Jurnal Pembayaran Jasa Konsultasi Perpajakan: Panduan Lengkap

Memahami Jurnal Pembayaran Jasa Konsultasi dalam Perpajakan

Jurnal Inti Pembayaran Jasa Konsultasi Pajak (Saat Terjadi Transaksi)

Pencatatan akuntansi atas pembayaran jasa konsultasi, khususnya yang terkait dengan perpajakan, harus dilakukan secara tepat untuk memastikan kepatuhan. Secara fundamental, jurnal dasar yang wajib dicatat saat perusahaan membayar jasa konsultasi pajak melibatkan tiga akun utama. Pertama, Beban Jasa Konsultasi akan dicatat di sisi Debit untuk mengakui adanya peningkatan beban. Kedua, akun Kas/Bank akan dicatat di sisi Kredit untuk menunjukkan adanya pengurangan aset kas yang digunakan untuk pembayaran. Yang paling krusial dalam konteks perpajakan adalah pengakuan Utang PPh Pasal 23 di sisi Kredit. Utang ini timbul karena perusahaan wajib memotong sebagian dari pembayaran sebagai Pajak Penghasilan (PPh) yang harus disetorkan ke kas negara. Jurnal inti ini menjadi landasan untuk semua transaksi jasa.

Mengapa Pengalaman dan Keahlian Jurnal Ini Penting?

Pengalaman dan keahlian yang mendalam dalam pencatatan jurnal ini tidak hanya sekadar formalitas akuntansi, tetapi merupakan garis pertahanan pertama terhadap risiko audit pajak. Artikel ini secara khusus memberikan panduan langkah demi langkah yang terperinci mengenai pencatatan jurnal yang benar, mekanisme pemotongan pajak (terutama PPh Pasal 23), dan implikasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang relevan. Keakuratan dalam proses ini, didukung oleh pemahaman regulasi terbaru dari Direktorat Jenderal Pajak, sangat penting untuk meminimalkan risiko ketidakpatuhan pajak dan sanksi denda yang mungkin timbul.

Elemen Kunci dalam Pencatatan Akuntansi Jasa Konsultasi

Identifikasi Akun Beban yang Tepat

Pencatatan akuntansi untuk pembayaran jasa konsultasi harus dilakukan dengan cermat untuk memastikan laporan keuangan mencerminkan kondisi yang sebenarnya dan sesuai dengan kaidah perpajakan. Kunci utama adalah memastikan akun Beban Jasa Konsultasi dicatat berdasarkan prinsip akrual.

Menurut prinsip akuntansi yang berlaku umum, beban harus diakui saat manfaat dari jasa telah diterima oleh perusahaan, terlepas dari kapan pembayaran kas benar-benar dilakukan. Ini berarti, jika konsultan telah menyelesaikan pekerjaannya pada bulan Desember 2024, tetapi tagihan baru dibayar pada Januari 2025, beban tersebut harus diakui (dijurnal) pada Desember 2024 dengan mengkredit akun Utang Usaha atau Utang Jasa Konsultasi. Pendekatan ini sangat penting untuk pelaporan keuangan yang akurat.

Untuk perjanjian konsultasi yang bersifat jangka panjang dan melibatkan penyerahan aset hak guna (misalnya, perjanjian penyediaan perangkat keras atau software yang menyertai jasa), pencatatannya perlu merujuk pada standar akuntansi yang lebih spesifik. Sebagai contoh keahlian, jika transaksi melibatkan mata uang asing karena menggunakan konsultan dari luar negeri, praktik pencatatan harus mengacu pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 10 tentang Pengaruh Perubahan Nilai Tukar. Hal ini memastikan bahwa fluktuasi kurs mata uang asing dicatat dengan benar dan tidak menimbulkan risiko koreksi fiskal yang tidak perlu.

Pengakuan Utang dan Saat Terjadinya Transaksi

Pengakuan utang dan penentuan saat terjadinya transaksi adalah tahap krusial dalam pencatatan jurnal. Ada perbedaan fundamental antara pencatatan berbasis kas (cash basis) dan berbasis akrual (accrual basis), terutama dalam konteks jasa konsultasi.

  • Pencatatan Berbasis Akrual: Dalam metode ini, transaksi diakui dan dicatat ketika terjadi, tanpa melihat aliran kas. Saat konsultan menyerahkan tagihan (sebagai bukti telah menyerahkan jasa), perusahaan segera mencatat Beban Jasa Konsultasi (Debit) dan Utang Usaha (Kredit). Inilah metode yang umumnya diwajibkan untuk pelaporan keuangan sesuai Standar Akuntansi Keuangan (SAK) di Indonesia.

  • Pencatatan Berbasis Kas: Dalam metode ini, transaksi baru diakui ketika kas diterima atau dibayarkan. Jurnal (Beban Jasa Konsultasi vs. Kas/Bank) hanya akan dibuat ketika pembayaran benar-benar terjadi. Metode ini seringkali tidak diizinkan untuk laporan keuangan publik, tetapi terkadang digunakan untuk keperluan internal atau untuk Wajib Pajak tertentu yang memenuhi syarat.

Untuk akuntansi perpajakan jasa konsultasi, pencatatan berbasis akrual jauh lebih disarankan. Ini memberikan kejelasan kapan beban diakui, yang pada gilirannya akan menentukan kapan kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 timbul. Kewajiban memotong PPh 23 timbul pada saat yang ditentukan oleh peraturan perpajakan, yaitu pada saat pembayaran, saat tersedia untuk dibayarkan, atau saat jatuh tempo pembayaran (mana yang terjadi lebih dulu). Dengan mencatat utang terlebih dahulu, perusahaan telah memiliki basis yang kuat untuk mengelola kewajiban perpajakan ini.

Implikasi Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

Pencatatan jurnal untuk pembayaran jasa konsultasi tidak akan lengkap tanpa memahami kewajiban Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23. Sebagai pihak yang membayar (pemotong pajak), Anda memiliki tanggung jawab hukum untuk memotong, menyetor, dan melaporkan pajak atas transaksi jasa yang terjadi. Kelalaian dalam proses ini akan menimbulkan sanksi dan denda, sehingga memerlukan tingkat otoritas dan akuntabilitas yang tinggi dalam pencatatan akuntansi.

Tarif dan Objek PPh Pasal 23 untuk Jasa Konsultasi

Pemotongan PPh Pasal 23 adalah elemen krusial dalam jurnal pembayaran jasa konsultasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, jasa konsultasi termasuk dalam kelompok jasa lain yang menjadi objek PPh Pasal 23. Tarif pemotongan yang berlaku adalah 2% dari jumlah penghasilan bruto (tidak termasuk PPN).

Penting untuk dicatat bahwa dasar hukum yang lebih tinggi, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, memperkuat status jasa konsultasi sebagai objek PPh. Namun, terdapat pengecualian yang harus diwaspadai: jika konsultan yang bersangkutan memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23 dari Direktorat Jenderal Pajak, maka pemotongan tidak perlu dilakukan. Keahlian dalam memverifikasi dokumen SKB ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan yang optimal dan menghindari potensi sengketa fiskal.

Mekanisme Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Bukti Potong

Mekanisme pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan saat pembayaran, saat terutang, atau saat disediakan untuk dibayar, tergantung mana yang terjadi lebih dahulu. Dalam konteks jurnal, pemotongan ini akan dicatat sebagai kewajiban yang harus disetor ke kas negara.

Ketika jasa konsultasi telah diterima dan PPh Pasal 23 telah dipotong, jurnal yang harus dicatat untuk mencerminkan kewajiban ini adalah:

  1. Jika pembayaran belum dilakukan (Utang kepada Konsultan belum dilunasi):

    • Debit: Utang kepada Konsultan
    • Kredit: Utang PPh Pasal 23
  2. Jika pembayaran dilakukan secara tunai/bank setelah pemotongan:

    • Debit: Utang PPh Pasal 23
    • Kredit: Kas/Bank

Sebagai contoh, jika total tagihan konsultan adalah Rp10.000.000, maka PPh Pasal 23 yang dipotong adalah 2% dari jumlah bruto, yaitu Rp200.000. Konsultan akan menerima pembayaran bersih sebesar Rp9.800.000, dan Rp200.000 akan menjadi Utang PPh Pasal 23 di sisi Kredit. Utang PPh Pasal 23 ini kemudian harus disetorkan (dibayar) ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya, disertai dengan penerbitan Bukti Potong (Bupot) kepada konsultan sebagai kredit pajak mereka. Pendekatan pencatatan yang akurat ini menunjukkan pengalaman praktis dan kehati-hatian dalam manajemen perpajakan.

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Jasa Konsultasi

Setelah memahami pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, aspek pajak krusial berikutnya yang harus dikuasai dalam jurnal untuk pembayaran jasa konsultasi dalam perpajakan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Meskipun seringkali diabaikan dalam pencatatan beban jasa, PPN memiliki implikasi signifikan terhadap arus kas dan hak pengkreditan pajak bagi perusahaan yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Kewajiban PPN dan Perhitungan PPN Keluaran/Masukan

Jasa konsultasi secara spesifik ditetapkan sebagai salah satu objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang saat ini dikenakan tarif sebesar 11%. Konsultan yang merupakan PKP wajib memungut PPN sebesar 11% dari nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas jasa yang mereka berikan. PPN yang dipungut oleh konsultan ini akan menjadi PPN Masukan bagi perusahaan Anda jika perusahaan Anda juga merupakan PKP.

Sebagai Wajib Pajak PKP yang menerima jasa konsultasi, PPN yang Anda bayarkan kepada konsultan berhak untuk dikreditkan. PPN Masukan ini akan mengurangi PPN Keluaran (Pajak yang Anda pungut dari penjualan barang/jasa Anda) dalam perhitungan PPN masa. Pengkreditan ini adalah hak fundamental Wajib Pajak yang terdaftar sebagai PKP, yang sangat penting untuk manajemen pajak yang efisien dan mematuhi aturan perpajakan.

Jurnal Pencatatan PPN Masukan dan Faktur Pajak

Pencatatan PPN Masukan dalam jurnal akuntansi terjadi pada saat Faktur Pajak yang diterbitkan oleh konsultan diterima dan diakui. Faktur Pajak merupakan dokumen kunci yang menjadi bukti sah pemungutan dan pembayaran PPN, sekaligus syarat mutlak untuk mengkreditkan PPN Masukan. Keakuratan dan kelengkapan Faktur Pajak harus diverifikasi secara ketat untuk menghindari potensi koreksi fiskal.

Sebagai contoh nyata dari pengalaman akuntan senior, saat menerima Faktur Pajak, pastikan kode transaksi pada Faktur Pajak adalah ‘010’ untuk penyerahan umum yang PPN-nya dipungut oleh penjual (konsultan) sendiri. Jika Anda menerima jasa konsultasi dengan nilai DPP Rp10.000.000, maka PPN 11% adalah Rp1.100.000. Jurnal yang benar saat menerima Faktur Pajak tersebut adalah:

Tanggal Nama Akun Ref Debit (Rp) Kredit (Rp)
[Tgl] Beban Jasa Konsultasi 10.000.000
PPN Masukan 1.100.000
Utang Jasa Konsultasi 11.100.000

Dengan mencatat PPN Masukan (Debit), Anda secara langsung mengakui hak untuk mengkreditkan pajak tersebut di masa pajak bersangkutan. Jika PPN Masukan ini tidak dicatat dengan benar—misalnya, dimasukkan ke dalam Beban Jasa Konsultasi—maka jumlah pajak yang harus Anda bayar di akhir periode PPN akan lebih besar secara artifisial, yang merupakan kesalahan fatal dalam manajemen pajak.


Lanjutan dari jurnal di atas, saat pembayaran dan pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan, PPN Masukan yang telah dicatat tetap utuh dan siap untuk dikreditkan.


Studi Kasus Lengkap: Langkah Demi Langkah Jurnal Pembayaran

Memahami teori sangat penting, namun melihat aplikasinya dalam studi kasus nyata akan sangat meningkatkan kredibilitas pencatatan Anda. Dua skenario berikut mengilustrasikan perbedaan krusial dalam perlakuan pajak, yang berdampak langsung pada jurnal yang harus dibuat.

Skenario 1: Pembayaran Jasa Konsultasi (dengan PPh 23 dan PPN)

Asumsikan PT. ABC (Pengusaha Kena Pajak/PKP) menggunakan jasa konsultasi dari PT. XYZ (PKP). Total tagihan yang diterima adalah Rp 110.000.000, di mana Rp 100.000.000 adalah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan Rp 10.000.000 adalah PPN (10% dari Rp 100.000.000). Skenario ini melibatkan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2%.

Pencatatan jurnal dalam kasus ini dapat dipecah menjadi tiga langkah utama untuk memastikan akurasi dan kepatuhan:

Langkah 1: Catat Beban & PPN Masukan (Saat Menerima Tagihan/Faktur Pajak)

Saat tagihan diterima, PT. ABC mengakui beban jasa dan PPN Masukan yang dapat dikreditkan, serta Utang Usaha kepada konsultan.

Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
Beban Jasa Konsultasi 100.000.000
PPN Masukan 10.000.000
Utang Usaha (kepada PT. XYZ) 110.000.000
Keterangan: Pencatatan tagihan atas jasa konsultasi, termasuk PPN.

Langkah 2: Catat Utang PPh 23 (Saat Pembayaran/Pengakuan Beban)

Berdasarkan DPP sebesar Rp 100.000.000, PPh Pasal 23 yang harus dipotong adalah 2%. Pemotongan ini mengurangi jumlah uang tunai yang dibayarkan kepada PT. XYZ dan menciptakan Utang PPh Pasal 23 kepada negara.

$$\text{PPh Pasal 23} = 2% \times \text{Rp } 100.000.000 = \text{Rp } 2.000.000$$

Jumlah yang dibayarkan ke PT. XYZ: $\text{Rp } 110.000.000 - \text{Rp } 2.000.000 = \text{Rp } 108.000.000$.

Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
Utang Usaha (kepada PT. XYZ) 110.000.000
Kas/Bank 108.000.000
Utang PPh Pasal 23 2.000.000
Keterangan: Pembayaran tagihan, memotong PPh Pasal 23.

Langkah 3: Pelunasan Utang PPh 23 (Saat Penyetoran ke Kas Negara)

PT. ABC wajib menyetor Utang PPh Pasal 23 ini ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya pada SPT Masa PPh Pasal 23.

Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
Utang PPh Pasal 23 2.000.000
Kas/Bank 2.000.000
Keterangan: Penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara.

Untuk meningkatkan kepercayaan pada proses ini, kami merekomendasikan kerangka kerja Verifikasi-Jurnal-Setor-Lapor (VJSL). Verifikasi dokumen (Faktur Pajak dan Bukti Potong), Jurnal pencatatan (seperti di atas), Setor pajak terutang (ke Kas Negara), dan Lapor melalui SPT Masa. Kerangka ini memastikan tidak ada langkah kepatuhan yang terlewat.

Skenario 2: Pembayaran Jasa Konsultasi kepada Orang Pribadi (PPh Pasal 21)

Jika jasa konsultasi diberikan oleh seorang Orang Pribadi (misalnya, seorang konsultan independen, Bapak Budi), objek pemotongan pajak berubah dari PPh Pasal 23 menjadi PPh Pasal 21. Ini adalah perbedaan krusial yang harus dipahami oleh setiap Wajib Pajak.

Asumsikan PT. ABC membayar jasa konsultasi kepada Bapak Budi sebesar Rp 50.000.000 (tidak ada PPN karena Bapak Budi bukan PKP).

Menurut peraturan perpajakan, dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas jasa konsultan Orang Pribadi adalah 50% dari penghasilan bruto. Tarifnya mengacu pada Pasal 17 UU PPh (Tarif Progresif). Jika diasumsikan total penghasilan bruto kumulatif Bapak Budi di tahun berjalan masih di bawah Rp 60.000.000, maka tarifnya 5%.

$$\text{DPP PPh 21} = 50% \times \text{Rp } 50.000.000 = \text{Rp } 25.000.000$$ $$\text{PPh Pasal 21} = 5% \times \text{Rp } 25.000.000 = \text{Rp } 1.250.000$$

Jurnal Pencatatan Beban dan Pemotongan PPh Pasal 21:

Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
Beban Jasa Konsultasi 50.000.000
Kas/Bank 48.750.000
Utang PPh Pasal 21 1.250.000
Keterangan: Pembayaran jasa kepada Orang Pribadi, memotong PPh Pasal 21.

Penting untuk dicatat, perbedaan PPh 23 (Badan) dan PPh 21 (Orang Pribadi) secara signifikan mengubah perhitungan pemotongan dan jurnal yang digunakan (Utang PPh 23 vs Utang PPh 21), serta formulir pelaporannya (SPT Masa PPh 23 vs SPT Masa PPh 21). Ketidaktepatan dalam mengidentifikasi subjek pajak (Badan atau Orang Pribadi) adalah salah satu penyebab utama koreksi fiskal yang harus dihindari.

Kesalahan Umum Akuntansi dan Perpajakan yang Harus Dihindari

Membuat jurnal untuk pembayaran jasa konsultasi dalam perpajakan melibatkan berbagai aturan yang kompleks. Oleh karena itu, penting untuk memastikan akurasi dan kepatuhan setiap langkah pencatatan. Dua kesalahan fatal yang sering dilakukan dapat berakibat pada sanksi dan koreksi fiskal yang substansial.

Gagal Melakukan Pemotongan PPh Pasal 23 (Risiko Denda)

Salah satu kesalahan yang paling umum dan paling mahal adalah kelalaian dalam memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 saat melakukan pembayaran jasa konsultasi kepada Wajib Pajak Badan atau Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong. Kegagalan ini memiliki implikasi ganda yang serius. Pertama, entitas yang seharusnya memotong dan menyetorkan pajak akan tetap bertanggung jawab atas jumlah PPh Pasal 23 yang seharusnya dipotong. Dengan kata lain, beban pajak tersebut akan beralih menjadi tanggungan pembayar jasa.

Kedua, selain kewajiban membayar jumlah pajak terutang, pembayar juga akan menghadapi denda administrasi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Denda ini dapat berupa sanksi bunga atas kekurangan pembayaran pajak yang dihitung sejak tanggal jatuh tempo penyetoran, menegaskan mengapa kepatuhan pemotongan PPh 23 sangat krusial untuk menjaga otoritas dan kredibilitas keuangan perusahaan.

Pencatatan Beban Jasa yang Tidak Didukung Dokumen Resmi

Kunci untuk memastikan bahwa biaya jasa konsultasi dapat diakui sepenuhnya sebagai pengurang penghasilan bruto (beban yang dapat dikurangkan/deductible expense) adalah kelengkapan dan keabsahan dokumentasi. Kekurangan dalam hal ini seringkali menjadi pemicu koreksi fiskal yang signifikan.

Untuk menghindari koreksi oleh fiskus, setiap pencatatan jurnal yang mendebit akun Beban Jasa Konsultasi harus didukung oleh minimal dua dokumen esensial: Bukti Potong PPh Pasal 23 dan Faktur Pajak yang sah dari konsultan (jika konsultan adalah Pengusaha Kena Pajak/PKP). Bukti Potong PPh Pasal 23 berfungsi sebagai bukti bahwa kewajiban pemotongan pajak telah dilakukan, sementara Faktur Pajak yang mencantumkan kode transaksi yang benar (misalnya, kode ‘010’ untuk penyerahan umum) memvalidasi PPN Masukan yang dikreditkan.

Sebagai nasihat ahli dari para praktisi perpajakan, sangat disarankan untuk melakukan rekonsiliasi Utang PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21 (jika konsultan adalah orang pribadi) di setiap akhir periode masa pajak. Proses ini bertujuan untuk mencocokkan total Utang PPh yang tercatat dalam buku besar (general ledger) dengan jumlah PPh yang telah disetor dan dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa. Rekonsiliasi ini adalah praktik terbaik yang menunjukkan tanggung jawab dan profesionalisme perusahaan dalam mengelola kewajiban perpajakannya, meminimalkan risiko perbedaan data yang dapat memicu pemeriksaan.

Pertanyaan Populer Mengenai Jurnal dan Pajak Jasa Konsultasi

Q1. Apakah jasa konsultasi yang dibayar ke luar negeri tetap dipotong PPh?

Pembayaran jasa konsultasi yang diberikan oleh penyedia jasa di luar negeri (subjek pajak luar negeri) tetap dikenakan pemotongan pajak penghasilan di Indonesia. Berdasarkan peraturan perpajakan, transaksi ini termasuk dalam kategori PPh Pasal 26. Kami memiliki pengalaman luas dalam menangani transaksi internasional dan dapat mengonfirmasi bahwa tarif PPh Pasal 26 yang berlaku secara umum adalah 20% dari penghasilan bruto.

Namun, demi memastikan keakuratan dan kredibilitas, penting untuk dicatat bahwa tarif ini dapat berubah secara signifikan jika antara Indonesia dan negara domisili konsultan tersebut memiliki Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atau P3B) yang berlaku. P3B bertujuan untuk mencegah pengenaan pajak berganda dan sering kali menurunkan tarif pemotongan yang dipungut di Indonesia. Oleh karena itu, langkah pertama yang wajib dilakukan adalah memverifikasi keberlakuan dan isi P3B untuk menentukan tarif pemotongan yang benar, serta memastikan adanya Certificate of Residence (CoR) yang sah dari konsultan asing tersebut.

Q2. Apa yang terjadi jika konsultan tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)?

Kepatuhan dalam pemotongan PPh Pasal 23 sangat bergantung pada informasi yang lengkap, termasuk kepemilikan NPWP oleh konsultan. Dalam panduan praktis kami, kami menekankan bahwa jika konsultan (baik badan maupun orang pribadi) yang menerima pembayaran jasa tidak dapat memberikan NPWP mereka kepada Anda sebagai pihak pemotong, maka Anda wajib mengenakan tarif pemotongan PPh Pasal 23 yang lebih tinggi.

Sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, khususnya pada ketentuan mengenai NPWP, tarif pemotongan pajak akan menjadi 100% lebih tinggi dari tarif normal yang ditetapkan. Karena tarif PPh Pasal 23 untuk jasa konsultasi adalah 2%, maka jika konsultan tidak memiliki NPWP, tarif yang harus Anda potong akan meningkat menjadi 4% (yaitu, $2% + (100% \times 2%)$). Pencatatan jurnal atas pemotongan ini harus mencerminkan jumlah pajak yang lebih besar, dan langkah ini sangat penting untuk menghindari sanksi dan koreksi fiskal.

Final Takeaways: Mastering Kepatuhan Jurnal Perpajakan Jasa Konsultasi

3 Langkah Kunci Jaminan Kepatuhan

Akurasi dalam menyusun jurnal untuk pembayaran jasa konsultasi dalam perpajakan adalah jaminan utama kepatuhan perusahaan Anda. Kesalahan kecil dalam pencatatan atau pemotongan pajak dapat memicu sanksi dan koreksi fiskal. Intinya, keberhasilan pembukuan ini bergantung pada pemahaman PPh Pasal 23 dan PPN, serta didukung oleh dokumentasi yang lengkap dan sah. Selama lebih dari satu dekade menangani klien di bidang perpajakan, kami telah mengamati bahwa perusahaan yang secara konsisten memastikan Verifikasi, Dokumentasi, dan Rekonsiliasi adalah yang paling jarang menghadapi masalah.

Tindak Lanjut Anda Berikutnya

Sebagai langkah tindak lanjut yang kritis, segera tinjau ulang semua transaksi jasa konsultasi Anda saat ini, terutama yang terjadi dalam tiga bulan terakhir. Pastikan bahwa Bukti Potong PPh serta Faktur Pajak dari konsultan telah dicatat dengan benar dan sah dalam pembukuan Anda. Langkah ini sangat penting untuk memastikan kepatuhan pajak sebelum masa pelaporan tahunan berakhir.

Jasa Pembayaran Online
💬