Panduan Lengkap Jurnal Transaksi Pembayaran Jasa PPN & PPh 23
Memahami Jurnal Transaksi Pembayaran Jasa dengan PPN dan PPh 23
Definisi dan Mekanisme Dasar PPN dan PPh Pasal 23 dalam Transaksi Jasa
Transaksi pembayaran jasa di Indonesia sering kali melibatkan dua jenis pajak utama yang harus dicatat dengan cermat dalam jurnal akuntansi: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, di mana penyedia jasa (Pengusaha Kena Pajak/PKP) memungut PPN Keluaran dan klien dapat mengkreditkan PPN Masukan. Sementara itu, PPh Pasal 23 adalah pajak yang dipotong oleh pihak pemberi penghasilan (klien) atas penghasilan berupa jasa, modal, atau sewa yang dibayarkan kepada penerima penghasilan (vendor).
Secara fundamental, jurnal pembayaran jasa dengan PPN dan PPh 23 mencakup tiga elemen utama. Pertama, Beban Jasa (nilai jasa sebelum pajak); Kedua, PPN Masukan (bagi klien) atau PPN Keluaran (bagi vendor); dan Ketiga, Utang PPh 23 (bagi klien) atau Kas/Bank yang diterima/dibayarkan. Untuk menegaskan keandalan pencatatan, pemahaman mendalam atas dasar hukum kedua jenis pajak ini—terutama Pasal 23 UU PPh—adalah kunci kepatuhan.
Mengapa Pencatatan Jurnal yang Akurat Sangat Penting?
Pencatatan jurnal yang akurat dan tepat waktu bukan hanya tentang kepatuhan akuntansi, tetapi juga fondasi kredibilitas perpajakan perusahaan. Kesalahan dalam jurnal dapat menyebabkan selisih perhitungan PPN Kurang/Lebih Bayar atau PPh 23 yang tidak tepat dipotong/dikreditkan, yang berujung pada sanksi administrasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Artikel ini memberikan panduan langkah demi langkah yang otoritatif untuk mencatat jurnal akuntansi dan perpajakan yang benar. Panduan ini berfokus pada memastikan setiap transaksi jasa telah memperhitungkan PPN sesuai tarif yang berlaku dan PPh Pasal 23 yang telah dipotong/dipungut, menjamin transparansi dan kesesuaian dengan regulasi pajak terkini.
Prinsip Keahlian dan Dasar Hukum Transaksi Jasa yang Kena Pajak
Daftar Jenis Jasa yang Wajib Dipotong PPh Pasal 23
Pemahaman yang mendalam mengenai jenis-jenis jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 adalah fondasi untuk memastikan keakuratan jurnal akuntansi. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015, terdapat puluhan jenis jasa yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Daftar ini sangat luas, mencakup, namun tidak terbatas pada, jasa manajemen, jasa teknik, jasa konsultasi, jasa penilai, jasa akuntansi/pembukuan, jasa perancang, serta jasa penunjang pertambangan dan migas.
Tarif PPh Pasal 23 adalah 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk sebagian besar jenis jasa yang diuraikan dalam PMK tersebut, dengan syarat penyedia jasa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP, tarif yang dikenakan adalah 4% atau 100% lebih tinggi. Ketentuan ini secara langsung diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang menyatakan bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, dipotong PPh oleh pihak yang wajib membayarkan.
Kriteria Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Peran Faktur Pajak
Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam transaksi jasa diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, yang kini disempurnakan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). PPN dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Untuk menjadi PKP, pengusaha harus memiliki peredaran bruto melebihi batas yang ditetapkan (saat ini Rp4,8 miliar per tahun) atau memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Peran Faktur Pajak Standar sangat krusial dalam konteks jurnal akuntansi. Faktur Pajak adalah bukti legal bahwa PPN sebesar 11% (tarif terbaru) telah dipungut dan dilaporkan. Bagi pihak pembeli jasa (yang mencatat PPN Masukan), Faktur Pajak yang valid dan telah diunggah melalui sistem e-Faktur adalah dokumen wajib yang digunakan sebagai dasar untuk mengkreditkan PPN Masukan tersebut. Tanpa Faktur Pajak yang sah, PPN yang telah dibayarkan tidak dapat dikreditkan, dan akan menjadi tambahan biaya perolehan jasa.
Untuk membangun keyakinan (komponen trust), perlu ditekankan bahwa kepatuhan terhadap penerbitan Faktur Pajak ini tidak hanya menjadi kewajiban tetapi juga merupakan hak Wajib Pajak untuk memastikan tidak terjadinya double burden PPN.
Studi Kasus 1: Jurnal Transaksi Pembayaran Jasa oleh Perusahaan Pemotong Pajak (Client)
Sebagai perusahaan yang menerima jasa (klien), Anda memiliki kewajiban ganda: mencatat beban dan PPN Masukan, serta memotong PPh Pasal 23 dari pembayaran yang dilakukan. Ketelitian dalam jurnal ini memastikan keandalan laporan keuangan dan kepatuhan perpajakan.
Tahap 1: Pencatatan Perolehan Jasa dan Utang Pajak yang Dipotong
Saat perusahaan Anda menerima layanan dari penyedia jasa dan menerima Faktur Pajak resmi, transaksi ini diakui dalam pembukuan.
Jurnal yang dibuat pada tahap ini mencerminkan pengakuan beban jasa dan PPN yang dapat dikreditkan, serta pengakuan utang atas PPh Pasal 23 yang wajib dipotong.
Secara spesifik, jurnal yang tepat akan mendebit Beban Jasa (sebesar Dasar Pengenaan Pajak/DPP), mendebit PPN Masukan (sebesar 11% dari DPP), dan mengkredit Utang PPh Pasal 23 (sebesar 2% atau 4% dari DPP), dengan sisa pembayaran dikreditkan ke Kas/Bank jika dibayar tunai, atau Utang Usaha jika masih jatuh tempo.
Berikut adalah simulasi pencatatan jurnal yang menunjukkan perbedaan signifikan pada tarif Utang PPh 23, sebuah detail krusial yang menentukan keakuratan pelaporan dan otoritas perusahaan sebagai wajib pajak yang patuh.
| Keterangan Transaksi | Jurnal (Debit) | Jurnal (Kredit) | Tarif PPh 23 |
|---|---|---|---|
| Skenario A: Penyedia Jasa Memiliki NPWP | Beban Jasa (DPP) | Utang PPh 23 | 2% dari DPP |
| PPN Masukan (11% x DPP) | Kas/Bank/Utang Usaha | ||
| Skenario B: Penyedia Jasa TIDAK Memiliki NPWP | Beban Jasa (DPP) | Utang PPh 23 | 4% dari DPP |
| PPN Masukan (11% x DPP) | Kas/Bank/Utang Usaha |
Contoh: Perolehan Jasa Konsultan senilai Rp10.000.000 (DPP)
- Penyedia Jasa Ber-NPWP (Tarif PPh 23 = 2%):
- Beban Jasa: Rp10.000.000 (D)
- PPN Masukan: Rp1.100.000 (D)
- Utang PPh 23 (2%): Rp200.000 (K)
- Kas/Bank/Utang Usaha: Rp10.900.000 (K)
- Penyedia Jasa Tanpa NPWP (Tarif PPh 23 = 4%):
- Beban Jasa: Rp10.000.000 (D)
- PPN Masukan: Rp1.100.000 (D)
- Utang PPh 23 (4%): Rp400.000 (K)
- Kas/Bank/Utang Usaha: Rp10.700.000 (K)
Perlu digarisbawahi, dasar hukum yang mengatur perbedaan tarif ini adalah Pasal 23 ayat (1a) UU PPh yang menyatakan bahwa tarif pemotongan akan menjadi dua kali lipat (4%) jika Wajib Pajak yang menerima penghasilan tidak mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Tahap 2: Pembayaran Utang PPh 23 ke Kas Negara (Penyetoran Pajak)
Utang PPh Pasal 23 yang telah dipotong pada Tahap 1 tidak boleh ditahan, melainkan harus disetorkan ke Kas Negara. Perusahaan pemotong pajak bertindak sebagai pemungut pajak bagi negara.
Jurnal pada tahap ini sangat sederhana, yaitu mengeliminasi akun kewajiban yang telah diakui dan mencatat aliran kas keluar. Penyetoran ini wajib dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau kode billing yang diterbitkan.
Jurnal Penyetoran PPh Pasal 23:
| Tanggal | Akun | Debit | Kredit |
|---|---|---|---|
| Tanggal Penyetoran | Utang PPh Pasal 23 | Rp X.XXX.XXX | |
| Kas / Bank | Rp X.XXX.XXX |
Penyetoran ini harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutang pajak. Kegagalan atau keterlambatan dalam penyetoran ini akan berpotensi menimbulkan sanksi denda administrasi sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang dapat mengikis kepercayaan dan reputasi perusahaan di mata otoritas pajak. Oleh karena itu, kompetensi dalam menjurnal dan menyetor tepat waktu adalah indikator pengelolaan pajak yang baik.
Studi Kasus 2: Jurnal Transaksi Penerimaan Pembayaran Jasa (Penyedia Jasa/Vendor)
Untuk melengkapi pemahaman yang menyeluruh, kita beralih ke perspektif Penyedia Jasa (Vendor) yang bertindak sebagai pihak yang menerima penghasilan. Dalam skenario ini, penyedia jasa memiliki tanggung jawab untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Keluaran dan menghadapi pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 oleh klien (penerima jasa).
Tahap 1: Pencatatan Piutang Usaha dan PPN Keluaran
Ketika penyedia jasa telah menyelesaikan pekerjaan dan menerbitkan faktur, ia wajib mengakui pendapatan dan mencatat Piutang Usaha yang timbul dari transaksi tersebut. Pada saat yang sama, ia juga harus mengakui kewajiban PPN Keluaran. PPN Keluaran dicatat sebesar 11% dari Nilai Transaksi atau Dasar Pengenaan Pajak (DPP), sesuai dengan tarif PPN terbaru yang berlaku. Kewajiban ini harus dilaporkan secara detail dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.
Contoh Jurnal Pengakuan Pendapatan (Faktur diterbitkan):
| Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|
| Piutang Usaha | (DPP + PPN) | |
| Pendapatan Jasa | (DPP) | |
| PPN Keluaran | (11% x DPP) | |
| Keterangan: Mengakui pendapatan dan PPN terutang (Keluaran). |
Pencatatan yang akurat di tahap ini merupakan fondasi keandalan akuntansi, memastikan bahwa seluruh pendapatan dan kewajiban pajak dicatat sesuai prinsip akrual, suatu praktik yang diamanatkan oleh prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Tahap 2: Pencatatan Penerimaan Kas dan Kredit Pajak PPh 23 (PPh Dibayar di Muka)
Saat klien (pemotong pajak) melakukan pembayaran, mereka akan memotong PPh Pasal 23. Nilai yang dibayarkan ke penyedia jasa adalah Piutang Usaha dikurangi Utang PPh 23 yang dipotong oleh klien. Secara akuntansi, penyedia jasa mencatat PPh 23 yang dipotong ini sebagai ‘PPh Pasal 23 Dibayar di Muka’. Ini adalah akun aset yang dicatat di sisi debit karena merepresentasikan jumlah pajak yang telah dibayarkan mendahului kewajiban pajak akhir tahun.
Contoh Jurnal Penerimaan Pembayaran (Kas diterima):
| Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|
| Kas/Bank | (Piutang - PPh 23 Potongan) | |
| PPh Pasal 23 Dibayar di Muka | (PPh 23 Potongan) | |
| Piutang Usaha | (DPP + PPN) | |
| Keterangan: Penerimaan kas dikurangi PPh 23 yang dipotong klien. |
PPh Dibayar di Muka ini memegang peranan krusial sebagai kredit pajak bagi penyedia jasa. Saat penyedia jasa menyusun SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan, total nilai PPh Pasal 23 Dibayar di Muka (yang dibuktikan dengan e-Bupot atau Bukti Potong elektronik) akan mengurangi PPh Badan Terutang perusahaan. Misalnya, jika perusahaan di akhir tahun memiliki PPh Badan Terutang sebesar Rp 50.000.000, dan total PPh 23 Dibayar di Muka dari semua klien adalah Rp 15.000.000, maka PPh Badan yang masih harus disetor (Kurang Bayar) hanya sebesar Rp 35.000.000. Kemampuan untuk mengkreditkan pajak ini bukan hanya kepatuhan tetapi juga penghematan kas yang signifikan, menunjukkan keahlian dalam manajemen perpajakan.
Analisis Mendalam: Perlakuan PPN Masukan dan PPN Keluaran
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) memiliki peran krusial dalam siklus transaksi jasa, yang mana pencatatannya harus dipisahkan secara tegas dari PPh Pasal 23. Kesalahan dalam perlakuan PPN dapat berakibat pada selisih bayar yang besar dan sanksi dari otoritas pajak.
Mekanisme Pengkreditan PPN Masukan pada Jurnal Pembeli Jasa
Bagi perusahaan pembeli jasa (yang juga merupakan Pengusaha Kena Pajak/PKP), PPN yang dikenakan oleh penyedia jasa (vendor) adalah PPN Masukan. Pencatatan PPN Masukan di jurnal dilakukan di sisi debit, menjadikannya aset yang dapat mengurangi kewajiban PPN Terutang perusahaan di akhir masa pajak.
Untuk menjaga keandalan informasi dan kepatuhan dalam sistem perpajakan, sangat penting bagi pembeli jasa untuk memastikan bahwa Faktur Pajak yang diterima dari penyedia jasa adalah valid dan telah diunggah melalui sistem elektronik DJP (e-Faktur). Jika faktur pajak tidak valid atau tidak terekam dalam sistem e-Faktur, PPN Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. Artinya, PPN tersebut akan menjadi bagian dari harga perolehan jasa (beban) dan perusahaan akan kehilangan haknya untuk mengurangi PPN yang harus disetor.
Risiko Jurnal PPN Keluaran dan Kewajiban Penerbitan Faktur Pajak
Sebaliknya, bagi perusahaan penyedia jasa, PPN yang dipungut dari kliennya adalah PPN Keluaran. PPN Keluaran ini dicatat di sisi kredit dan merupakan kewajiban (utang) perusahaan kepada kas negara.
Risiko muncul ketika di akhir periode pelaporan, PPN Keluaran lebih besar dari PPN Masukan. Selisih ini disebut PPN Kurang Bayar dan wajib disetorkan ke kas negara sebelum tanggal jatuh tempo pelaporan. Jika PPN Masukan lebih besar, maka akan terjadi PPN Lebih Bayar yang dapat diajukan restitusi atau dikompensasi ke masa pajak berikutnya. Keakuratan pencatatan PPN Keluaran sangat bergantung pada kepatuhan perusahaan dalam menerbitkan Faktur Pajak Standar sesuai regulasi, yang saat ini diwajibkan menggunakan sistem e-Faktur.
Untuk meningkatkan kepercayaan pada keabsahan transaksi dan memastikan PPN Masukan dapat dikreditkan, perusahaan wajib memverifikasi Faktur Pajak yang diterima. Berikut adalah langkah-langkah ringkas untuk memverifikasi keabsahan e-Faktur melalui aplikasi resmi DJP:
- Akses Aplikasi: Masuk ke akun PKP Anda pada aplikasi DJP Online dan pilih menu e-Nofa atau e-Faktur.
- Cek Status Faktur: Input nomor Faktur Pajak yang diterima (termasuk kode seri dan tahun penerbitan) ke dalam kolom verifikasi.
- Konfirmasi Data: Pastikan status faktur adalah “Valid” dan data yang tertera, seperti NPWP dan nama lawan transaksi, telah sesuai dengan dokumen fisik/elektronik yang Anda terima.
Dengan melakukan langkah verifikasi ini, perusahaan dapat memastikan bahwa PPN yang dicatat sebagai PPN Masukan adalah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan mengurangi PPN Terutang sesuai ketentuan yang berlaku.
Proses Keandalan: Bukti Potong, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
Fungsi dan Kewajiban Penerbitan Bukti Potong PPh Pasal 23
Siklus transaksi jasa yang melibatkan PPh Pasal 23 tidak berakhir pada pencatatan jurnal di buku besar. Tahap krusial berikutnya adalah formalisasi pemotongan pajak melalui Bukti Potong. Berdasarkan peraturan perpajakan, perusahaan atau pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 23 wajib membuat Bukti Potong—yang kini telah disederhanakan melalui sistem elektronik yang dikenal sebagai e-Bupot.
Bukti Potong ini adalah dokumen legal yang membuktikan bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong oleh pihak klien dan merupakan dasar utama bagi penyedia jasa untuk mengkreditkan pajak yang telah dipotong tersebut. Tanpa bukti potong yang valid dan diserahkan kepada penyedia jasa, PPh Pasal 23 yang telah dipotong tidak dapat diakui sebagai kredit pajak saat penyedia jasa melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan. Kewajiban ini harus dilaksanakan segera setelah pembayaran jasa dilakukan atau saat utang telah jatuh tempo, memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme pemotongan pajak.
Panduan Penyetoran PPh 23 dengan Surat Setoran Pajak (SSP) dan Pelaporan SPT Masa
Kepatuhan tidak hanya mencakup pemotongan dan penerbitan bukti, tetapi juga penyetoran dan pelaporan ke kas negara. Perusahaan yang memotong PPh Pasal 23 (sebagai pemotong pajak) bertanggung jawab penuh untuk menyetorkan jumlah pajak yang telah dipotong tersebut.
Batas waktu untuk menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan. Penyetoran ini dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau melalui mekanisme pembayaran pajak secara daring. Setelah disetor, pemotong pajak juga harus melaporkan seluruh transaksi pemotongan tersebut. Batas waktu pelaporan PPh Pasal 23 melalui SPT Masa adalah tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pembayaran atau terutangnya penghasilan.
Kedisiplinan dalam mematuhi tenggat waktu ini sangat penting. Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), keterlambatan penyetoran atau pelaporan pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Sebagai contoh, keterlambatan penyetoran dapat dikenakan sanksi bunga, sedangkan keterlambatan pelaporan SPT Masa dapat dikenakan denda pelaporan, menegaskan bahwa ketepatan waktu adalah salah satu pilar utama kepatuhan pajak yang teruji.
Pertanyaan Umum (FAQ) Tentang Pencatatan Akuntansi Perpajakan Jasa
Q1. Apakah PPh 23 dapat menjadi beban perusahaan jasa?
Tidak, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh klien (pemberi jasa) tidak dicatat sebagai beban oleh perusahaan penyedia jasa. Berdasarkan prinsip akuntansi perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, PPh 23 berfungsi sebagai kredit pajak atau angsuran PPh tahun berjalan.
Ketika penyedia jasa menerima pembayaran dari klien, pemotongan PPh 23 harus dicatat sebagai ‘PPh Pasal 23 Dibayar di Muka’ (sebuah aset). Kami tegaskan bahwa pencatatan ini sesuai dengan pengalaman profesional, karena di akhir tahun pajak, total PPh Dibayar di Muka ini akan digunakan untuk mengurangi total PPh Terutang Badan. Jika PPh Dibayar di Muka lebih besar dari PPh Terutang, perusahaan berhak mengajukan permohonan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak).
Q2. Bagaimana jurnalnya jika PPN Masukan tidak dapat dikreditkan?
Dalam situasi normal, PPN Masukan dapat dikreditkan, yang berarti ia mengurangi PPN Keluaran yang terutang. Namun, jika PPN Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak tidak memenuhi syarat untuk dikreditkan—misalnya, karena faktur tidak lengkap, tidak sah, atau berkaitan dengan pengeluaran yang dilarang dikreditkan berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN No. 42 Tahun 2009—maka PPN tersebut tidak dapat dicatat sebagai PPN Masukan (aset).
Dalam kasus ini, Anda harus menambahkan nilai PPN tersebut ke nilai perolehan jasa itu sendiri. Secara praktis, PPN yang tidak dapat dikreditkan harus dibebankan atau dikapitalisasi.
- Jika jasa tersebut adalah beban operasional, jurnalnya adalah mendebit Beban Jasa sebesar DPP (Dasar Pengenaan Pajak) ditambah PPN, dan mengkredit Kas/Bank.
- Jika jasa tersebut terkait dengan perolehan aset, PPN tersebut akan ditambahkan ke nilai perolehan Aset Tetap (dikapitalisasi).
Hal ini memastikan bahwa total pengeluaran tunai (termasuk PPN) diakui dengan benar dalam pembukuan, meskipun manfaat perpajakan PPN-nya hilang.
Ringkasan Akhir: Memastikan Kepatuhan Jurnal PPN dan PPh 23
Tiga Poin Kunci Akuntansi Perpajakan Jasa yang Wajib Diperhatikan
Untuk mencapai akurasi dalam pembukuan dan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan di Indonesia, kejelasan dan konsistensi dalam penjurnalan transaksi jasa yang melibatkan PPN dan PPh 23 adalah fundamental. Prinsip terpenting yang wajib ditaati adalah memisahkan pencatatan PPN (baik Masukan maupun Keluaran) dari PPh 23 (baik Utang PPh 23 bagi pemotong maupun PPh Dibayar di Muka bagi penerima jasa). Menurut para ahli perpajakan, pemisahan ini memastikan bahwa setiap elemen pajak memiliki perlakuan dan pelaporan yang benar. Selain itu, wajib bagi setiap pihak untuk selalu berpegangan pada dokumen legal seperti Bukti Potong PPh 23 dan Faktur Pajak sebagai dasar hukum pencatatan. Tanpa dokumen-dokumen ini, klaim kredit pajak atau pengakuan utang dapat dibantah.
Langkah Lanjutan untuk Pengelolaan Pajak yang Efisien
Memastikan integritas proses pencatatan tidak berhenti pada penjurnalan awal. Para profesional di bidang keuangan yang sukses dalam mengelola kepatuhan pajak selalu merekomendasikan audit internal bulanan. Proses ini bertujuan untuk memverifikasi kesesuaian antara jurnal yang dicatat, Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dibayar, dan dokumen e-Bupot (Bukti Potong Elektronik) yang diterbitkan atau diterima. Tindakan proaktif ini sangat penting untuk menghindari koreksi dan denda pajak yang timbul dari ketidaksesuaian data. Dengan demikian, bisnis dapat mempertahankan akuntabilitas fiskal yang tinggi dan mengurangi risiko sanksi administrasi.