Jurnal Pembayaran Jasa Notaris: Panduan Akuntansi Lengkap
Memahami Jurnal Pembayaran Jasa Notaris dan Kebutuhan Bisnis Anda
Definisi dan Pencatatan Dasar Jasa Notaris dalam Akuntansi
Jasa notaris adalah komponen penting dalam operasional bisnis, melibatkan legalitas dokumen, pendirian badan usaha, hingga transaksi properti. Dalam akuntansi, biaya yang timbul dari layanan profesional ini umumnya dicatat sebagai beban operasional. Secara fundamental, jurnal pembayaran jasa notaris dicatat sebagai beban operasional—seringkali menggunakan akun Biaya Jasa Profesional—di sisi Debit untuk mengakui kenaikan beban, sementara akun Kas/Bank akan berada di sisi Kredit untuk mencerminkan penurunan aset akibat pembayaran. Pencatatan dasar ini adalah langkah awal yang krusial.
Mengapa Pencatatan Jasa Notaris yang Tepat Sangat Penting?
Akurasi dalam menjurnal biaya notaris melampaui sekadar pembukuan; ini adalah fondasi untuk kepatuhan fiskal dan keandalan pelaporan keuangan. Pencatatan yang akurat memastikan kepatuhan pajak, terutama terkait kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, dan mendukung pelaporan keuangan yang valid bagi para pemangku kepentingan.
Dengan keahlian yang teruji di bidang akuntansi dan perpajakan, kami menekankan bahwa setiap entri harus didukung oleh dokumentasi yang lengkap. Kegagalan memisahkan biaya jasa notaris yang bersifat operasional dari yang bersifat kapitalisasi (misalnya, terkait perolehan aset) dapat memicu koreksi fiskal. Oleh karena itu, memastikan akuntan Anda memiliki pemahaman yang mendalam mengenai klasifikasi biaya ini sangat penting untuk membangun kepercayaan dan kredibilitas dalam hasil audit keuangan.
Memetakan Jenis Transaksi Notaris dan Klasifikasi Beban yang Tepat
Ketika sebuah bisnis melakukan pembayaran untuk jasa notaris, langkah krusial dalam akuntansi adalah menentukan klasifikasi yang tepat untuk biaya tersebut. Kesalahan dalam klasifikasi dapat berujung pada penyajian laporan keuangan yang menyesatkan dan, yang lebih parah, koreksi pajak. Penentuan ini bergantung sepenuhnya pada tujuan dari layanan notaris yang diberikan.
Biaya Jasa Notaris vs. Biaya Perolehan Aset: Perbedaan Kunci
Prinsip dasar dalam akuntansi adalah bahwa biaya yang memberikan manfaat ekonomi di masa depan (lebih dari satu periode akuntansi) harus dikapitalisasi, sementara biaya yang memberikan manfaat dalam periode berjalan dicatat sebagai beban.
Jika biaya notaris timbul sehubungan dengan pembelian aset jangka panjang—seperti pembelian properti (tanah, bangunan), akuisisi perusahaan, atau pengurusan hak paten—maka biaya jasa notaris tersebut tidak boleh dicatat sebagai beban operasional. Sebaliknya, biaya tersebut harus dikapitalisasi (ditambahkan) ke nilai perolehan aset yang bersangkutan.
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia (mengacu pada PSAK 16 Aset Tetap dan PSAK 19 Aset Takberwujud), biaya yang timbul dan secara langsung dapat diatribusikan untuk membawa aset ke kondisi dan lokasi yang siap digunakan (termasuk biaya hukum dan notaris) harus dimasukkan sebagai komponen biaya perolehan aset. Sebagai contoh spesifik, jika perusahaan mengakuisisi sebidang tanah, biaya jasa notaris untuk Akta Jual Beli (AJB) dan Balik Nama Sertifikat harus ditambahkan ke harga pokok perolehan tanah. Ini adalah praktik ahli yang menunjukkan kepatuhan pelaporan.
Klasifikasi Akun yang Tepat untuk Berbagai Jenis Dokumen Hukum
Untuk layanan notaris yang bersifat operasional rutin dan tidak terkait langsung dengan perolehan aset, biaya tersebut harus dicatat sebagai beban dalam periode terjadinya. Akun yang paling tepat untuk transaksi semacam ini adalah ‘Biaya Jasa Profesional’ atau ‘Biaya Hukum dan Notaris’ (sub-akun dari Biaya Operasional).
Contoh dari biaya notaris yang bersifat operasional rutin meliputi:
- Biaya pengesahan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
- Biaya legalisasi dokumen-dokumen internal yang rutin.
- Biaya notaris untuk perubahan anggaran dasar minor yang tidak signifikan mengubah struktur entitas.
Menggunakan akun Biaya Jasa Profesional untuk transaksi rutin memastikan bahwa laporan laba rugi mencerminkan biaya yang wajar dan relevan untuk periode tersebut, memberikan gambaran yang transparan mengenai kinerja operasional perusahaan.
Prosedur Akuntansi Inti: Mencatat Pembayaran Bruto Jasa Notaris
Proses penjurnalan jasa notaris harus dilakukan secara sistematis dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku untuk memastikan setiap transaksi tercatat secara valid dan transparan. Bagian ini akan membahas dua langkah inti dalam pencatatan pembayaran jasa notaris secara bruto sebelum mempertimbangkan aspek perpajakan.
Langkah 1: Mengakui Beban Jasa Notaris pada Tanggal Transaksi
Langkah pertama yang penting dalam pembukuan yang akuntabel adalah mengakui beban jasa notaris segera setelah layanan diterima, bahkan jika pembayaran belum dilakukan. Pengakuan ini dicatat dengan mendebit akun yang sesuai dan mengkredit Utang Usaha.
Sesuai praktik akuntansi yang teliti, jurnal standar saat pengakuan beban jasa notaris adalah: Debit Biaya Jasa Profesional $X$, Kredit Utang Usaha $X$. Nilai $X$ di sini adalah jumlah bruto (sebelum pajak, jika ada) yang tertera pada faktur atau perjanjian. Agar pencatatan ini dapat diandalkan dan dipercaya oleh auditor, Anda harus memastikan bahwa Anda memiliki bukti transaksi yang sah—berupa kuitansi atau faktur dari notaris—sebagai dasar pencatatan. Dokumen sumber ini membuktikan bahwa transaksi benar-benar terjadi dan merupakan fondasi dari prinsip reliabilitas dalam akuntansi.
Langkah 2: Proses Jurnal saat Pembayaran Tunai atau Melalui Bank
Setelah beban diakui dan dicatat sebagai utang (seperti pada Langkah 1), langkah berikutnya adalah menjurnal proses pembayaran aktual yang dilakukan melalui kas atau bank perusahaan. Jurnal ini pada dasarnya adalah jurnal pembalikan dari utang yang telah dicatat sebelumnya.
Ketika perusahaan melakukan pembayaran kepada notaris, jurnal yang dibuat akan melibatkan penghapusan Utang Usaha dan pengurangan aset kas/bank. Jika perusahaan telah mencatat Utang Usaha dari Langkah 1, jurnal pembayarannya adalah: Debit Utang Usaha $X$, Kredit Kas/Bank $X$.
Sebagai tips penting untuk akurasi data dan kemudahan audit, selalu pisahkan biaya jasa notaris (fee) dari biaya yang dibayarkan notaris kepada pihak ketiga, seperti bea materai, biaya administrasi kantor pertanahan, atau biaya lainnya yang bersifat reimbursement. Biaya reimbursement ini idealnya dicatat sebagai piutang (jika notaris membayarnya terlebih dahulu) atau hanya sebagai pengurangan kas/bank (jika langsung dibayarkan oleh perusahaan). Pemisahan ini memastikan bahwa akun Biaya Jasa Profesional hanya mencerminkan fee atas layanan notaris, yang merupakan objek pajak yang berbeda dari biaya pengeluaran pihak ketiga. Jurnal yang bersih dan terpisah akan sangat membantu dalam proses pelaporan dan kepatuhan pajak di kemudian hari.
Kepatuhan Pajak: Perlakuan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 atas Jasa Notaris
Pencatatan jurnal pembayaran jasa notaris tidak lengkap tanpa memahami aspek perpajakannya, terutama terkait Pajak Penghasilan (PPh). Kepatuhan pajak di sini sangat menentukan keabsahan biaya di mata fiskal. Kesalahan dalam pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh dapat menyebabkan koreksi pajak yang merugikan perusahaan. Oleh karena itu, memastikan semua transaksi dengan notaris memenuhi standar akuntabilitas dan perpajakan adalah kunci untuk membangun kredibilitas (Expertise, Authoritativeness, and Trustworthiness/E-E-A-T) data keuangan Anda.
Perhitungan dan Penjurnalan PPh Pasal 23 atas Jasa Notaris Badan
Ketika perusahaan Anda (Wajib Pajak Badan) membayar jasa profesional kepada kantor notaris yang berbentuk Badan Usaha (seperti PT atau firma), pembayaran tersebut merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Perusahaan Anda, sebagai pemberi jasa (pengguna jasa notaris), memiliki kewajiban untuk memotong pajak tersebut, menyetorkannya ke kas negara, dan melaporkannya ke Dirjen Pajak.
Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku (merujuk pada Undang-Undang PPh dan peraturan turunannya), tarif PPh Pasal 23 atas jasa profesional (termasuk notaris) adalah 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
Formula PPh Pasal 23: $$\text{PPh Pasal 23} = 2% \times \text{Jumlah Penghasilan Bruto (Fee Jasa Notaris)}$$
Setelah pemotongan dilakukan, perusahaan wajib segera membuat Bukti Potong PPh Pasal 23 dan menyerahkannya kepada notaris. Bukti potong ini merupakan dokumen penting yang mengkonfirmasi bahwa perusahaan telah melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Ilustrasi Jurnal Pemotongan PPh Pasal 23:
Asumsikan total biaya jasa notaris (bruto) adalah Rp10.000.000.
-
Pengakuan Beban (saat invoice diterima, sebelum pembayaran):
- Debit: Biaya Jasa Profesional Rp10.000.000
- Kredit: Utang Usaha (atau Utang Jasa Notaris) Rp10.000.000
-
Jurnal Saat Pembayaran dan Pemotongan PPh 23: Pemotongan PPh Pasal 23: $2% \times \text{Rp10.000.000} = \text{Rp200.000}$
- Debit: Utang Usaha (atau Utang Jasa Notaris) Rp10.000.000
- Kredit: Utang PPh Pasal 23 Rp200.000
- Kredit: Kas/Bank Rp9.800.000
Jurnal ini secara tegas memisahkan kewajiban pembayaran kepada notaris (Utang Usaha) dengan kewajiban perpajakan kepada negara (Utang PPh Pasal 23). Utang PPh Pasal 23 ini kemudian harus segera disetorkan ke kas negara pada bulan berikutnya.
Penghitungan dan Pencatatan PPh Pasal 21 atas Jasa Notaris Pribadi
Meskipun lebih jarang terjadi dibandingkan pembayaran kepada Badan Usaha, ada kalanya perusahaan bertransaksi dengan notaris yang berpraktik sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi (tidak berbentuk Badan Usaha). Dalam skenario ini, pembayaran jasa tersebut dikenakan pemotongan PPh Pasal 21, bukan PPh Pasal 23.
Perlakuan PPh Pasal 21 atas jasa notaris (sebagai pekerjaan bebas) dihitung berdasarkan tarif PPh Pasal 21 untuk pekerjaan bebas. Menurut ketentuan, Notaris termasuk dalam kategori tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, sehingga dasar pengenaan pajaknya dihitung dari 50% dari penghasilan bruto.
Perhitungan PPh Pasal 21:
- $\text{DPP PPh 21} = 50% \times \text{Jumlah Penghasilan Bruto}$
- $\text{PPh Pasal 21} = \text{Tarif Progresif PPh 21 (Pasal 17) } \times \text{DPP PPh 21}$
Karena PPh Pasal 21 menggunakan tarif progresif yang tergantung pada total penghasilan notaris, perusahaan biasanya harus merujuk pada ketentuan yang berlaku atau menggunakan tarif efektif. Namun, mekanisme dasarnya adalah perusahaan tetap bertindak sebagai pemotong.
Jurnal Saat Pembayaran dan Pemotongan PPh 21:
Jika diasumsikan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp250.000, jurnal yang dicatat mirip dengan PPh Pasal 23, hanya dengan perubahan nama akun hutang pajak.
- Debit: Utang Usaha (atau Utang Jasa Notaris) Rp10.000.000
- Kredit: Utang PPh Pasal 21 Rp250.000
- Kredit: Kas/Bank Rp9.750.000
Memahami perbedaan mendasar antara objek PPh 23 dan PPh 21 ini adalah inti dari profesionalisme dalam akuntansi biaya jasa notaris dan memastikan kewajiban perpajakan Anda dilakukan dengan benar.
Studi Kasus Jurnalistik: Tiga Skenario Pembayaran Jasa Notaris Kompleks
Untuk memastikan pemahaman yang menyeluruh dan praktis mengenai jurnal pembayaran jasa notaris, bagian ini menyajikan tiga studi kasus kompleks yang mereplikasi situasi nyata dalam dunia bisnis. Menguasai skenario ini akan meningkatkan kredibilitas pencatatan keuangan Anda dan meminimalkan risiko kesalahan akuntansi.
Skenario A: Jurnal Pembayaran Jasa Pendirian PT (Kapitalisasi Biaya)
Ketika sebuah perusahaan baru didirikan, biaya jasa notaris yang terkait langsung dengan proses pendirian Badan Hukum (PT) dapat dikapitalisasi. Berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan untuk mencerminkan nilai perolehan, biaya ini tidak selalu dicatat sebagai beban operasional segera. Sebaliknya, biaya notaris tersebut dapat dicatat sebagai Aset Tak Berwujud dengan nama akun Biaya Organisasi (Organization Costs) atau sebagai bagian dari Biaya Ditangguhkan (Deferred Charges), yang kemudian akan diamortisasi selama periode tertentu, sesuai dengan kebijakan akuntansi yang konsisten.
Misalnya, pada 12 Desember 2025, PT Makmur Sejahtera membayar jasa Notaris Ibu Ani sebesar Rp10.000.000 untuk pengesahan Akta Pendirian. Notaris adalah Orang Pribadi (Non-PKP).
| Tanggal | Nama Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|---|
| 12 Des 2025 | Biaya Organisasi (Aset Tak Berwujud) | 10.000.000 | |
| Utang PPh Pasal 21 | 500.000 | ||
| Kas / Bank | 9.500.000 | ||
| Keterangan: | Pencatatan pembayaran jasa notaris yang dikapitalisasi sebagai aset tak berwujud setelah dipotong PPh 21 sebesar 5% (Rp10.000.000 x 5%). |
Skenario B: Jurnal Pembayaran Jasa Legalisasi Dokumen (Beban Operasional)
Jasa notaris yang bersifat rutin dan tidak terkait dengan perolehan aset jangka panjang, seperti legalisasi dokumen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), perjanjian kerja sama operasional, atau surat kuasa, harus dicatat sebagai Beban Operasional perusahaan. Pencatatan ini langsung memengaruhi laba rugi pada periode terjadinya dan biasanya menggunakan akun Biaya Jasa Profesional.
Asumsikan pada 14 Desember 2025, perusahaan membayar jasa Notaris Bapak Budi (Badan Usaha) sebesar Rp5.000.000 untuk legalisasi dokumen perjanjian dagang. Pembayaran ini harus dipotong PPh Pasal 23.
| Tanggal | Nama Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|---|
| 14 Des 2025 | Biaya Jasa Profesional | 5.000.000 | |
| Utang PPh Pasal 23 | 100.000 | ||
| Kas / Bank | 4.900.000 | ||
| Keterangan: | Pencatatan pembayaran jasa notaris Badan Usaha sebagai beban operasional setelah dipotong PPh 23 sebesar 2% (Rp5.000.000 x 2%). |
Skenario C: Jurnal Pembayaran dengan Komponen Biaya Reimbursement
Seringkali, notaris membayarkan sejumlah biaya ke pihak ketiga atas nama klien, seperti bea materai, biaya administrasi, atau biaya cetak dokumen. Jumlah ini disebut reimbursement atau uang muka dan seharusnya tidak menjadi objek pemotongan PPh karena bukan merupakan imbalan jasa notaris. Oleh karena itu, penting untuk memisahkan komponen biaya notaris (yang dipotong PPh) dari biaya reimbursement (yang hanya lewat).
Pada 15 Desember 2025, perusahaan membayar total Rp7.500.000 kepada Notaris Ibu Cahya (Orang Pribadi) dengan rincian: Jasa Notaris (Fee) Rp6.000.000 dan Reimbursement (Biaya Pengurusan di instansi lain) Rp1.500.000. Hanya Fee Jasa yang dipotong PPh 21.
| Tanggal | Nama Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|---|
| 15 Des 2025 | Biaya Jasa Profesional | 6.000.000 | |
| Beban Administrasi / Biaya Reimbursement | 1.500.000 | ||
| Utang PPh Pasal 21 | 300.000 | ||
| Kas / Bank | 7.200.000 | ||
| Keterangan: | Pencatatan jasa notaris dan biaya reimbursement. PPh 21 hanya dipotong dari Fee Jasa (Rp6.000.000 x 5% = Rp300.000). Total Kas Keluar: Rp7.500.000 - Rp300.000 = Rp7.200.000. |
Memisahkan biaya jasa notaris (fee) dari biaya pihak ketiga atau reimbursement adalah kunci untuk memastikan keandalan data keuangan dan menghindari kesalahan pemotongan pajak. Praktisi akuntansi yang kredibel harus selalu meminta rincian faktur yang jelas dari notaris untuk mempermudah proses pemisahan ini.
Dokumentasi dan Bukti Audit: Mendukung Validitas Setiap Jurnal Notaris
Dalam siklus akuntansi jasa notaris, keakuratan jurnal hanya setengah dari pertempuran. Integritas data dan kemampuan untuk bertahan dalam pengujian audit eksternal—baik dari auditor independen maupun otoritas pajak—bergantung sepenuhnya pada kualitas dokumentasi pendukung. Dokumen-dokumen ini adalah tulang punggung yang memberikan kredibilitas dan keandalan pada seluruh proses pencatatan.
Pentingnya Kontrak dan Surat Perikatan Jasa sebagai Dasar Jurnal
Sebelum entri jurnal dibuat, akuntan harus memastikan bahwa ada kesepakatan tertulis yang mendasari transaksi tersebut. Kontrak atau Surat Perikatan Jasa dengan notaris bukan hanya formalitas hukum; ini adalah dokumen sumber primer yang memvalidasi alasan dan jumlah pembayaran. Dokumen ini secara jelas harus menguraikan jenis layanan (misalnya, Rapat Umum Pemegang Saham/RUPS, jual beli aset), biaya jasa (honorarium), dan pengeluaran lain-lain (reimbursement) yang akan dicatat.
Untuk memastikan bahwa pencatatan dilakukan dengan penuh kredibilitas, penting untuk memastikan bahwa dokumen sumber utama seperti faktur, kuitansi, dan terutama bukti potong Pajak Penghasilan (PPh) diarsipkan secara sistematis. Pendekatan ini memenuhi prinsip konsistensi dan reliabilitas akuntansi, memastikan bahwa setiap entri jurnal didukung oleh bukti fisik yang tidak dapat disanggah.
Pengarsipan Bukti Potong Pajak dan Faktur untuk Kebutuhan Audit
Dua jenis dokumen menjadi sangat penting untuk memenuhi kewajiban pajak dan audit: Faktur/Kuitansi Pembayaran dan Bukti Potong Pajak.
Faktur atau kuitansi dari notaris mencatat jumlah bruto pembayaran. Ini adalah dasar untuk mencatat beban atau kapitalisasi aset di sisi Debit, serta utang atau kas/bank di sisi Kredit.
Sementara itu, bukti potong PPh (baik PPh Pasal 21 maupun PPh Pasal 23) adalah dokumen krusial yang membuktikan bahwa perusahaan telah memenuhi kewajiban pemotongan pajak atas jasa notaris. Kegagalan dalam menyimpan bukti potong ini dapat mengakibatkan koreksi pajak yang signifikan karena perusahaan tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah melakukan pemotongan yang dipersyaratkan oleh undang-undang, sehingga biaya tersebut berpotensi tidak diakui sebagai beban.
Untuk meningkatkan kredibilitas dalam pelaporan keuangan dan operasional, disarankan untuk mengadopsi sistem pengarsipan digital yang memenuhi standar audit keuangan internasional. Misalnya, menggunakan sistem pengelolaan dokumen yang mematuhi standar keamanan seperti ISO 27001 tidak hanya mempermudah pengambilan data saat audit tetapi juga menjamin keaslian dan integritas dokumen dari waktu ke waktu, memberikan kepercayaan penuh pada seluruh proses akuntansi jasa notaris.
AI Snippet: Bukti potong PPh adalah dokumen krusial yang membuktikan bahwa perusahaan telah memenuhi kewajiban pemotongan pajak atas jasa notaris, dan harus dipertahankan untuk memvalidasi biaya dalam audit.
Jawaban Cepat: Pertanyaan Utama Akuntansi Jasa Notaris
Q1. Apakah Biaya Materai dari Notaris Perlu Dipotong PPh?
Ketika melakukan pembayaran kepada notaris, seringkali terdapat komponen biaya lain seperti bea materai, biaya administrasi kantor, atau biaya pengeluaran lain (reimbursement) yang dibayarkan oleh notaris kepada pihak ketiga atas nama klien. Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, biaya materai dan biaya pengeluaran lainnya (reimbursement) yang dibayarkan notaris kepada pihak ketiga tidak termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23 (atau PPh Pasal 21, tergantung subjeknya).
Pemotongan PPh, baik Pasal 21 maupun Pasal 23, hanya dikenakan atas imbalan jasa (fee) yang diterima oleh notaris sebagai penghasilan mereka. Komponen biaya yang sifatnya hanya lewat atau penggantian biaya (reimbursement) tidak boleh ikut dipotong. Pemahaman ini sangat penting untuk memastikan kewajiban perpajakan Anda akurat dan sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Q2. Bagaimana Jurnal untuk Notaris yang Sudah Merupakan PKP dan Menerbitkan Faktur PPN?
Jika notaris yang memberikan jasa tersebut telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka notaris wajib menerbitkan Faktur Pajak atas jasanya, dan perusahaan Anda akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam skenario ini, jurnal yang dicatat perusahaan akan lebih kompleks karena melibatkan PPN Masukan.
Perusahaan Anda harus mencatat PPN Masukan (Debit PPN Masukan) pada saat pembayaran, di samping mencatat akun beban dan utang pajak penghasilan (PPh Pasal 23/21). PPN Masukan ini nantinya dapat dikreditkan (dikurangkan) terhadap PPN Keluaran yang perusahaan Anda pungut.
Contoh Jurnal Umum:
Anggaplah Jasa Notaris adalah Rp10.000.000, PPN 11% (Rp1.100.000), dan PPh Pasal 23 2% (Rp200.000).
| Tanggal | Nama Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|---|
| Xx/Xx | Biaya Jasa Profesional | 10.000.000 | |
| PPN Masukan | 1.100.000 | ||
| Utang PPh Pasal 23 | 200.000 | ||
| Kas / Bank | 10.900.000 | ||
| Keterangan: Mencatat pembayaran jasa notaris termasuk PPN dan pemotongan PPh 23. |
Struktur ini memastikan bahwa Anda telah memenuhi kewajiban pemotongan pajak penghasilan dan mencatat hak Anda atas kredit pajak PPN secara benar, yang merupakan praktik governance keuangan yang baik.
Final Takeaways: Menguasai Jurnal Pembayaran Jasa Notaris di Tahun 2025
Tiga Langkah Kunci Menghindari Koreksi Pajak pada Biaya Notaris
Memastikan akurasi dalam pencatatan jurnal pembayaran jasa notaris bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga tentang melindungi bisnis Anda dari potensi koreksi pajak yang mahal. Kepercayaan dalam proses akuntansi Anda—yang ditopang oleh pengalaman dan praktik terbaik—bergantung pada penanganan tiga aspek fundamental ini.
Kunci utama untuk menjaga kebersihan buku besar dan menghindari sengketa pajak adalah memisahkan biaya notaris yang dikapitalisasi (aset) dari yang dibebankan (operasional), dan selalu patuh pada pemotongan PPh. Secara spesifik, selalu bedakan:
- Kapitalisasi Biaya: Biaya notaris yang berkaitan langsung dengan perolehan aset jangka panjang (misalnya, akta jual beli tanah) harus ditambahkan ke nilai aset tersebut, bukan dicatat sebagai beban operasional.
- Beban Operasional: Biaya yang bersifat rutin dan tidak terkait aset (misalnya, pengesahan RUPS) dicatat sebagai Biaya Jasa Profesional.
- Kepatuhan Pajak: Selalu potong, setor, dan laporkan PPh Pasal 23 (untuk notaris badan) atau PPh Pasal 21 (untuk notaris pribadi) sesuai tarif yang berlaku. Keahlian ini penting untuk menghindari denda dari otoritas pajak.
Tindakan Selanjutnya untuk Tim Akuntansi Anda
Setelah memahami kompleksitas penjurnalan ini, tim akuntansi Anda perlu segera mengimplementasikan sistem kontrol internal yang ketat. Salah satu tindakan penting adalah mengimplementasikan sistem verifikasi bukti potong PPh sebelum pembayaran penuh.
Jangan bayar tagihan jasa notaris secara penuh hingga Anda menerima dan memverifikasi bukti potong PPh (baik PPh 21 atau PPh 23) yang telah mereka buat. Praktik ini bertindak sebagai mekanisme pemeriksaan ganda, memastikan kewajiban pemotongan pajak Anda telah dipenuhi dan didokumentasikan dengan benar, sehingga menciptakan catatan keuangan yang kuat dan kredibel untuk kebutuhan audit di masa mendatang.