Jurnal PPh Pasal 23: Panduan Lengkap Pajak Dibayar di Muka
Memahami Jurnal PPh Pasal 23: Pajak Dibayar di Muka Atas Jasa
Apa itu PPh Pasal 23 dan Bagaimana Jurnalnya dalam Akuntansi?
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah mekanisme pemotongan pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan tertentu yang dibayarkan atau terutang oleh badan usaha di Indonesia kepada Wajib Pajak dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 sangat beragam, mencakup dividen, bunga, sewa, royalti, hadiah/penghargaan, dan yang paling sering ditemui dalam konteks bisnis operasional, yaitu jasa-jasa tertentu. Pemotongan ini bertujuan untuk memudahkan pengumpulan pajak di muka, mengurangi beban administrasi Wajib Pajak di akhir tahun.
Dalam pembukuan akuntansi pihak yang menerima penghasilan (Pemberi Jasa), jumlah PPh Pasal 23 yang telah dipotong oleh pihak lain (Penerima Jasa/Pemotong Pajak) tidak dicatat sebagai beban, melainkan sebagai aset. Aset ini dicatat dalam akun “Pajak Dibayar di Muka” atau sering juga disebut “Uang Muka Pajak Penghasilan.” Pencatatan ini dilakukan karena PPh 23 tersebut merupakan kredit pajak yang akan diperhitungkan atau dikreditkan untuk mengurangi total PPh terutang pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh di akhir periode fiskal.
Mengapa Pemahaman Ini Penting untuk Kepatuhan Fiskal Bisnis Anda
Memahami secara mendalam konsep dan jurnal PPh Pasal 23 ini adalah fundamental bagi setiap bisnis untuk memastikan kepatuhan fiskal (tax compliance) yang optimal. Kesalahan dalam mencatat PPh 23—baik sebagai pemotong maupun sebagai pihak yang dipotong—dapat mengakibatkan sanksi administrasi berupa denda atau koreksi fiskal saat dilakukan audit oleh otoritas pajak. Pemahaman yang akurat mengenai pencatatan PPh Pasal 23 sebagai Pajak Dibayar di Muka oleh penerima jasa memastikan bahwa perusahaan dapat mengkreditkan pajak yang telah dipotong tersebut sepenuhnya, mencegah terjadinya kerugian karena pajak ganda dan menunjukkan bahwa sistem pelaporan pajak perusahaan memiliki dasar yang kuat dan dapat diandalkan, sebuah pilar penting dari kredibilitas dan keahlian fiskal.
Dasar Hukum dan Konsep Kunci dalam Pemotongan PPh Pasal 23
Pemahaman yang komprehensif mengenai jurnal PPh Pasal 23 tidak bisa lepas dari dasar hukum yang melandasinya. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah mekanisme pemotongan yang bertujuan untuk mengamankan penerimaan pajak negara atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) selain penghasilan dari jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pengetahuan mendalam tentang ketentuan ini sangat krusial untuk memastikan kepatuhan pajak yang berkelanjutan.
Ketentuan Tarif dan Objek PPh Pasal 23: Fokus pada Jenis Jasa
PPh Pasal 23 dikenakan atas penghasilan berupa modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan. Secara spesifik untuk jasa, tarif pemotongan adalah 2% dari jumlah bruto. Namun, bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tarif yang dikenakan adalah 100% lebih tinggi, yaitu 4%. Ketentuan tarif ini diatur secara eksplisit dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015 dan perubahannya. Penggunaan tarif yang tepat adalah langkah awal menuju pelaporan yang akurat.
Untuk meminimalkan risiko koreksi fiskal, penting untuk selalu merujuk pada regulasi terbaru. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 23 dan PMK No. 141/PMK.03/2015 (dan perubahannya, seperti yang sering dimutakhirkan melalui Peraturan Dirjen Pajak), objek PPh Pasal 23 mencakup daftar lengkap jenis jasa. Jenis jasa ini sangat luas, mulai dari jasa konsultan, jasa manajemen, jasa akuntansi, hingga jasa sewa dan jasa teknik lainnya. Sebagai profesional akuntansi, kami menekankan bahwa Wajib Pajak harus merujuk pada daftar lengkap dalam PMK tersebut—yang mencakup 67 jenis jasa—untuk memastikan bahwa semua transaksi yang relevan telah dikenakan pemotongan yang sesuai. Kesalahan mengidentifikasi objek jasa dapat berakibat pada sanksi administrasi di kemudian hari.
Mekanisme Pemotongan: Siapa yang Wajib Memotong dan Kapan Saat Terutangnya
Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 23 adalah pihak pemberi penghasilan, atau yang disebut sebagai Pemotong Pajak. Pemotong Pajak ini meliputi badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pemotong wajib memotong PPh 23 pada saat yang disebut saat terutang. Berdasarkan ketentuan perpajakan, saat terutang PPh Pasal 23 adalah pada akhir bulan dilakukan pembayaran, disediakan untuk dibayarkan (misalnya, dividen telah diputuskan untuk dibagikan), atau jatuh tempo pembayaran (mana yang terjadi lebih dahulu). Dalam konteks akuntansi, ini sering disebut sebagai basis akrual. Bahkan jika pembayaran kas belum dilakukan, jika kewajiban untuk membayar telah diakui atau biaya telah terjadi (seperti pengakuan accrual basis untuk jasa), maka kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 telah timbul pada akhir bulan tersebut. Kehati-hatian dalam menentukan saat terutang ini sangat penting karena akan memengaruhi ketepatan waktu pelaporan dan penyetoran pajak, yang pada akhirnya memengaruhi kepatuhan fiskal perusahaan Anda.
Struktur Jurnal Akuntansi PPh 23 bagi Penerima Jasa (Pemotong Pajak)
Dalam transaksi jasa, pihak yang membayarkan atau terutang pembayaran kepada pemberi jasa (disebut Penerima Jasa) memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23. Peran ini menjadikan entitas tersebut sebagai pemotong pajak, dan ini menuntut pencatatan akuntansi yang cermat untuk mencerminkan kewajiban jangka pendek yang timbul sebelum penyetoran ke kas negara. Akuntabilitas ini sangat penting untuk kepatuhan fiskal dan memelihara integritas pelaporan keuangan.
Pencatatan Kewajiban Utang PPh Pasal 23 saat Pembayaran Jasa
Ketika Penerima Jasa membayar tagihan jasa, entitas tersebut tidak membayarkan seluruh nilai bruto tagihan kepada penyedia jasa. Sebagian dipotong untuk PPh Pasal 23. Bagian yang dipotong inilah yang dicatat sebagai kewajiban (utang) perusahaan kepada negara.
Jurnal standar untuk mencatat pemotongan PPh Pasal 23 ini melibatkan tiga akun utama:
- Debit Biaya Jasa: Mencatat total biaya bruto yang diakui.
- Kredit Utang PPh Pasal 23: Mencatat jumlah pajak yang dipotong (kewajiban kepada negara).
- Kredit Kas/Bank: Mencatat jumlah bersih yang dibayarkan kepada penyedia jasa.
Utang PPh Pasal 23 diklasifikasikan sebagai liabilitas jangka pendek karena harus dilunasi dengan menyetorkannya ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan terutangnya penghasilan. Pelaporan yang tepat waktu ini adalah indikator kunci dari kompetensi dan kredibilitas fungsi keuangan perusahaan.
Contoh Kasus: Sebuah perusahaan melakukan Pembayaran Jasa Konsultan sebesar Rp 10.000.000 (jumlah bruto, belum termasuk PPN). Karena jasa konsultan dikenakan tarif 2% (asumsi penyedia jasa memiliki NPWP), maka PPh 23 yang dipotong adalah: $$PPh \ 23 = Rp \ 10.000.000 \times 2% = Rp \ 200.000$$
Berdasarkan contoh di atas, jurnal yang harus dicatat oleh Penerima Jasa (Pemotong Pajak) pada saat pembayaran adalah:
| Tanggal | Nama Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|---|
| DD/MM/YYYY | Biaya Jasa Konsultan | 10.000.000 | |
| Utang PPh Pasal 23 | 200.000 | ||
| Kas / Bank | 9.800.000 | ||
| Keterangan: Mencatat pembayaran jasa konsultan dan pemotongan PPh 23. |
Jurnal Penyetoran PPh Pasal 23 ke Kas Negara (Pelunasan Utang Pajak)
Langkah selanjutnya adalah melunasi Utang PPh Pasal 23 yang telah dicatat. Penyetoran ini dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) dan harus dilakukan sebelum batas waktu yang ditentukan (tanggal 10 bulan berikutnya).
Pencatatan akuntansi saat penyetoran pajak ke kas negara bertujuan untuk menghapus liabilitas Utang PPh Pasal 23 yang telah diakui sebelumnya.
Jurnal untuk penyetoran Utang PPh Pasal 23 ke Kas Negara adalah:
| Tanggal | Nama Akun | Debit (Rp) | Kredit (Rp) |
|---|---|---|---|
| DD/MM/YYYY | Utang PPh Pasal 23 | 200.000 | |
| Kas / Bank | 200.000 | ||
| Keterangan: Mencatat penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara. |
Setelah penyetoran ini, saldo akun Utang PPh Pasal 23 akan menjadi nol, menandakan bahwa kewajiban pajak telah dipenuhi. Proses ini menunjukkan keandalan operasional perusahaan dalam mengelola kewajiban perpajakan dan memberikan dasar yang kuat untuk pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23.
Jurnal Pajak Dibayar di Muka PPh Pasal 23 bagi Pemberi Jasa (yang Dipotong)
Jika di bagian sebelumnya kita membahas perspektif akuntansi bagi pihak yang memotong (penerima jasa), kini kita beralih ke perspektif krusial dari pihak yang dipotong, yakni Pemberi Jasa. Dalam akuntansi Pemberi Jasa, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh klien dicatat bukan sebagai beban, melainkan sebagai aset yang disebut Pajak Dibayar di Muka atau Uang Muka Pajak Penghasilan. Pencatatan yang benar dan terstruktur dalam tahap ini sangat penting untuk memastikan bahwa perusahaan dapat mengkreditkan pajak tersebut di akhir tahun, sehingga mencegah terjadinya pajak berganda dan memaksimalkan kepatuhan perpajakan yang kredibel dan dapat diandalkan.
Mencatat Piutang ‘Pajak Dibayar di Muka’ Berdasarkan Bukti Potong
Pencatatan akuntansi PPh Pasal 23 sebagai Pajak Dibayar di Muka terjadi ketika perusahaan menerima pembayaran atas jasa yang telah dipotong PPh 23-nya. Ini adalah momen penting karena perusahaan tidak menerima nilai penuh dari tagihan, melainkan nilai bersih (neto).
Jurnal yang harus dibuat untuk mencatat transaksi ini adalah sebagai berikut: Debit Kas/Bank (sebesar uang yang diterima), Debit PPh Pasal 23 Dibayar di Muka (sebesar pajak yang dipotong), dan Kredit Pendapatan Jasa/Penjualan (sebesar nilai bruto tagihan).
$$\text{Kas/Bank (D)} + \text{PPh Pasal 23 Dibayar di Muka (D)} = \text{Pendapatan Jasa/Penjualan (K)}$$
Penting sekali bagi Pemberi Jasa untuk segera mencatat PPh Pasal 23 Dibayar di Muka hanya berdasarkan dokumen legal yang valid, yaitu Bukti Potong PPh Pasal 23. Berdasarkan pengalaman profesional kami, Bukti Potong ini adalah satu-satunya bukti sah yang diakui oleh otoritas pajak (Direktorat Jenderal Pajak) untuk mengkreditkan pajak yang telah dipotong. Tanpa Bukti Potong yang sah dan lengkap, pengakuan pajak yang telah dipotong di muka dapat ditolak saat pemeriksaan atau saat pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, yang berakibat pada koreksi fiskal yang merugikan perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus memiliki prosedur ketat untuk menagih dan memverifikasi Bukti Potong dari klien segera setelah pembayaran diterima, sebagai bagian dari proses akuntansi yang akurat dan berwibawa.
Implikasi Pencatatan ‘Pajak Dibayar di Muka’ pada Laporan Keuangan
Pencatatan PPh Pasal 23 sebagai Pajak Dibayar di Muka memiliki implikasi yang signifikan pada posisi keuangan perusahaan. Secara kategori, PPh Dibayar di Muka merupakan komponen dari Aset Lancar (Current Assets) di Neraca (Laporan Posisi Keuangan). Hal ini karena PPh yang telah dipotong tersebut merupakan hak perusahaan untuk diperhitungkan (dikreditkan) dalam waktu satu siklus akuntansi atau satu tahun buku.
Aset ini secara efektif akan mengurangi total kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan pada akhir tahun buku ketika perusahaan menyusun SPT Tahunan PPh Badan atau SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Tanpa pencatatan aset ini, laba yang dilaporkan di laporan laba rugi mungkin akan terlihat sama, namun PPh terutang akhir tahun akan menjadi lebih besar, yang secara substansial mengurangi kas bersih perusahaan. Pengelolaan aset ini dengan integritas dan keahlian yang terverifikasi memastikan bahwa perusahaan tidak membayar pajak lebih dari yang seharusnya, sehingga memelihara likuiditas dan transparansi laporan keuangan.
Contoh sederhana: jika total PPh Badan terutang adalah Rp 50.000.000 dan perusahaan telah memiliki PPh Pasal 23 Dibayar di Muka sebesar Rp 10.000.000, maka PPh yang masih harus disetor (PPh Pasal 29) hanya sebesar Rp 40.000.000. Ini menunjukkan peran vital akun Pajak Dibayar di Muka sebagai mekanisme kredit pajak.
Catatan: Pastikan Bukti Potong yang diterima sudah dilaporkan oleh pihak Pemotong (klien) melalui e-Bupot, karena validasi data adalah fondasi dari praktik perpajakan yang terpercaya.
Integrasi Pajak Dibayar di Muka PPh 23 dalam SPT Tahunan
Pencatatan PPh Pasal 23 sebagai “Pajak Dibayar di Muka” atau Prepaid Tax di neraca perusahaan bukanlah akhir dari proses akuntansi. Tahap kritis selanjutnya adalah mengintegrasikan saldo aset lancar ini ke dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, baik untuk Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi, untuk mengoptimalkan kewajiban pajak. Tanpa langkah ini, pajak yang telah dipotong oleh pihak lain tidak akan diakui oleh otoritas pajak, yang berpotensi menyebabkan kerugian akibat pembayaran pajak berganda.
Mekanisme Kredit Pajak: Mengurangi Kewajiban PPh Tahunan
PPh Pasal 23 yang telah dibayar di muka—atau lebih tepatnya, yang telah dipotong oleh pihak lain—memainkan peran vital sebagai kredit pajak. Kredit pajak ini secara fungsional bekerja untuk mengurangi total PPh terutang perusahaan atau individu pada akhir tahun buku. Mekanisme ini memastikan bahwa Wajib Pajak hanya membayar selisihnya, yaitu PPh terutang dikurangi PPh yang telah dipotong (PPh Pasal 23 dan Pasal 22).
Misalnya, jika berdasarkan perhitungan akuntansi dan fiskal di akhir tahun, total PPh Badan terutang adalah Rp 50.000.000, dan perusahaan memiliki saldo PPh Pasal 23 Dibayar di Muka sebesar Rp 5.000.000, maka perusahaan hanya perlu menyetor sisa PPh Terutang, yang dalam hal ini adalah Rp 45.000.000. Dalam konteks pelaporan pajak, kredit pajak ini memiliki nilai kepatuhan dan validitas yang tinggi. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-20/PJ/2009, perusahaan wajib melampirkan Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 pada Lampiran Khusus Kredit Pajak Dalam Negeri SPT Tahunan PPh Badan (Formulir 1771-III). Kehadiran bukti potong yang valid di lampiran ini adalah satu-satunya cara otoritas pajak mengakui hak Wajib Pajak untuk mengkreditkan jumlah tersebut.
Tips Pengelolaan Bukti Potong Agar Tidak Terjadi Koreksi Fiskal
Kunci utama agar Pajak Dibayar di Muka PPh Pasal 23 dapat diakui sepenuhnya dan menghindari koreksi fiskal yang merugikan adalah melalui pengelolaan dokumen yang rapi dan proses rekonsiliasi yang ketat.
1. Verifikasi dan Penyimpanan Dokumen:
Setiap Bukti Potong PPh Pasal 23 yang diterima harus segera diverifikasi keabsahannya, mencakup nama dan NPWP Pemotong Pajak, masa pajak, dan nilai yang dipotong. Simpan dokumen-dokumen ini secara sistematis, baik dalam format fisik maupun digital, diorganisasi berdasarkan bulan atau nomor urut. Ingatlah bahwa Bukti Potong tersebut adalah bukti hukum tunggal atas klaim kredit pajak Anda.
2. Rekonsiliasi Buku Besar dengan Bukti Potong:
Sebagai saran praktis dan langkah krusial dalam manajemen pajak yang akuntabel, lakukan rekonsiliasi berkala—idealnya setiap bulan atau kuartal—antara total saldo akun PPh Pasal 23 Dibayar di Muka di buku besar perusahaan Anda dengan total nilai seluruh Bukti Potong yang telah diterima.
- Tujuan Rekonsiliasi: Memastikan bahwa setiap entri debit di akun buku besar PPh Dibayar di Muka (yang dicatat saat transaksi) telah didukung oleh Bukti Potong yang sesuai dan sah.
- Aksi Korektif: Jika terdapat selisih (misalnya, nilai di buku besar lebih tinggi), berarti ada Bukti Potong yang belum diterima. Segera tindak lanjuti dan minta Bukti Potong tersebut kepada Pemotong Pajak. Jika selisihnya tidak dapat diselesaikan, koreksi akuntansi mungkin diperlukan untuk menghapus ‘piutang’ PPh yang tidak memiliki bukti sah.
Proses rekonsiliasi ini tidak hanya membantu mempersiapkan data SPT Tahunan, tetapi juga menunjukkan komitmen dan keahlian (expertise) perusahaan dalam kepatuhan perpajakan, yang sangat dihargai dalam audit. Pengelolaan yang tertib ini akan meminimalkan risiko keraguan atau koreksi oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat mengaudit SPT Tahunan Anda.
Pertanyaan Umum dan Solusi Praktis Seputar PPh 23
Q1. Apakah Jasa Sewa Kendaraan Dikenakan PPh 23 atau PPh Final?
Perbedaan pengenaan pajak pada transaksi sewa, khususnya sewa kendaraan, seringkali menjadi sumber kebingungan. Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, Jasa Sewa Kendaraan yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dari nilai bruto sewa (kecuali jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP, maka tarifnya menjadi 4%).
Penting untuk dicatat bahwa PPh Final (biasanya Pasal 4 ayat (2)) hanya dikenakan atas penghasilan tertentu, salah satunya adalah penghasilan dari sewa atas tanah dan/atau bangunan. Karena kendaraan bukan merupakan tanah atau bangunan, ia tidak termasuk dalam kategori PPh Final. Oleh karena itu, bagi entitas yang menyewa kendaraan, kewajiban pemotongan yang berlaku adalah PPh Pasal 23. Perluasan pengetahuan ini adalah bagian integral dari manajemen risiko pajak yang baik dan menunjukkan pemahaman mendalam atas kepatuhan fiskal.
Q2. Bagaimana Jurnal PPh 23 jika Transaksi Jasa Sudah Termasuk PPN?
Ketika sebuah transaksi jasa mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN), penentuan Dasar Pengenaan PPh Pasal 23 menjadi sangat krusial. Sesuai dengan ketentuan perpajakan, PPh Pasal 23 dipotong dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau yang sering disebut sebagai jumlah bruto penghasilan, bukan dari total tagihan yang sudah termasuk PPN.
Sebagai contoh ilustratif:
- Nilai Jasa Bruto (DPP): Rp10.000.000
- PPN 11%: Rp1.100.000
- Total Tagihan: Rp11.100.000
PPh Pasal 23 (2%) dihitung dari Nilai Jasa Bruto (DPP) $Rp10.000.000 \times 2% = Rp200.000$.
Jurnal bagi Penerima Jasa (Pemotong Pajak):
| Akun | Debit | Kredit |
|---|---|---|
| Biaya Jasa | Rp10.000.000 | |
| PPN Masukan | Rp1.100.000 | |
| Utang PPh Pasal 23 | Rp200.000 | |
| Kas/Bank | Rp10.900.000 |
Jurnal bagi Pemberi Jasa (yang Dipotong):
| Akun | Debit | Kredit |
|---|---|---|
| Kas/Bank | Rp10.900.000 | |
| PPh Pasal 23 Dibayar di Muka | Rp200.000 | |
| Pendapatan Jasa | Rp10.000.000 | |
| Utang PPN | Rp1.100.000 |
Pemahaman bahwa PPh 23 harus dihitung dari DPP/jumlah bruto, dan bukan dari total tagihan (termasuk PPN), adalah praktik akuntansi yang tepat dan sesuai standar perpajakan. Kesalahan dalam basis perhitungan ini dapat memicu koreksi fiskal. Hal ini membuktikan pentingnya pengalaman dan ketelitian dalam mencatat jurnal perpajakan.
Final Takeaways: Menguasai Jurnal Pajak Dibayar di Muka PPh 23
Tiga Langkah Kritis untuk Memastikan Pencatatan PPh 23 yang Akurat
Memahami dan menerapkan perlakuan akuntansi untuk jurnal pajak dibayar di muka PPh 23 atas jasa sangat penting bagi kesehatan fiskal perusahaan Anda. Pencatatan PPh Pasal 23 yang tepat sebagai aset lancar, yaitu ‘Pajak Dibayar di Muka’, adalah kunci utama untuk menghindari pengenaan pajak berganda atas penghasilan yang sama dan secara efektif memaksimalkan efisiensi kredit pajak tahunan Anda. Akuntan profesional harus memastikan bahwa setiap transaksi dicatat dengan benar pada saat penerimaan penghasilan, yang mencakup Kas/Bank, Debit PPh Pasal 23 Dibayar di Muka, dan Kredit Pendapatan.
Langkah Selanjutnya dalam Optimalisasi Manajemen Pajak Anda
Setelah Anda menguasai proses pencatatan jurnal, langkah selanjutnya adalah memastikan kepatuhan pelaporan. Salah satu praktik terbaik yang harus dilakukan secara rutin adalah audit internal atas seluruh Bukti Potong PPh Pasal 23 yang telah diterima dari para pelanggan. Pastikan bahwa total nilai yang tercatat sebagai ‘Pajak Dibayar di Muka’ di buku besar Anda sesuai (rekonsiliasi) dengan total nilai pada Bukti Potong yang sah. Langkah ini krusial untuk memastikan bahwa Bukti Potong tersebut dapat diakui dan dilaporkan secara valid dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa maupun SPT Tahunan perusahaan Anda.