektronik.
Langkah 2: Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Unifikasi
Setelah Bukti Potong yang keliru dibatalkan atau dibetulkan, langkah selanjutnya adalah menyesuaikan pelaporan pajak dalam SPT Masa PPh Unifikasi. Pembetulan SPT Masa harus dilakukan jika data pemotongan yang salah sudah terlanjur dilaporkan.
Pembetulan SPT ini bertujuan untuk:
- Mengurangi jumlah PPh yang telah dipotong dan disetor, sehingga mencerminkan nilai pemotongan yang benar (2% dikalikan nilai jasa sesungguhnya).
- Menghasilkan status “lebih bayar” pada SPT Masa PPh Unifikasi pemotong pajak, karena setoran yang sudah dilakukan melebihi kewajiban pajak yang sebenarnya.
Dalam melakukan pembetulan ini, wajib pajak harus memastikan bahwa dokumentasi internal (faktur, bukti bayar, dan bukti pengembalian kelebihan dana kepada penyedia jasa) sudah sinkron.
Langkah 3: Meminta Pengembalian Kelebihan Pembayaran (Restitusi) atau Pemindahbukuan
Kelebihan pembayaran PPh 23 yang telah disetor akibat kesalahan pemotongan dapat diselesaikan melalui dua mekanisme utama, tergantung siapa yang mengajukan dan tujuan pengembaliannya:
Pengajuan Pemindahbukuan (Pbk) oleh Pemotong PPh
Pihak yang melakukan pemotongan (Pemotong PPh) dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan (Pbk) untuk kelebihan setoran PPh 23. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 242/PMK.03/2014, Pbk adalah proses memindahkan kelebihan setoran pajak yang salah ke jenis pajak lain, masa pajak yang berbeda, atau bahkan untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak lain. Pbk cocok digunakan jika Pemotong PPh ingin menggunakan kelebihan dana tersebut untuk kewajiban pajak di masa mendatang atau kewajiban pajak lain.
Pengajuan Restitusi oleh Pihak yang Dipotong (Penerima Penghasilan)
Pihak yang dipotong (Penerima Penghasilan) dapat mengajukan permohonan Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang (Restitusi). Mekanisme ini diatur secara spesifik dalam PMK 187/PMK.03/2015. Restitusi adalah proses pengembalian uang tunai kelebihan pajak kepada wajib pajak yang berhak. Permohonan ini diajukan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang dipotong terdaftar.
Penting untuk Dicatat: Dalam kedua proses koreksi, baik Pbk maupun Restitusi, otoritas pajak akan menilai validitas permohonan. Oleh karena itu, untuk menunjukkan kredibilitas dan kepatuhan, kami sangat menyarankan wajib pajak untuk melampirkan bukti pengembalian kelebihan dana kepada penyedia jasa (misalnya, bukti transfer bank atau jurnal akuntansi yang menunjukkan utang sudah dilunasi) sebagai dokumen pendukung utama. Bukti ini mengkonfirmasi bahwa selisih pembayaran memang telah dikembalikan dan secara substansi bukan merupakan imbalan jasa.
Dengan mengikuti panduan ini, wajib pajak dapat membuktikan bahwa pemotongan yang benar hanya berlaku pada $\text{Nilai Jasa Sebenarnya}$, bukan pada $\text{Total Pembayaran} + \text{Kelebihan Bayar}$, sehingga menjaga integritas laporan perpajakan.
Dampak Hukum dan Risiko Kepatuhan Akibat Kesalahan Pemotongan
Kesalahan dalam memotong PPh Pasal 23, terutama yang melibatkan kelebihan pembayaran jasa, bukan hanya masalah administratif, namun berpotensi menimbulkan dampak hukum dan risiko kepatuhan yang signifikan bagi Wajib Pajak (WP). WP yang gagal memotong, kurang memotong, atau bahkan melakukan kelebihan pemotongan yang tidak dikoreksi, dapat memicu perhatian dari otoritas pajak, yang pada akhirnya dapat berujung pada pemeriksaan pajak formal dan pengenaan sanksi. Penting bagi setiap entitas untuk menetapkan prosedur internal yang kredibel dan memiliki keahlian yang teruji dalam mengelola semua transaksi perpajakan.
Sanksi Administrasi Jika PPh 23 Gagal Dipotong atau Dipotong Kurang
Ketidakakuratan dalam pemotongan PPh Pasal 23, baik karena kurang potong maupun gagal potong, memiliki konsekuensi serius. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), jika dalam proses pemeriksaan ditemukan adanya jumlah pajak yang kurang disetor, Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga. Bunga ini dihitung dari jumlah pajak yang kurang atau terlambat disetor, dengan tarif yang ditetapkan berdasarkan peraturan menteri keuangan yang berlaku. Sebagai contoh, jika Pemotong PPh seharusnya memotong Rp2 juta namun hanya memotong Rp1 juta, selisih Rp1 juta tersebut akan ditagih kembali beserta sanksi bunganya.
Selain kurang potong, kelebihan pemotongan yang terjadi karena kesalahan hitung atau administrasi (seperti yang sering terjadi pada kasus kelebihan bayar transaksi jasa) juga harus segera dikoreksi. Meskipun kelebihan pemotongan tidak secara langsung dikenai sanksi bunga, hal ini dapat mengganggu kredibilitas dan otoritas pembukuan perusahaan. Jika kelebihan pemotongan ini tidak segera diselesaikan melalui mekanisme pembatalan Bukti Potong dan pembetulan SPT, hal ini berpotensi memicu pertanyaan saat dilakukan pengujian kepatuhan. Mekanisme yang tepat harus diprioritaskan, karena kelebihan bayar PPh 23 yang sudah disetor tidak dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya tanpa proses restitusi atau Pemindahbukuan (Pbk) formal, yang merupakan prosedur wajib bagi WP yang berkomitmen tinggi pada kepatuhan pajak.
Pencatatan Akuntansi: Jurnal Koreksi Atas Kelebihan Pembayaran PPh 23
Dari sisi akuntansi, kelebihan pembayaran PPh 23 yang terlanjur disetor ke kas negara memerlukan koreksi jurnal yang cermat. Kelebihan setoran PPh 23 tersebut dapat diakui sebagai ‘Uang Muka PPh’ atau ‘Piutang Pajak’ di sisi penerima jasa (pihak yang dipotong). Piutang pajak ini kemudian dapat dikreditkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka atau menjadi dasar pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran (restitusi).
Untuk pemotong pajak (pihak yang membayar jasa), jurnal koreksi diperlukan setelah kelebihan dana dikembalikan kepada penyedia jasa dan/atau setelah proses Pemindahbukuan (Pbk) atau Restitusi ke kas negara selesai. WP harus segera melakukan koreksi secara internal dan administrasi. Untuk menunjukkan keahlian dan keakuratan, direkomendasikan WP untuk merujuk pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang. Regulasi ini memberikan panduan hukum yang jelas bagi WP yang ingin meminta pengembalian dana atas PPh 23 yang terlanjur disetor lebih dari yang seharusnya terutang. Melampirkan bukti transfer pengembalian dana kepada penyedia jasa (pihak yang dipotong) adalah langkah yang sangat kredibel dan penting dalam mendukung permohonan koreksi atau restitusi kepada kantor pajak.
Secara ringkas, ketelitian di awal proses pemotongan dan kecepatan dalam mengoreksi adalah kunci untuk meminimalkan risiko sanksi dan menjaga kepercayaan (trust) otoritas pajak terhadap laporan keuangan perusahaan.
Tanya Jawab Populer Seputar Kelebihan Bayar Jasa dan PPh 23
Q1. Apakah kelebihan bayar PPh 23 bisa langsung dikompensasikan ke masa pajak berikutnya?
Kelebihan pembayaran PPh Pasal 23 yang telah disetor ke kas negara, misalnya akibat salah potong (lebih potong) pada transaksi jasa, tidak dapat secara otomatis dikompensasikan ke masa pajak berikutnya seperti halnya kelebihan PPN. Ini adalah sebuah kesalahan pemahaman yang umum di kalangan Wajib Pajak.
Agar kelebihan setoran PPh 23 tersebut dapat diperhitungkan kembali, Wajib Pajak Pemotong (pihak yang menyetor) wajib melalui prosedur formal yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Prosedur formal yang tersedia adalah melalui Pemindahbukuan (Pbk) atau mengajukan permohonan Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang (Restitusi). Regulasi, khususnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015, dengan jelas mengatur bahwa kelebihan bayar yang seharusnya tidak terutang harus dikembalikan melalui mekanisme Restitusi.
Q2. Apa perbedaan proses Pemindahbukuan (Pbk) dan Restitusi kelebihan PPh 23?
Meskipun keduanya adalah mekanisme untuk mengoreksi kelebihan setoran pajak, terdapat perbedaan mendasar terkait tujuan, subjek pengaju, dan hasil akhir dari proses tersebut:
-
Pemindahbukuan (Pbk):
- Tujuan: Memindahkan setoran pajak yang salah ke jenis pajak lain, ke masa pajak yang benar, atau ke Wajib Pajak lain (sepanjang diatur). Misalnya, memindahkan kelebihan setoran PPh 23 ke pembayaran PPh Pasal 25.
- Subjek Pengaju: Umumnya diajukan oleh Pemotong PPh (pihak yang menyetor).
- Hasil: Pajak yang berlebih tidak dikembalikan dalam bentuk uang tunai, melainkan menjadi kredit untuk pembayaran kewajiban pajak di masa mendatang.
-
Restitusi (Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang):
- Tujuan: Mengembalikan uang tunai kelebihan pajak kepada Wajib Pajak yang berhak.
- Subjek Pengaju: Dapat diajukan oleh Pemotong PPh atau Pihak yang Dipotong (Penerima Penghasilan), tergantung siapa yang berhak atas pengembalian tersebut (misalnya jika kelebihan dana sudah dikembalikan ke pihak yang dipotong).
- Hasil: Pengembalian uang tunai ke rekening Wajib Pajak, namun proses ini seringkali membutuhkan waktu yang lebih lama karena adanya prosedur pemeriksaan yang harus dilalui.
Dalam kasus kelebihan bayar PPh 23 atas jasa, Pemotong dapat memilih Pbk jika memiliki utang pajak lain, atau dapat mengajukan Restitusi. Kedua opsi ini memerlukan kelengkapan dokumen pendukung yang kuat untuk menunjukkan bahwa kelebihan bayar PPh 23 memang terjadi.
Final Takeaways: Strategi Kepatuhan PPh 23 untuk Transaksi Jasa
3 Kunci Utama Menghindari Kelebihan Potong PPh 23
Inti dari pencegahan risiko perpajakan pada transaksi jasa dengan pembayaran berlebih adalah memahami dan menerapkan batasan yang jelas antara penghasilan dan utang. Kunci kepatuhan adalah memastikan PPh Pasal 23 hanya dipotong dari ‘jumlah bruto’ imbalan jasa yang sesungguhnya terutang, bukan dari total kelebihan pembayaran yang sebenarnya merupakan utang kepada penyedia jasa. Kami sebagai konsultan pajak dengan pengalaman bertahun-tahun dalam litigasi dan kepatuhan administrasi perpajakan, menekankan bahwa kesalahan pemotongan ini seringkali menjadi pemicu pemeriksaan oleh DJP.
Langkah Selanjutnya untuk Kepatuhan Pajak yang Optimal
Wajib Pajak (WP) harus membangun sistem kontrol internal yang kuat. Selalu lakukan rekonsiliasi faktur/tagihan jasa dengan jumlah pembayaran secara teliti sebelum Anda menerbitkan Bukti Potong PPh Pasal 23. Jika teridentifikasi adanya kelebihan pembayaran yang tidak seharusnya dikenakan PPh 23, segera lakukan pembatalan Bukti Potong yang salah dan pembetulan SPT Masa Unifikasi terkait. Selain itu, lakukan audit internal atas semua transaksi jasa secara berkala untuk meminimalisir risiko sanksi dan memastikan setiap proses pengembalian kelebihan dana atau Pemindahbukuan (Pbk) berjalan lancar dan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku.