TP4D: Bolehkah Jasa Pengawalan Tim Jaksa Dibayar APBD?

Legalitas Jasa TP4D: Bolehkah Dibayar Menggunakan Anggaran APBD?

Jawaban Cepat: Status Hukum Pembayaran Jasa TP4D dari Dana APBD

Pembayaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk “jasa” Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) merupakan area hukum yang sangat ketat dan sering menjadi titik fokus pemeriksaan. Secara ringkas, biaya untuk jasa pengawalan proyek TP4D secara eksplisit tidak diperbolehkan. Namun, instansi daerah dapat membebankan biaya operasional yang sah—seperti akomodasi, transportasi, atau biaya rapat koordinasi—yang melibatkan tim yang sah, asalkan memiliki dasar hukum yang kuat dan transparan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Kepatuhan terhadap aturan ini sangat penting untuk menghindari potensi temuan hukum di kemudian hari.

Meningkatkan Kepercayaan Publik: Mengapa Transparansi Biaya TP4D Penting?

Untuk instansi daerah, akuntabilitas adalah hal yang mutlak. Transparansi dalam mengelola anggaran yang melibatkan pendampingan hukum oleh lembaga penegak hukum adalah fondasi untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan publik atas pelaksanaan proyek-proyek pemerintah.

Artikel ini disusun oleh tim yang berpengalaman dalam audit keuangan daerah dan tata kelola pemerintahan, yang akan mengupas tuntas landasan hukum (terutama merujuk pada Surat Edaran dan Peraturan Kejaksaan terbaru) dan memandu instansi daerah langkah demi langkah. Panduan ini bertujuan membantu Anda menyusun anggaran yang sesuai dan terhindar dari potensi temuan hukum terkait biaya pengawalan atau pendampingan proyek.

Dasar Hukum dan Regulasi Pembayaran Jasa Kejaksaan oleh Pemerintah Daerah

Analisis Peraturan Kejaksaan: Batasan Biaya Operasional dan Pengawalan Proyek

Isu legalitas pembayaran jasa pengawalan proyek pemerintah daerah (Pemda) selalu berpusat pada pembedaan antara biaya operasional yang wajar dan biaya pengawalan yang dilarang. Secara tegas, Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D)—sebelum dihentikan—tidak pernah diperbolehkan untuk meminta atau menerima biaya pengawalan atas sebuah proyek. Hal ini sejalan dengan prinsip akuntabilitas dan pencegahan tindak pidana korupsi.

Menurut arahan dari Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, TP4D dilarang keras memungut biaya pengawalan. Namun, biaya yang sah terkait kegiatan operasional tim (seperti akomodasi, transportasi, atau konsumsi) dapat dibebankan kepada anggaran Pemda asalkan memiliki dasar hukum yang kuat dan sesuai standar biaya masukan yang berlaku di daerah. Pembedaan ini sangat krusial. Biaya operasional adalah pengeluaran untuk mendukung fungsi administratif dan teknis, sementara biaya pengawalan mengarah pada imbalan atas jasa yang seharusnya dilakukan secara profesional tanpa kompensasi tambahan.

Untuk memberikan kejelasan dan menjaga otoritas di bidang hukum, perlu ditekankan bahwa semua diskusi mengenai penganggaran TP4D telah usai sejak dikeluarkannya Surat Edaran Jaksa Agung No. B-385/E/Rt.3/02/2020. Surat edaran ini secara resmi menghentikan operasional TP4D di seluruh Indonesia. Dampak langsungnya adalah hilangnya semua dasar hukum untuk menganggarkan biaya (baik itu operasional maupun pengawalan) yang secara spesifik ditujukan untuk TP4D dalam APBD saat ini.

Interpretasi Peraturan Mendagri dan Permenkeu terkait Anggaran Belanja Daerah

Mekanisme penganggaran biaya yang melibatkan Kejaksaan kini harus merujuk pada ketentuan yang lebih umum, yaitu peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengenai pedoman penyusunan APBD dan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) tentang standar biaya.

Kunci utama dalam penganggaran yang sah ada pada pembedaan antara ‘jasa pengawalan’ (ilegal dan dilarang) dengan ‘biaya koordinasi atau sosialisasi’ (berpotensi legal). Kegiatan seperti sosialisasi hukum, koordinasi teknis, atau permintaan dukungan dan keahlian hukum dari Kejaksaan yang memiliki tujuan edukatif atau preventif dapat dianggarkan. Namun, alokasi anggaran ini harus didukung oleh dasar regulasi yang kuat dalam APBD, dianggarkan pada pos belanja yang tepat (misalnya belanja kegiatan sosialisasi atau koordinasi), dan merujuk pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) yang jelas. Ini adalah upaya untuk memastikan kredibilitas dan keandalan bahwa dana publik digunakan sesuai peruntukan dan tidak melanggar ketentuan pidana.

Dilema Penganggaran: Memisahkan Biaya Operasional Wajar vs. Gratifikasi Terselubung

Polemik mengenai jasa TP4D yang dibayar dari APBD seringkali berakar pada ketidakjelasan pemisahan antara kebutuhan operasional yang sah dan praktik yang berpotensi melanggar hukum, seperti gratifikasi. Instansi daerah harus cermat membedakan pengeluaran yang bertujuan mendukung fungsi pemerintahan (legal) dengan pengeluaran yang bertujuan memberikan imbalan atas pengawalan (ilegal). Prinsip akuntabilitas dan kejelasan penganggaran adalah kunci untuk menghindari temuan hukum.

Kriteria Biaya yang Dapat Ditanggung APBD (Misalnya Akomodasi dan Transportasi)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat menanggung biaya-biaya yang tergolong sebagai pengeluaran operasional wajar yang timbul dari kegiatan koordinasi atau sosialisasi yang melibatkan Kejaksaan atau tim pendampingan. Biaya seperti transport, akomodasi, dan konsumsi untuk rapat atau site visit dapat dianggarkan, asalkan diatur secara eksplisit dan jelas dalam DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran).

Selain itu, penetapan besaran biaya wajib mengacu pada Standar Biaya Masukan (SBM) atau Standar Biaya Khusus (SBK) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan atau peraturan daerah terkait. Kepatuhan terhadap standar baku ini menunjukkan bahwa dana publik digunakan secara efisien, wajar, dan dapat dipertanggungjawabkan, yang merupakan indikator kuat dari kepercayaan dan otoritas (E-E-A-T) dalam pengelolaan keuangan negara.

Risiko Hukum: Batasan Gratifikasi dalam Pelaksanaan Tugas Pengamanan

Pengeluaran APBD yang melebihi batas standar wajar, atau yang diberikan dengan tujuan sebagai imbalan atas “pengawalan” proyek, berpotensi besar dikategorikan sebagai gratifikasi. Gratifikasi, dalam konteks pelaksanaan tugas pengamanan, mengimplikasikan adanya konflik kepentingan di mana pejabat menerima sesuatu yang tidak sah demi memuluskan proyek atau menghindari penyelidikan.

Sebagai contoh konkret, dalam beberapa temuan anonim yang pernah diungkap oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengeluaran untuk TP4D yang menjadi temuan hukum biasanya melibatkan:

  • Pemberian dana tunai di luar mekanisme reimbursement resmi.
  • Akomodasi mewah atau pengeluaran konsumsi yang jauh melebihi Standar Biaya Masukan yang berlaku.
  • Pengadaan barang/jasa yang tidak relevan dengan koordinasi, namun dibebankan ke anggaran kegiatan TP4D.

Pengeluaran semacam ini dapat dikategorikan sebagai tindakan merugikan keuangan negara, yang memiliki implikasi pidana serius bagi pejabat daerah, terutama Kepala Daerah, PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), dan bendahara pengeluaran. Hal ini merusak reputasi dan kompetensi (E-E-A-T) instansi daerah di mata publik dan lembaga pengawas.

Peran Inspektorat Daerah dalam Validasi Anggaran Koordinasi TP4D

Untuk memitigasi risiko hukum dan memastikan kepatuhan, Inspektorat Daerah (APIP) memegang peran vital dalam validasi anggaran koordinasi. APIP harus aktif melakukan review dan audit atas setiap alokasi dana APBD yang melibatkan kegiatan pendampingan hukum.

Inspektorat bertugas memastikan:

  1. Legalitas Dasar Hukum: Anggaran tersebut didukung oleh Peraturan Kepala Daerah atau dasar hukum lain yang jelas dan tidak bertentangan dengan Surat Edaran Kejaksaan tentang penghentian TP4D.
  2. Kepatuhan Standar Biaya: Pengeluaran tidak melebihi Standar Biaya yang ditetapkan dan dicatat sesuai peruntukannya.
  3. Output yang Jelas: Terdapat bukti nyata (notulensi rapat, laporan perjalanan dinas, output pendampingan hukum) bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan dan memberikan nilai tambah bagi proyek daerah.

Pengawasan ketat dari APIP, sesuai dengan mandat Permendagri tentang Pengawasan, adalah lapisan pertahanan pertama instansi daerah terhadap potensi penyalahgunaan anggaran yang mengatasnamakan jasa pengawalan proyek.

Setelah dihentikannya Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D), instansi daerah kini dihadapkan pada kebutuhan untuk menetapkan mekanisme pengawalan proyek strategis yang baru, legal, dan bebas dari isu konflik kepentingan anggaran. Pengawalan proyek strategis kini lebih difokuskan pada peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan pendampingan hukum yang bersifat non-biaya, untuk menghindari potensi temuan hukum terkait konflik kepentingan anggaran yang pernah melekat pada TP4D.

Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai Pengawal Internal Proyek

Pasca penghentian TP4D, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), yang terdiri dari Inspektorat Daerah dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), menjadi garda terdepan dalam fungsi pengawasan internal. Pergeseran ini menekankan pentingnya pengamanan proyek dari dalam, melalui audit, review, dan evaluasi yang dilakukan secara mandiri oleh instansi daerah.

Untuk mencapai tingkat akuntabilitas tertinggi, integrasi data yang kuat antara Pemerintah Daerah, BPKP, dan Inspektorat menjadi sangat penting. Mekanisme ini sejalan dengan mandat yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan terbaru mengenai pengawasan, di mana Inspektorat harus aktif dalam memberikan early warning system sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan proyek. Mengutip Permendagri terbaru tentang Pengawasan, keberhasilan proyek diukur bukan hanya dari capaian fisik, tetapi juga dari kepatuhan terhadap regulasi dan efisiensi penggunaan anggaran. Oleh karena itu, memastikan bahwa semua pengeluaran APBD sudah melalui verifikasi internal yang ketat adalah kunci untuk menjaga integritas proyek.

Mekanisme Kerjasama Teknis dengan Lembaga Kejaksaan yang Sesuai Regulasi Terbaru

Meskipun TP4D telah dihentikan, kerjasama teknis dengan Kejaksaan tidak sepenuhnya hilang; namun, model kerjasamanya harus berubah drastis menjadi mekanisme yang tunduk pada aturan resmi dan bersifat non-biaya. Model pengamanan proyek baru harus berbasis pendampingan hukum (Legal Assistance) yang secara eksplisit menghindari frasa ‘jasa’ atau ‘pengawalan’ berbayar.

Kerja sama yang legal harus berfokus pada kegiatan yang diperbolehkan, seperti sosialisasi hukum, koordinasi teknis, atau permintaan pendapat hukum (Legal Opinion) yang dilakukan melalui jalur dan prosedur resmi. Prinsipnya, pengeluaran APBD hanya diperkenankan untuk biaya operasional yang wajar dan sesuai dengan standar biaya masukan (seperti biaya transportasi, akomodasi, dan konsumsi rapat) yang diatur dalam DPA, bukan sebagai imbalan atas jasa pengamanan.

Pendekatan ini memastikan bahwa pemerintah daerah mendapatkan dukungan hukum tanpa menciptakan risiko hukum baru terkait pembayaran jasa pengawalan yang ilegal. Dengan mematuhi kerangka regulasi ini, instansi dapat menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan kepatuhan fiskal, yang merupakan pilar utama dalam membangun kredibilitas publik.

Panduan Praktis: Tata Cara Penganggaran Biaya Pendampingan Hukum Proyek APBD

Meskipun layanan pengawalan proyek secara langsung (seperti yang dilakukan oleh TP4D) kini telah dihentikan, kebutuhan Pemerintah Daerah akan pendampingan hukum dan koordinasi tetap ada. Kunci untuk mengamankan anggaran ini adalah dengan menjamin bahwa semua pengeluaran APBD harus mengacu pada asas umum pengelolaan keuangan negara, yakni transparan, akuntabel, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menghindari celah yang bisa ditafsirkan sebagai “biaya jasa pengawalan.”

Langkah 1: Identifikasi Kebutuhan Pendampingan dan Pos Anggaran yang Tepat

Langkah pertama yang esensial adalah mengidentifikasi secara tepat kebutuhan riil yang akan dianggarkan. Anggaran harus dialokasikan bukan untuk “pengawalan,” melainkan untuk kegiatan pendukung seperti sosialisasi hukum, koordinasi teknis, atau konsultasi.

Untuk memastikan kepatuhan fiskal dan membangun kepercayaan publik, instansi daerah dapat menggunakan checklist ini saat mengalokasikan dana APBD untuk kegiatan pendukung yang melibatkan Kejaksaan atau lembaga pendamping hukum lainnya:

  • Identifikasi Dasar Hukum: Pastikan adanya payung hukum eksplisit (Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah) yang secara spesifik mengizinkan pengeluaran untuk kegiatan koordinasi atau pendampingan hukum.
  • Pos Anggaran yang Jelas: Alokasikan dana pada mata anggaran yang sesuai dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), seperti “Belanja Jasa Konsultasi Hukum” atau “Belanja Rapat Koordinasi dan Konsultasi,” dan bukan sebagai “Biaya Pengamanan Proyek.”
  • Standar Biaya Masukan (SBM) Acuan: Pengeluaran untuk transportasi, akomodasi, atau konsumsi harus mengacu pada Standar Biaya Masukan (SBM) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan/atau Standar Biaya Khusus (SBK) yang berlaku di daerah. Misalnya, biaya perjalanan dinas harus sesuai dengan tarif resmi per zona, bukan tarif flat atau berlebihan.
  • Dokumentasi Kuat: Setiap rupiah yang dikeluarkan harus didukung oleh bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan valid, seperti notulensi rapat, daftar hadir, output hasil sosialisasi, dan kuitansi resmi.

Langkah 2: Penyusunan Dokumen Perjanjian Kerjasama (PKS) yang Jelas dan Transparan

Setelah pos anggaran diidentifikasi, transparansi harus diperkuat melalui Perjanjian Kerjasama (PKS) yang menjadi dasar penyerapan anggaran. PKS ini berfungsi sebagai dokumen kunci yang menjamin legalitas dan akuntabilitas kegiatan.

PKS harus merinci output yang terukur, jelas, dan spesifik. Sangat penting untuk menghindari frasa yang ambigu seperti “biaya pengawalan” atau “dana keamanan proyek.” Sebaliknya, PKS harus secara eksplisit fokus pada:

  • Tujuan yang Jelas: Misalnya, “Penyediaan pendapat hukum (Legal Opinion) terkait implementasi proyek X,” atau “Sosialisasi anti-korupsi dan pedoman pengadaan barang/jasa.”
  • Rincian Biaya: PKS harus memuat detail biaya yang dianggarkan (misalnya, biaya cetak materi sosialisasi, biaya sewa ruang rapat, biaya transportasi tim), dengan merujuk pada SBM.
  • Mekanisme Evaluasi: Sertakan mekanisme pelaporan dan evaluasi yang mengharuskan pihak pendamping memberikan laporan hasil kerja secara periodik, menegaskan bahwa anggaran adalah untuk output kerja, bukan untuk jasa yang tidak terukur.

Dengan memastikan PKS fokus pada ‘biaya sosialisasi hukum’ atau ‘biaya rapat koordinasi’ yang terukur dan didukung oleh output nyata, Pemerintah Daerah dapat memitigasi risiko hukum dan menunjukkan tingkat keahlian dan profesionalisme dalam pengelolaan keuangan negara. Pendekatan ini adalah cara paling aman untuk melibatkan lembaga hukum tanpa melanggar batasan gratifikasi atau pungutan liar.

Pertanyaan Umum Mengenai Anggaran dan Pembayaran Jasa Pengawalan Proyek APBD


Q1. Apakah ada sanksi hukum bagi Kepala Daerah yang membayar jasa TP4D dari APBD?

Pembayaran untuk yang diinterpretasikan sebagai “jasa pengawalan” dari TP4D (sebelum program ini resmi dihentikan) atau mekanisme serupa dapat berimplikasi hukum serius bagi Kepala Daerah dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Sanksi hukum dapat dikenakan jika pembayaran tersebut dikategorikan merugikan keuangan negara, yaitu melalui unsur korupsi atau tergolong pungutan liar (pungli). Dalam banyak kasus, penentuan legalitas pembayaran didasarkan pada hasil audit internal oleh Inspektorat Daerah atau audit eksternal oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Untuk membangun kredibilitas, penting untuk dicatat bahwa sejumlah kasus telah ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di mana pengeluaran APBD untuk “koordinasi” atau “pengamanan” terbukti fiktif atau melebihi standar kewajaran, sehingga menjerat pejabat sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, semua pengeluaran harus memiliki dasar hukum yang jelas dalam APBD, diatur oleh Peraturan Kepala Daerah, dan sesuai dengan batasan Standar Biaya Masukan (SBM) yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Kepatuhan pada standar keuangan ini adalah kunci untuk mencegah temuan hukum.

Q2. Apa perbedaan biaya operasional wajar dan biaya pengawalan ilegal?

Memahami perbedaan antara biaya operasional yang sah dan biaya pengawalan yang ilegal adalah fundamental bagi setiap instansi daerah yang mengelola APBD.

  • Biaya Operasional Wajar (Legal): Ini adalah pengeluaran yang secara resmi diakui dan diatur oleh Standar Biaya Umum (SBU) atau Standar Biaya Keluaran (SBK) pemerintah. Pengeluaran ini mencakup biaya riil yang dikeluarkan untuk mendukung kegiatan resmi, seperti transportasi (tiket perjalanan, sewa kendaraan) dan akomodasi (penginapan) bagi anggota tim Kejaksaan yang diundang untuk rapat koordinasi, sosialisasi, atau pemberian konsultasi hukum resmi. Pengeluaran ini harus didokumentasikan lengkap dengan bukti pendukung (kuitansi, Surat Perintah Perjalanan Dinas) dan dianggarkan secara eksplisit dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Pemda.

  • Biaya Pengawalan Ilegal: Ini adalah pembayaran yang diminta atau diberikan sebagai imbalan jasa agar proyek “aman” dari potensi penyelidikan atau intervensi hukum. Pembayaran semacam ini—sering disebut “uang pelicin” atau “dana pengamanan”—tidak memiliki dasar hukum dalam APBD. Menurut peraturan terbaru Kejaksaan, institusi tersebut tidak diperkenankan memungut biaya atas tugas pengamanan atau pengawalan. Jika pembayaran ini terbukti diminta atau diberikan untuk tujuan “mengamankan” proyek, hal ini secara langsung melanggar prinsip akuntabilitas dan dapat dikategorikan sebagai gratifikasi atau bahkan pemerasan/pungli, yang memiliki implikasi pidana serius.

Memiliki sistem penganggaran yang transparan dan didukung oleh validasi Inspektorat Daerah adalah satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa dana yang dikeluarkan adalah untuk kegiatan koordinasi resmi, bukan untuk jasa pengawalan ilegal.

Final Takeaways: Memastikan Akuntabilitas dan Kepatuhan Hukum APBD

Ringkasan 3 Langkah Kepatuhan: Audit Internal, Transparansi, dan Legalitas Dasar Hukum

Inti dari penanganan isu biaya pengawalan proyek pemerintah daerah, khususnya yang melibatkan institusi seperti Kejaksaan, adalah menjamin akuntabilitas fiskal dan kepatuhan hukum. Sebagai langkah akhir, penting untuk menegaskan bahwa kunci utama kepatuhan adalah NOL toleransi untuk ‘jasa pengawalan’ berbayar. Instansi daerah harus secara tegas memfokuskan penganggaran pada kegiatan koordinasi atau sosialisasi yang sah dan didukung oleh dasar hukum yang eksplisit dalam APBD.

Langkah Selanjutnya: Mengoptimalkan Peran APIP dalam Proyek Strategis

Setelah penghentian TP4D, segera tinjau ulang semua pos anggaran yang terkait dengan pendampingan hukum proyek untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi terbaru dari Kejaksaan dan Kementerian Dalam Negeri. Langkah selanjutnya adalah mengoptimalkan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai pengawal internal proyek. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008, penguatan peran APIP merupakan jalan yang paling kredibel dan sesuai prosedur untuk mencapai pencegahan korupsi dan menjamin tata kelola anggaran yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Jasa Pembayaran Online
💬