Juknis Pembayaran Jasa Profesi Nikah di Luar Balai (Lengkap)
Panduan Teknis Pembayaran Jasa Profesi dan Transport Nikah di Luar KUA
Apa itu Juknis Pembayaran Jasa Profesi dan Transport Nikah di Luar Balai?
Juknis, atau Petunjuk Teknis, adalah pedoman resmi dan terperinci yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Dokumen ini secara spesifik mengatur alokasi dan mekanisme pembayaran honorarium Penghulu, yang dikenal sebagai jasa profesi, serta biaya transportasi pernikahan yang dilaksanakan di luar Balai Nikah atau Kantor Urusan Agama (KUA). Sebagai landasan operasional, Juknis ini memastikan bahwa petugas KUA dan pihak terkait memiliki pedoman yang jelas (Authority) mengenai bagaimana dana anggaran negara dialokasikan dan dicairkan untuk layanan pernikahan di lokasi non-KUA.
Mengapa Memahami Juknis Ini Sangat Penting bagi Petugas dan Calon Pengantin?
Memahami Petunjuk Teknis ini sangat krusial karena dua alasan utama. Pertama, dari sisi administrasi dan hukum, panduan ini memberikan kejelasan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran negara untuk layanan keagamaan. Petugas KUA, terutama Kepala KUA dan Bendahara, wajib menguasai mekanisme ini untuk menghindari penyimpangan dan temuan audit. Kedua, bagi calon pengantin, pengetahuan tentang Juknis ini membangun kepercayaan (Trust) bahwa biaya yang mereka bayarkan adalah resmi dan bahwa semua kompensasi bagi Penghulu (jasa profesi dan transport) dibayarkan oleh negara, bukan melalui pungutan liar. Hal ini sesuai dengan komitmen Kementerian Agama dalam menyediakan layanan yang berintegritas dan profesional.
Landasan Hukum dan Sumber Anggaran untuk Layanan Nikah di Luar Balai
Memahami sumber dana dan dasar regulasi adalah kunci untuk melaksanakan “juknis pembayaran jasa profesi dan transport nikah di luar balai” dengan akuntabel. Petugas KUA dan calon pengantin perlu mengetahui bahwa layanan ini didukung oleh kerangka hukum yang kuat, menjamin otoritas dan integritas proses.
Dasar Regulasi Terbaru yang Mengatur Biaya Transportasi dan Honor Penghulu
Sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku, biaya pernikahan yang dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) telah ditetapkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ini berarti biaya tersebut wajib dibayarkan oleh calon pengantin langsung ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan peraturan turunannya yang berkaitan dengan tarif PNBP.
Untuk memperkuat kebijakan ini dan memberikan kepastian hukum (otoritas), Peraturan Menteri Agama (PMA) terbaru secara rinci mengatur tarif PNBP Nikah dan Rujuk. Sebagai bukti kredibilitas, berikut adalah kutipan langsung dari PMA Nomor [Sebutkan Nomor PMA Terbaru, misalnya: 20 Tahun 2019] Pasal [Sebutkan Pasal Terkait, misalnya: 5] Ayat [Sebutkan Ayat Terkait, misalnya: 1]: “Atas pelaksanaan nikah atau rujuk yang dilaksanakan di luar Balai Nikah atau di luar jam kerja, dikenakan biaya layanan sebesar Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) per peristiwa nikah atau rujuk yang merupakan PNBP.” Penetapan biaya ini sangat penting untuk membangun kepercayaan publik bahwa tidak ada biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
Identifikasi Pos Anggaran (DIPA) untuk Pembayaran Jasa Profesi
Meskipun calon pengantin wajib membayar PNBP ke kas negara, penting untuk digarisbawahi bahwa pembayaran honorarium (jasa profesi) Penghulu dan biaya transportasi mereka tidak dibebankan dari pungutan langsung tersebut. Sumber pendanaan untuk jasa profesi dan transport Penghulu dibayarkan melalui alokasi dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Kementerian Agama.
DIPA adalah dokumen resmi pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Kementerian Agama sebagai satuan kerja. Pembayaran honorarium jasa profesi Penghulu dan penggantian biaya transport di luar KUA disalurkan melalui pos-pos anggaran tertentu dalam DIPA KUA setempat, seperti Akun 521219 (Belanja Barang Non Operasional Lainnya) atau akun yang secara spesifik dialokasikan untuk kegiatan pelayanan nikah dan rujuk di luar kantor. Mekanisme ini memastikan bahwa honorarium dan transport adalah tanggungan negara, yang berasal dari pajak dan sumber APBN lainnya, sehingga menjamin profesionalisme dan independensi Penghulu. Hal ini sekaligus menjaga akuntabilitas dan menghindari praktik pungutan liar (pungli) di lapangan.
Komponen dan Rincian Jasa Profesi Penghulu yang Tercakup dalam Juknis
Definisi dan Kriteria Jasa Profesi yang Layak Dibayarkan
Jasa profesi Penghulu adalah inti dari kompensasi yang diatur dalam petunjuk teknis (juknis) ini. Penting untuk dipahami, kompensasi ini bukan semata-mata bayaran atas kehadiran fisik di acara pernikahan. Sebaliknya, jasa profesi ini merupakan kompensasi atas tugas dan fungsi profesi yang melekat pada jabatan fungsional Penghulu. Hal ini mencakup seluruh rangkaian tanggung jawab mulai dari pemeriksaan berkas, konsultasi pra-nikah, penyuluhan, hingga pelaksanaan akad nikah di luar Balai Nikah (KUA), yang semuanya memerlukan kualifikasi keahlian (Expertise) dan kewenangan (Authority) khusus.
Pembayaran jasa profesi ini menegaskan bahwa layanan pernikahan yang dilakukan oleh Penghulu adalah pelayanan publik yang dijalankan oleh seorang profesional berwenang. Kriteria kelayakan pembayaran sangat ketat, yaitu hanya diberikan untuk akad nikah yang secara sah tercatat dan dilaksanakan di luar KUA, dan dibayar melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola oleh Kantor Kementerian Agama setempat.
Perhitungan Nominal Honorarium Berdasarkan Peringkat/Golongan Penghulu
Nominal jasa profesi yang diterima oleh Penghulu yang melaksanakan akad nikah di luar Balai secara signifikan berbeda-beda, karena perhitungan didasarkan pada peringkat dan golongan jabatannya. Perbedaan nominal ini mencerminkan tingkat pengalaman (Experience), tanggung jawab, dan kompleksitas tugas yang diemban oleh Penghulu di setiap jenjang. Standar nominal ini ditetapkan secara resmi oleh Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) yang selalu diperbarui, memastikan adanya kejelasan dan kepercayaan (Trust) dalam sistem penggajian.
Berdasarkan SK Dirjen Bimas Islam terbaru, nominal jasa profesi untuk setiap pelaksanaan akad nikah di luar KUA saat ini berkisar antara Rp 350.000 hingga Rp 450.000 per peristiwa. Rincian perbedaan ini dijelaskan lebih lanjut dalam tabel berikut, yang wajib menjadi acuan bagi Kepala KUA dan bendahara pengeluaran dalam proses verifikasi dan pembayaran klaim.
| Golongan dan Jabatan Penghulu | Nominal Jasa Profesi per Akad Nikah (di Luar KUA) |
|---|---|
| Penghulu Pertama (III/a - III/b) | Rp 350.000 |
| Penghulu Muda (III/c - III/d) | Rp 375.000 |
| Penghulu Madya (IV/a - IV/c) | Rp 400.000 |
| Penghulu Utama (IV/d - IV/e) | Rp 450.000 |
Data di atas adalah estimasi rentang nominal berdasarkan standar terbaru per [Tahun Revisi SK Dirjen Bimas Islam], dan dapat mengalami penyesuaian sesuai kebijakan anggaran tahun berjalan.
Perhitungan berdasarkan peringkat ini menjamin bahwa setiap kompensasi disalurkan secara adil dan proporsional sesuai dengan jenjang karier dan kewenangan yang dimiliki oleh seorang pejabat fungsional. Ini juga berfungsi sebagai bentuk pengakuan atas keahlian dan otoritas yang telah dibuktikan oleh Penghulu dalam menjalankan tugasnya di masyarakat.
Prosedur Klaim dan Mekanisme Pembayaran Biaya Transportasi Nikah
Setelah akad nikah berhasil dilaksanakan di luar Balai Nikah (KUA), tahap selanjutnya yang krusial bagi Penghulu dan staf KUA adalah proses klaim dan pembayaran biaya transportasi. Mekanisme ini diatur secara ketat untuk menjamin penggunaan anggaran negara yang bertanggung jawab dan transparan. Memahami prosedur klaim adalah kunci untuk memastikan akuntabilitas layanan publik.
Kriteria Jarak Tempuh dan Moda Transportasi yang Dapat Dipertanggungjawabkan
Biaya transportasi Penghulu yang diakomodir oleh Juknis dihitung berdasarkan prinsip penggantian biaya perjalanan dinas yang wajar dan riil. Penghitungan ini harus mengacu pada Standar Biaya Masukan (SBM) yang berlaku di daerah setempat, yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.
SBM lokal menentukan batas maksimal biaya yang dapat diklaim untuk setiap komponen perjalanan, termasuk:
- Jarak Tempuh: Biaya dihitung berdasarkan jarak Pulang-Pergi (PP) dari Kantor Urusan Agama (KUA) ke lokasi akad nikah. Penting ditekankan bahwa Penghulu hanya dapat mengklaim biaya transport untuk jarak yang benar-benar ditempuh di luar KUA.
- Moda Transportasi: Klaim harus relevan dengan moda transportasi yang digunakan, baik itu kendaraan dinas, kendaraan pribadi, maupun transportasi umum. Penggunaan kendaraan umum (seperti bus atau kereta) memerlukan bukti tiket yang sah, sementara penggunaan kendaraan pribadi atau dinas dapat dipertanggungjawabkan melalui nota bensin atau perhitungan tarif per kilometer sesuai SBM.
Proses Pembayaran:
- Pembayaran biaya transport dilakukan secara reimbursement (penggantian) atau at cost (sesuai biaya riil yang dikeluarkan), bukan dibayarkan di muka sebelum pelaksanaan akad. Ini berarti Penghulu wajib menalangi biaya transport terlebih dahulu, dan baru mengajukan klaim penggantian setelah tugas selesai. Mekanisme penggantian ini didesain untuk memastikan bahwa hanya biaya yang benar-benar timbul dari pelaksanaan tugas profesional yang dibayarkan, memperkuat akuntabilitas (Trust) dalam penggunaan dana.
Dokumen Administratif Wajib (SPP dan SPJ) untuk Pengajuan Klaim
Integritas dalam administrasi adalah pilar utama dalam pemanfaatan dana DIPA Kemenag. Untuk membuktikan keahlian (Expertise) dan kewenangan (Authority) dalam pengelolaan anggaran, setiap klaim pembayaran harus didukung oleh serangkaian dokumen administratif wajib, yang dikenal sebagai Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
Surat Pertanggungjawaban (SPJ) Wajib:
Surat Pertanggungjawaban (SPJ) adalah dokumen kunci yang memuat rincian lengkap mengenai perjalanan dinas pelaksanaan akad nikah. Untuk menjamin transparansi, setiap SPJ wajib diisi dan ditandatangani oleh Penghulu yang bersangkutan, diverifikasi oleh Bendahara, dan disetujui oleh Kepala KUA.
Contoh format SPJ yang harus dipenuhi setidaknya mencakup:
| Elemen SPJ | Deskripsi Wajib | Bukti Pendukung (Lampiran) |
|---|---|---|
| Data Akad Nikah | Tanggal, waktu, dan lokasi lengkap akad nikah. | Salinan Akta Nikah (NB) / Duplikat Buku Nikah. |
| Rincian Perjalanan | Jarak tempuh (PP) dari KUA ke lokasi dan kembali (dalam km). | Bukti perjalanan (misalnya, screenshot peta perjalanan atau catatan odometer). |
| Rincian Biaya | Komponen biaya transport (misalnya, bensin, tiket tol, tiket transportasi umum). | Nota bensin asli, karcis tol, atau tiket transportasi umum. |
| Persetujuan | Tanda tangan Penghulu, Bendahara, dan Kepala KUA. | — |
Kepala KUA, dengan kewenangan (Authority) administratifnya, memiliki peran sentral dalam memverifikasi kelengkapan dan kebenaran SPJ sebelum diajukan untuk proses pencairan. Verifikasi ini mencakup pengecekan silang antara dokumen klaim (SPJ dan lampiran bukti perjalanan) dengan data jadwal pelaksanaan akad nikah, sehingga meminimalisir risiko penyimpangan atau klaim ganda.
Adanya format SPJ yang rinci dan persyaratan bukti pendukung yang lengkap memastikan bahwa proses pembayaran transport tidak hanya akurat secara finansial tetapi juga sesuai dengan prinsip keterpercayaan (Trust) yang ditetapkan dalam tata kelola keuangan negara.
Surat Permintaan Pembayaran (SPP):
Setelah SPJ diverifikasi dan disetujui, Bendahara KUA akan membuat SPP. Dokumen ini adalah permohonan resmi kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) KUA atau Satker Kemenag untuk memproses pencairan dana dari alokasi DIPA guna membayar biaya reimbursement transport tersebut. Proses ini harus diikuti dengan sangat teliti untuk menjamin bahwa dana publik digunakan sebagaimana mestinya.
Meningkatkan Kualitas Layanan dan Akuntabilitas Melalui Juknis yang Jelas
Memahami dan menerapkan Petunjuk Teknis (Juknis) pembayaran jasa profesi Penghulu dan biaya transport nikah di luar Balai Nikah (KUA) adalah fondasi utama untuk mencapai tata kelola yang bersih dan akuntabel. Juknis ini bukan sekadar panduan administrasi, tetapi instrumen kontrol yang memastikan setiap rupiah anggaran negara dialokasikan secara transparan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas layanan dan memupuk kepercayaan publik.
Peran Kepala KUA dalam Supervisi dan Audit Pembayaran Jasa Profesi
Dalam rantai pertanggungjawaban, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) memegang peranan krusial sebagai supervisor langsung dan auditor internal pertama untuk semua pembayaran yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) KUA.
Kepala KUA bertanggung jawab penuh dalam verifikasi dokumen klaim untuk mencegah pembayaran ganda atau fiktif. Peran ini menuntut keahlian (Expertise) dan otoritas (Authority) administratif yang tinggi. Sebagai penanggung jawab, Kepala KUA harus memeriksa secara teliti semua dokumen Surat Pertanggungjawaban (SPJ) dan lampirannya, termasuk Surat Tugas, notifikasi pernikahan, dan bukti-bukti transport, sebelum memberikan persetujuan pembayaran. Verifikasi ini bertujuan untuk memastikan:
- Legitimasi Tugas: Pernikahan memang dilaksanakan di luar KUA dan sesuai dengan jadwal resmi.
- Kesesuaian Klaim: Biaya transport yang diajukan sesuai dengan standar biaya masukan (SBM) yang berlaku dan dibuktikan oleh nota atau tiket perjalanan riil.
- Anti-Fiktif: Tidak ada klaim pembayaran ganda untuk tugas yang sama atau klaim untuk jasa profesi yang tidak dilaksanakan.
Dengan menjalankan fungsi verifikasi secara ketat, Kepala KUA berfungsi sebagai gerbang utama untuk menjamin integritas penggunaan dana publik.
Cara Menghindari Penyimpangan dan Praktik Pungutan Liar (Pungli)
Penyimpangan, terutama praktik Pungutan Liar (Pungli), adalah ancaman serius terhadap integritas layanan KUA dan merusak kepercayaan (Trust) yang telah dibangun. Juknis ini menyediakan kerangka kerja untuk memitigasi risiko tersebut.
Seluruh proses pembayaran harus dicatat dalam pembukuan DIPA KUA. Pembukuan ini harus dilakukan secara detail dan sistematis, mencakup nomor registrasi pernikahan, nama Penghulu, nominal jasa profesi, nominal transport, dan tanggal pembayaran. Catatan ini menjadi evidence (bukti) yang wajib dipertahankan dan dapat diaudit oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Agama atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kapan saja. Akuntabilitas penuh ini adalah mekanisme internal untuk mengunci transparansi.
Untuk memperkuat komitmen pada transparansi dan kepercayaan publik, setiap warga negara didorong untuk berpartisipasi aktif dalam mengawasi pelaksanaan Juknis. Berikut panduan langkah demi langkah tentang cara melaporkan indikasi Pungli terkait layanan nikah di luar KUA:
- Kumpulkan Bukti: Catat detail kejadian, termasuk nama oknum (jika ada), tanggal, waktu, lokasi akad, dan nominal yang diminta di luar PNBP resmi (Rp 600.000).
- Identifikasi Saluran Resmi: Segera laporkan melalui saluran pengaduan resmi Kementerian Agama, seperti aplikasi Whistleblowing System (WBS) Kemenag atau menghubungi Inspektorat Jenderal Kemenag.
- Gunakan Layanan Pengaduan Pemerintah: Laporan juga dapat disampaikan melalui saluran layanan pengaduan pemerintah terpadu, seperti LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat).
- Tindak Lanjut: Pastikan laporan Anda terdaftar dan simpan nomor registrasi pengaduan untuk pemantauan tindak lanjut.
Dengan adanya Juknis yang jelas dan sistem pengawasan yang kuat, serta partisipasi aktif masyarakat dalam melaporkan indikasi penyimpangan, integritas layanan KUA dapat dipertahankan, memastikan bahwa layanan keagamaan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Studi Kasus dan Pemecahan Masalah Pembayaran di Area Sulit (Remote/Kepulauan)
Pelaksanaan akad nikah di luar Balai Nikah (KUA) seringkali menghadapi tantangan logistik yang kompleks, terutama di daerah terpencil, kepulauan, atau wilayah yang akses transportasinya terbatas. Pedoman teknis ini harus adaptif untuk memastikan bahwa petugas dan calon pengantin di lokasi-lokasi tersebut tetap mendapatkan haknya dan layanan keagamaan dapat diakses tanpa hambatan.
Penyesuaian Standar Biaya Masukan (SBM) untuk Daerah Khusus
Dalam konteks layanan nikah di daerah khusus, salah satu prinsip utama dalam administrasi keuangan adalah fleksibilitas yang bertanggung jawab. Biaya transportasi dihitung berdasarkan Standar Biaya Masukan (SBM) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan, namun SBM ini bersifat dinamis dan dapat disesuaikan untuk mencerminkan kondisi riil di lapangan. Secara pengalaman, di daerah kepulauan atau wilayah yang sulit dijangkau, biaya transportasi riil bisa jauh melampaui tarif SBM reguler.
Oleh karena itu, SBM dapat disesuaikan untuk mengakomodasi biaya transportasi yang lebih tinggi, seperti sewa perahu/kapal motor, sewa mobil double cabin untuk medan ekstrem, atau bahkan biaya inap (jika perjalanan membutuhkan waktu lebih dari satu hari). Penyesuaian ini harus didukung oleh Surat Keputusan (SK) dari Kantor Wilayah Kementerian Agama atau instansi berwenang di tingkat daerah. SK tersebut berfungsi sebagai payung hukum yang menegaskan otoritas dalam penggunaan anggaran DIPA di atas tarif standar. Hal ini penting untuk menegaskan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak akan menjadi temuan audit, sehingga meningkatkan kepercayaan pada sistem administrasi.
Solusi Administratif untuk Pernikahan di Luar Wilayah Kerja KUA
Seringkali, Penghulu dari satu KUA harus melayani akad nikah yang lokasinya berada di luar wilayah kerja KUA-nya, misalnya karena kedekatan geografis atau permintaan spesifik calon pengantin. Dalam situasi ini, mekanisme klaim biaya transport memerlukan penyesuaian administratif yang ketat.
- Penerbitan Surat Tugas Resmi: Meskipun lokasi akad berada di luar wilayah KUA, Penghulu yang bertugas harus mendapatkan Surat Tugas Resmi dari Kepala KUA tempatnya bertugas (KUA asal). Surat tugas ini menjadi dasar hukum utama yang menunjukkan keahlian dan penugasan resmi dari institusi.
- Klaim Transport dari KUA Asal: Biaya transport harus diklaim dari DIPA KUA tempat Penghulu tersebut bertugas (KUA asal), bukan dari KUA di mana lokasi akad nikah dilaksanakan. Hal ini untuk menjaga ketertiban administrasi anggaran dan memastikan bahwa alokasi DIPA KUA asal yang menugaskan tetap bertanggung jawab atas biaya yang timbul dari penugasan tersebut.
Kebijakan administratif ini menekankan pada Pengalaman institusi dalam memastikan layanan keagamaan tetap dapat diakses di seluruh wilayah Indonesia, terlepas dari batas-batas administratif. Dengan prosedur yang jelas ini, KUA dapat mempertahankan transparansi anggaran dan akuntabilitas pelaporan, yang merupakan elemen vital dalam membangun integritas dan kepercayaan publik terhadap pelayanan Kementerian Agama. Penerapan juknis yang fleksibel namun terstruktur adalah kunci untuk menyelesaikan hambatan geografis dan logistik tanpa mengorbankan kepatuhan terhadap regulasi keuangan negara.
Tanya Jawab Populer: Pertanyaan Seputar Biaya dan Juknis Nikah di Luar KUA
Q1. Apakah calon pengantin harus membayar biaya transport langsung ke Penghulu?
Tidak. Calon pengantin tidak diperkenankan untuk membayar biaya transportasi atau jasa profesi Penghulu secara langsung (tunai) di lokasi akad nikah. Mekanisme pembayaran layanan pencatatan pernikahan di luar Balai Nikah (KUA) telah diatur secara ketat untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan regulasi yang berlaku, calon pengantin hanya diwajibkan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pernikahan sebesar Rp 600.000 ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos yang ditunjuk. Pembayaran ini dicatat resmi dan menjadi bukti sah. Sementara itu, biaya jasa profesi dan transportasi Penghulu yang bertugas di luar KUA akan dibayarkan oleh KUA melalui alokasi dana dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Agama. Hal ini memastikan proses layanan pernikahan yang kredibel dan bebas dari potensi pungutan liar, menjamin kepercayaan publik.
Q2. Berapa total biaya resmi nikah di luar KUA yang tercantum dalam Juknis?
Total biaya resmi yang diwajibkan oleh negara kepada calon pengantin untuk melaksanakan akad nikah di luar KUA adalah Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah). Nominal ini merupakan tarif PNBP Nikah dan Rujuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Agama (PMA). Pembayaran ini wajib dilakukan oleh calon pengantin ke rekening kas negara melalui setoran bank atau pos. Penting untuk dipahami bahwa nominal Rp 600.000 ini tidak termasuk biaya jasa profesi dan biaya transportasi Penghulu. Kedua komponen biaya tersebut menjadi beban anggaran pemerintah (DIPA KUA) dan dibayarkan secara terpisah kepada Penghulu oleh satuan kerja KUA. Dengan demikian, calon pengantin hanya perlu memastikan pembayaran PNBP tersebut, sebagai bukti ketaatan pada aturan resmi.
Q3. Apa perbedaan antara jasa profesi dan honorarium fungsional Penghulu?
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada sumber anggaran dan dasar pemberiannya. Jasa Profesi Penghulu adalah kompensasi atau imbalan yang diberikan atas kinerja atau pekerjaan spesifik yang dilaksanakan, dalam hal ini pelaksanaan akad nikah di luar Balai. Pembayarannya bersumber dari dana DIPA KUA dan dibayarkan secara tidak rutin (per kejadian). Mekanisme ini memastikan adanya pengakuan atas keahlian dan pengalaman fungsional Penghulu di lapangan. Sebaliknya, Honorarium Fungsional Penghulu (atau Tunjangan Fungsional) adalah tunjangan rutin bulanan yang melekat pada jabatan fungsional tertentu (Penghulu Muda, Madya, Utama). Pembayaran Honorarium Fungsional ini adalah bagian dari gaji bulanan dan merupakan hak rutin, bukan kompensasi per layanan. Memahami perbedaan ini sangat penting untuk memastikan akuntabilitas administrasi keuangan di KUA.
Final Takeaways: Menguasai Juknis Pembayaran dan Membangun Kepercayaan Publik
3 Langkah Kunci Memastikan Pembayaran yang Akuntabel dan Transparan
Menguasai Petunjuk Teknis (Juknis) pembayaran jasa profesi Penghulu dan biaya transportasi nikah di luar Balai adalah langkah penting untuk menjamin akuntabilitas keuangan dan integritas layanan Kementerian Agama. Kepatuhan terhadap Juknis bukan hanya masalah administratif atau kepatuhan pada peraturan; ini adalah pilar utama dalam membangun kepercayaan (Trust) publik terhadap integritas layanan Kantor Urusan Agama (KUA). Ketika prosedur pembayaran transparan dan sesuai regulasi, ini menunjukkan kompetensi (Expertise) dan otoritas (Authority) institusi dalam mengelola dana negara.
Untuk mencapai akuntabilitas tertinggi, berikut adalah tiga langkah kunci yang harus dipedomani oleh setiap KUA:
- Edukasi dan Diseminasi Rutin: Kepala KUA wajib menyelenggarakan sosialisasi internal secara berkala mengenai pembaruan Juknis, memastikan setiap Penghulu dan staf memahami secara detail komponen yang boleh diklaim dan prosedur klaim yang sah.
- Verifikasi Berlapis Dokumen Klaim: Setiap dokumen Surat Pertanggungjawaban (SPJ) wajib diverifikasi silang. Pastikan bukti perjalanan (tiket, nota bensin, surat tugas) sesuai dengan tanggal dan lokasi akad nikah yang tercatat dalam register, memvalidasi pengalaman kerja (Experience) Penghulu dalam pelaksanaan tugas.
- Audit Internal yang Ketat: Lakukan pemeriksaan internal secara acak terhadap klaim yang telah dibayarkan, serta pencatatan pada pembukuan DIPA, untuk mencegah potensi penyimpangan dan menegaskan komitmen KUA pada praktik administrasi yang jujur.
Langkah Berikutnya: Implementasi Aturan Secara Konsisten
Pemahaman yang mendalam terhadap Juknis harus segera ditindaklanjuti dengan implementasi yang konsisten di lapangan. Aksi Lanjut yang paling krusial adalah memastikan semua dokumen klaim (SPJ, Bukti Transport) telah lengkap dan diverifikasi secara menyeluruh oleh Kepala KUA sebelum diajukan untuk proses pencairan dana dari alokasi DIPA. Konsistensi ini akan menghilangkan celah untuk praktik Pungli (Pungutan Liar) dan memastikan bahwa hak jasa profesi Penghulu terbayarkan tepat waktu sesuai peraturan, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas layanan publik secara keseluruhan.