Kebijakan Pembayaran Jasa Medis Tanpa STR: Panduan Lengkap
Memahami Regulasi Kebijakan Pembayaran Jasa Medis Tanpa STR
Definisi Singkat: Bolehkah Tenaga Kesehatan Dibayar Tanpa STR?
Pada dasarnya, pembayaran atas jasa medis atau fee-for-service yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan (Nakes) secara langsung terikat pada kepatuhan terhadap regulasi perizinan praktik. Surat Tanda Registrasi (STR) merupakan bukti legalitas dan kompetensi untuk berpraktik. Oleh karena itu, pembayaran jasa medis penuh tanpa adanya STR cenderung terganjal oleh regulasi yang ada. Namun, penting untuk dipahami bahwa terdapat celah atau pengecualian terbatas, khususnya dalam skema kompensasi awal. Kebijakan ini sering diatur lebih lanjut oleh peraturan internal fasilitas kesehatan atau kebijakan pemerintah daerah yang bersifat kondisional, misalnya untuk praktisi dalam masa tunggu penerbitan STR. Artikel ini akan memberikan panduan langkah demi langkah yang jelas, berlandaskan pada Peraturan Menteri Kesehatan terbaru, guna memastikan fasilitas dan Nakes dapat mencapai kepatuhan hukum sekaligus menjamin hak pembayaran yang adil.
Mengapa Kredibilitas dan Pengalaman Praktisi Kesehatan Penting?
Kredibilitas dan pengalaman seorang praktisi kesehatan adalah fondasi utama dalam sistem pelayanan. Meskipun perizinan resmi seperti STR adalah wajib, fokus pada validitas pengalaman dan kompetensi (Expertise, Experience, Authority, Trust) praktisi secara menyeluruh akan meningkatkan kualitas layanan. Praktisi yang memiliki rekam jejak pelatihan terstruktur dan diakui akan secara signifikan meningkatkan kepercayaan pasien dan otoritas fasilitas. Penekanan pada pengalaman dan otoritas ini sejalan dengan tuntutan standar mutu pelayanan, di mana hanya tenaga profesional yang terbukti kompeten dan berwenang yang dapat melakukan tindakan medis, terlepas dari apakah kompensasinya disebut “gaji” atau “jasa medis.”
Dasar Hukum dan Perizinan Praktik: Mengapa STR Wajib?
Peran Surat Tanda Registrasi (STR) dalam Legalitas Pelayanan Kesehatan
Surat Tanda Registrasi (STR) merupakan dokumen krusial yang membuktikan bahwa seorang Tenaga Kesehatan (Nakes) secara resmi diakui kompeten dan berwenang untuk menjalankan praktik. STR berfungsi sebagai bukti tertulis yang diberikan oleh konsil terkait—seperti Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) atau Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI)—kepada Nakes yang telah teregistrasi. Registrasi ini menjamin bahwa praktisi telah memenuhi standar kompetensi minimal yang ditetapkan oleh profesi.
Tanpa STR, Nakes dianggap tidak memiliki landasan hukum untuk memberikan pelayanan kesehatan mandiri. Hal ini tidak hanya berimplikasi pada aspek legalitas individu Nakes, tetapi juga memengaruhi status hukum dari setiap tindakan medis yang mereka lakukan di fasilitas kesehatan.
Sanksi Hukum dan Risiko Finansial bagi Fasilitas Kesehatan yang Melanggar
Fasilitas kesehatan (Faskes), seperti rumah sakit atau klinik, memikul tanggung jawab besar untuk memastikan semua staf klinis mereka memiliki perizinan yang lengkap. Kredibilitas dan keahlian dari sebuah Faskes sangat bergantung pada kepatuhan ini.
Secara eksplisit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan telah mengatur kewajiban kepemilikan STR. Sanksi atas pelanggaran ketentuan ini sangat serius. Berdasarkan UU tersebut dan peraturan turunan dari Konsil Kedokteran atau Keperawatan, Faskes yang terbukti mempekerjakan atau membiarkan Nakes tanpa STR berpraktik secara mandiri dapat menghadapi:
- Sanksi Administratif: Mulai dari teguran tertulis, denda yang substansial, hingga pembekuan sementara kegiatan.
- Risiko Pencabutan Izin: Dalam kasus pelanggaran berulang atau menimbulkan dampak serius pada pasien, izin operasional Faskes dapat dicabut.
Lebih lanjut, risiko finansial terbesar muncul dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ketiadaan STR pada praktisi yang memberikan layanan dapat membatalkan klaim pembayaran dari BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan, yang merupakan pembayar mayoritas klaim di banyak Faskes, sangat ketat dalam memverifikasi legalitas Nakes yang terlibat dalam pelayanan. Jika layanan diklaim oleh Nakes yang tidak memiliki STR yang valid, Faskes terancam menanggung sendiri biaya pengobatan tersebut, yang dapat menyebabkan kerugian finansial yang masif dan tidak berkelanjutan. Hal ini menjadikan kepemilikan STR bukan hanya masalah kepatuhan hukum, tetapi juga pilar utama dalam mitigasi risiko operasional dan finansial Faskes.
Skema Penggajian dan Kompensasi Sebelum STR Terbit
Model Kompensasi untuk Nakes dalam Masa Transisi (STR dalam Proses)
Ketika seorang tenaga kesehatan (Nakes) baru memulai tugasnya tetapi masih dalam proses menunggu penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR), fasilitas kesehatan tidak dapat secara langsung membayarkan jasa medis ( fee-for-service ) atas layanan klinis yang mereka berikan. Pembayaran jasa medis secara definitif baru dapat dilakukan setelah STR dan/atau Surat Izin Praktik (SIP) diterbitkan, sesuai dengan regulasi yang mengatur praktik profesional.
Untuk menjamin kelangsungan operasional dan memberikan penghargaan yang layak kepada Nakes yang baru bergabung, banyak fasilitas kesehatan menerapkan skema kompensasi yang berbentuk gaji tetap atau insentif non-jasa medis. Kompensasi awal ini tidak dihitung berdasarkan tindakan klinis yang menghasilkan revenue, melainkan sebagai bentuk gaji bulanan tetap ( fixed salary ), tunjangan, atau insentif seperti tunjangan transportasi, makan, atau on-call non-klinis. Pendekatan ini memastikan bahwa Nakes tetap menerima penghasilan yang stabil selama masa transisi administratif.
Perbedaan Jasa Medis (Fee-for-Service) vs. Gaji Tetap (Fixed Salary)
Memahami perbedaan antara kedua model pembayaran ini sangat krusial dalam konteks kebijakan pembayaran jasa medis tanpa STR.
Jasa Medis ( Fee-for-Service ) adalah pembayaran yang dihitung berdasarkan volume dan jenis layanan klinis yang diberikan kepada pasien (misalnya, tindakan bedah, konsultasi, atau prosedur diagnostik). Model ini adalah bentuk kompensasi utama bagi praktisi yang telah memiliki legalitas penuh (STR dan SIP). Sebaliknya, Gaji Tetap ( Fixed Salary ) adalah pembayaran berkala (bulanan) dengan jumlah yang telah ditentukan di awal, terlepas dari jumlah pasien atau tindakan medis yang dilakukan. Model inilah yang sah diterapkan sebagai kompensasi bagi Nakes yang masih dalam proses pengurusan STR.
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa terdapat variasi kebijakan kompensasi bagi Nakes baru, yang menunjukkan kredibilitas dan komitmen fasilitas terhadap kesejahteraan praktisinya. Berikut adalah contoh dari tiga tipe fasilitas:
- RS Pemerintah (Tipe B): Umumnya memberikan Gaji Pokok/Upah Minimum Regional (UMR) ditambah Tunjangan Kinerja/Tunjangan Umum yang tetap, mengacu pada peraturan kepegawaian daerah atau BLU. Jasa medis baru akan mulai dihitung dan dibayarkan setelah STR terbit dan Nakes diangkat sebagai Pegawai Non-PNS (atau status kepegawaian setara) dengan kewenangan klinis penuh.
- RS Swasta (Tipe C): Seringkali menerapkan Gaji Tetap Awal yang telah disepakati, mencakup tunjangan benefit (seperti asuransi kesehatan internal). RS Swasta yang berfokus pada standar mutu pelayanan akan mengikat kompensasi penuh (termasuk jasa medis) hanya setelah STR dan SIP diterbitkan, seringkali membutuhkan maksimal 3 bulan masa percobaan dengan gaji tetap sebelum izin praktik terbit.
- Klinik Pratama: Skema sering lebih sederhana, berbentuk Gaji Bulanan yang mencakup tunjangan harian, bukan berdasarkan persentase tindakan. Nakes baru dapat ditempatkan pada posisi asisten, screening, atau administrasi klinis di bawah supervisi langsung, dengan janji peningkatan kompensasi segera setelah legalitas STR dan SIP terpenuhi.
Pendekatan-pendekatan ini menekankan bahwa meskipun kompensasi dapat diberikan, sumber pendapatan dari tindakan medis yang merupakan jasa fee-for-service harus tunduk pada persyaratan legalitas praktik yang dibuktikan dengan STR dan SIP.
Strategi Fasilitas Kesehatan Mengelola Praktisi Tanpa STR
Fasilitas kesehatan (Faskes) sering dihadapkan pada tantangan mengelola tenaga kesehatan (Nakes) yang kompeten namun masih dalam proses pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP). Mengingat regulasi yang ketat melarang praktik mandiri dan klaim pembayaran jasa medis tanpa perizinan yang sah, Faskes perlu menerapkan strategi operasional yang cerdas dan legal. Strategi ini harus menyeimbangkan kebutuhan layanan dengan kepatuhan hukum, sambil tetap memprioritaskan keahlian, pengalaman, dan kepercayaan (KPK) dalam pelayanan.
Pendampingan dan Kewenangan Terbatas: Model Supervisi Klinis
Untuk Nakes yang baru lulus atau sedang menunggu STR, kebijakan yang paling umum dan aman adalah membatasi kewenangan klinis mereka secara ketat. Banyak rumah sakit besar telah mengalokasikan tenaga kesehatan tanpa STR untuk tugas non-klinis langsung atau sebagai asisten yang bekerja di bawah supervisi klinis penuh.
Tugas-tugas yang diperbolehkan umumnya bersifat manajerial, administratif, edukasi pasien, atau pengumpulan data, di mana kontak klinis yang membutuhkan keputusan mandiri dihindari. Dalam model supervisi, semua tindakan yang melibatkan kontak klinis langsung (misalnya, prosedur invasif, penentuan diagnosis, atau penulisan resep) harus dilakukan di bawah pengawasan langsung dan ditandatangani oleh seorang praktisi senior yang telah memiliki STR dan SIP yang berlaku.
Pendekatan ini memastikan bahwa meskipun Nakes tersebut belum memiliki legalitas penuh untuk praktik mandiri, kualitas pelayanan dan pertanggungjawaban hukum tetap berada di tangan praktisi yang tersertifikasi. Model ini juga menjadi periode pembuktian bagi Nakes baru untuk menunjukkan kapabilitas dan membangun pengalaman profesional mereka di lingkungan yang terkontrol.
Mekanisme ‘Surat Keterangan Sementara’ dan Masa Tunggu STR
Masa tunggu penerbitan STR dapat memakan waktu signifikan, menciptakan kekosongan tenaga kerja bagi Faskes. Untuk mengatasi hal ini, di beberapa daerah, terdapat mekanisme penerbitan Surat Keterangan Pengganti STR Sementara yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat.
Berdasarkan pengalaman praktik di lapangan, Surat Keterangan Sementara ini biasanya hanya dapat diterbitkan untuk Nakes yang telah melengkapi semua dokumen permohonan STR di konsil (KTKI/KKI) dan sedang menunggu proses verifikasi atau cetak. Surat ini memberikan izin praktik bersyarat dengan batasan waktu tertentu (misalnya, 3-6 bulan) dan mewajibkan Nakes untuk tetap bekerja di bawah pengawasan dan tanggung jawab penuh Faskes yang bersangkutan. Penting untuk dicatat bahwa legalitas dan penerimaan Surat Keterangan Sementara ini sangat bergantung pada kebijakan Dinkes masing-masing provinsi atau kabupaten, sehingga Faskes harus selalu berkonsultasi dengan otoritas lokal. Penggunaan surat ini menunjukkan komitmen Faskes terhadap legalitas dan menjadi bukti kredibilitas mereka dalam mengelola tenaga kerja.
Selain itu, Faskes yang berpengalaman dan fokus pada mutu layanan seringkali mengembangkan Sistem Bukti Kompetensi Internal mereka sendiri. Sistem ini dapat berupa pelatihan intensif, Continuing Medical Education (CME), atau workshop internal yang diakhiri dengan evaluasi kompetensi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan standar mutu, memastikan kapabilitas skill Nakes setara dengan standar yang diharapkan, dan membangun kepercayaan di internal Faskes, meskipun dokumen legal (STR) belum terbit. Investasi pada sistem ini tidak hanya mengisi masa tunggu STR, tetapi juga merupakan langkah proaktif Faskes untuk menjamin kualitas layanan dan reputasi, yang merupakan elemen kunci dari keahlian, pengalaman, dan kepercayaan publik.
Dampak pada Kualitas Pelayanan dan Kepercayaan Publik
Risiko Reputasi dan Dampak pada Pengalaman Pasien
Meskipun fokus utama dalam kebijakan pembayaran jasa medis tanpa STR seringkali adalah aspek legalitas dan finansial, dampak jangka panjang terhadap kualitas pelayanan dan reputasi fasilitas kesehatan tidak boleh diabaikan. Tenaga kesehatan (Nakes) yang terbukti kompeten, memiliki kredibilitas tinggi, dan beroperasi di bawah payung hukum yang sah akan secara fundamental meningkatkan kepercayaan pasien. Ketika pasien merasa yakin bahwa mereka dilayani oleh profesional yang terdaftar dan diakui secara resmi, risiko munculnya keluhan malpraktik atau ketidakpuasan dapat diminimalisir secara signifikan.
Pentingnya Transparansi Fasilitas dalam Mengkomunikasikan Status Praktisi
Transparansi mengenai status legalitas praktisi di fasilitas kesehatan adalah pilar penting dalam membangun hubungan yang kuat dengan pasien. Ketika fasilitas secara terbuka mengkomunikasikan bahwa semua tindakan medis utama dipertanggungjawabkan oleh praktisi yang memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang valid, ini secara langsung menopang kredibilitas.
Dalam sebuah studi atau survei yang relevan mengenai kepercayaan publik terhadap sektor kesehatan—misalnya, data yang dikumpulkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atau Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI)—seringkali ditemukan korelasi positif antara legalitas Nakes dan tingkat kepuasan pasien. Pengalaman praktis menunjukkan bahwa pasien cenderung memberikan rating layanan yang lebih tinggi dan merasa lebih aman ketika mereka tahu bahwa standar profesionalisme telah dipenuhi. Fasilitas kesehatan yang beroperasi tanpa komitmen terhadap legalitas ini berisiko menghadapi kerusakan reputasi yang sulit dipulihkan, terutama di era informasi yang cepat menyebar.
Untuk melindungi fasilitas dan hak pasien, manajemen harus memastikan bahwa semua tindakan medis, terutama yang bersifat invasif atau berisiko tinggi, harus secara eksplisit ditanggungjawabkan oleh praktisi yang memiliki STR/SIP. Meskipun praktisi yang sedang menunggu proses administrasi dapat memberikan bantuan atau terlibat dalam tugas non-klinis atau di bawah supervisi ketat, tanggung jawab hukum dan klinis utama harus selalu berada pada dokter atau Nakes senior yang memiliki izin lengkap. Hal ini bukan hanya masalah kepatuhan terhadap kebijakan pembayaran jasa medis tanpa STR di tingkat administrasi, tetapi juga merupakan janji mutu terhadap setiap pasien yang datang. Kepercayaan publik adalah aset terbesar, dan hanya dapat dipelihai melalui standar kompetensi dan legalitas yang ketat.
Langkah Praktis Mengurus STR dan Mempercepat Pembayaran Jasa Medis
Pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) yang efisien dan akurat adalah solusi jangka panjang terbaik untuk menjamin hak pembayaran jasa medis sesuai kebijakan pembayaran jasa medis tanpa STR. Tenaga kesehatan (Nakes) yang ingin segera menerima kompensasi penuh atas layanannya harus memprioritaskan penyelesaian administrasi ini. Memastikan semua dokumen yang disyaratkan oleh konsil terkait (seperti Konsil Kedokteran Indonesia/KKI atau Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia/KTKI) telah lengkap, validasi, dan siap submit adalah langkah krusial. Kecepatan penerbitan STR berkorelasi langsung dengan dimulainya pembayaran jasa medis secara legal dan penuh.
Panduan Cepat Mengajukan Permohonan STR Online (Registrasi Konsil)
Berdasarkan pengalaman aktual para praktisi, proses pengajuan STR secara online melalui portal resmi konsil dapat dipercepat dengan mengikuti langkah-langkah terstruktur berikut. Ini membantu meminimalkan masa tunggu yang sering menjadi hambatan:
- Akses Portal Resmi: Kunjungi laman resmi Konsil terkait (misalnya, laman.konsilkedokteran.go.id untuk dokter atau laman.konsilnakes.go.id untuk Nakes lainnya). Perhatian: Selalu pastikan Anda mengakses portal yang benar dan resmi.
- Pembuatan Akun dan Pengisian Data: Daftarkan akun dan isi data diri dengan teliti. Kesesuaian data dengan ijazah dan KTP adalah mutlak.
- Unggah Dokumen: Upload semua dokumen persyaratan seperti ijazah, sertifikat kompetensi (Serkom), surat pernyataan praktik, dan lain-lain. Pastikan resolusi file jelas dan sesuai format yang diminta.
- Verifikasi Pembayaran: Lakukan pembayaran biaya registrasi yang telah ditetapkan. Simpan bukti pembayaran.
- Tinjauan Konsil: Setelah submit, Konsil akan melakukan peninjauan dan verifikasi dokumen.
Secara umum, perkiraan waktu tunggu untuk penerbitan STR yang diajukan dengan dokumen lengkap adalah 1 hingga 3 bulan. Jika Anda memerlukan informasi atau bantuan lebih lanjut, kontak penting dapat dicari melalui call center resmi KKI/KTKI atau melalui fitur live chat yang tersedia di portal mereka.
Tips Efektif Mempersiapkan Dokumen Uji Kompetensi dan Verifikasi
Persiapan dokumen yang matang adalah kunci untuk menghindari penundaan yang tidak perlu. Kesalahan umum dalam pengisian data registrasi, seperti ketidaksesuaian nama, tanggal lahir, atau nomor ijazah, dapat memperlambat proses secara signifikan, bahkan hingga 3 sampai 6 bulan!
- Validasi Ijazah: Pastikan data ijazah telah terdaftar dan tervalidasi di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) sebelum mengajukan STR.
- Sertifikat Kompetensi (Serkom): Pastikan Serkom Anda masih berlaku dan dikeluarkan oleh Kolegium/Organisasi Profesi yang sah. Serkom adalah bukti esensial dari kemampuan dan kualifikasi profesional Anda.
- Verifikasi Data: Sebelum mengklik ‘submit’ di portal registrasi, lakukan verifikasi ulang (triple-check) terhadap semua field data yang Anda masukkan, khususnya pada bagian nama, NIK, tempat tanggal lahir, dan nomor ijazah.
Proses yang efisien ini akan menjamin Nakes memenuhi semua persyaratan hukum, sehingga fasilitas kesehatan dapat segera memasukkan mereka ke dalam skema pembayaran jasa medis fee-for-service yang normal dan legal, menggantikan skema kompensasi sementara atau gaji tetap yang diterapkan saat kebijakan pembayaran jasa medis tanpa STR membatasi.
Tanya Jawab Seputar Legalitas Pembayaran Praktisi Kesehatan
Q1. Apakah Surat Izin Praktik (SIP) selalu dibutuhkan bersama STR?
Secara umum, ya, Surat Izin Praktik (SIP) hampir selalu dibutuhkan bersama dengan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk melaksanakan praktik kesehatan yang sah dan mandiri di fasilitas kesehatan manapun di Indonesia. STR sendiri merupakan bukti bahwa seorang Tenaga Kesehatan (Nakes) telah teregistrasi dan dianggap kompeten secara nasional oleh konsil terkait.
Namun, SIP adalah izin yang secara spesifik diberikan oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kesehatan) kepada Nakes untuk melaksanakan praktik di lokasi atau fasilitas kesehatan tertentu. Dengan kata lain, STR adalah prasyarat wajib untuk mendapatkan SIP. Tanpa SIP, Nakes—meski memiliki STR—tidak diizinkan membuka praktik mandiri atau bekerja sebagai praktisi klinis utama yang melakukan tindakan medis di fasilitas tersebut. Untuk memastikan akuntabilitas dan kewenangan praktik yang jelas, fasilitas kesehatan yang mengelola risiko reputasi tinggi akan selalu meminta kedua dokumen ini sebelum melakukan pembayaran jasa medis fee-for-service.
Q2. Berapa lama rata-rata proses penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR)?
Berdasarkan pengalaman aktual dan data statistik terbaru yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) atau Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) – badan yang bertugas mengeluarkan STR—proses penerbitan STR memakan waktu rata-rata 1 hingga 3 bulan.
Rentang waktu ini dimulai setelah Nakes menyelesaikan pengajuan online dan semua dokumen pendukung serta proses verifikasi dinyatakan lengkap dan benar. Penting untuk dicatat bahwa kecepatan proses sangat bergantung pada keakuratan dokumen yang diserahkan dan seberapa cepat Konsil dapat memverifikasi ijazah, sertifikat kompetensi, dan persyaratan administratif lainnya. Keterlambatan seringkali terjadi karena adanya ketidaksesuaian data atau dokumen yang belum terverifikasi secara tuntas, yang bisa memperpanjang masa tunggu secara signifikan.
Final Takeaways: Strategi Kepatuhan Hukum Pembayaran Jasa Medis
Inti dari kebijakan pembayaran jasa medis tanpa STR adalah kepatuhan hukum. Kami menyimpulkan bahwa pembayaran fee-for-service secara langsung dan legal tidak dapat dilakukan tanpa adanya Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Fasilitas kesehatan wajib memprioritaskan proses penerbitan STR bagi praktisi baru dan menerapkan skema kompensasi sementara yang sesuai dengan regulasi, seperti gaji tetap non-jasa medis, guna menghindari risiko finansial dan sanksi hukum.
3 Langkah Aksi Utama untuk Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan harus mengambil langkah proaktif untuk memitigasi risiko sekaligus mendukung tenaga kesehatan (Nakes) yang sedang menunggu STR. Pertama, prioritaskan dan fasilitasi proses pengajuan STR/SIP Nakes baru, termasuk menyediakan waktu dan sumber daya untuk melengkapi verifikasi dokumen. Kedua, tetapkan skema kompensasi sementara yang legal (gaji tetap atau tunjangan) yang terpisah dari skema jasa medis. Ketiga, terapkan sistem supervisi klinis ketat dan alokasikan Nakes tanpa STR ke tugas non-klinis atau asisten hingga izin praktik terbit. Ini menjamin hak praktisi dan legalitas fasilitas.
Mengapa Investasi pada Kompetensi Nakes Adalah Prioritas
Kepemilikan STR oleh seorang praktisi kesehatan adalah bukti formal atas kompetensi dan kredibilitas mereka yang diakui oleh konsil, sebuah pilar penting yang meningkatkan kepercayaan pasien dan meminimalisir potensi masalah hukum. Fasilitas yang berinvestasi dalam mempercepat proses perizinan dan mengembangkan kapabilitas internal Nakes (melalui Continuing Medical Education/CME atau pelatihan) tidak hanya memenuhi persyaratan legalitas, tetapi juga secara strategis meningkatkan kualitas layanan.