Hukum Perdata Pembayaran Jasa via Komisi: Panduan Praktis

Memahami Pembayaran Jasa Melalui Komisi dalam Hukum Perdata

Definisi Kunci: Apa Itu Pembayaran Jasa Berbasis Komisi?

Pembayaran jasa berbasis komisi merupakan suatu skema imbalan yang berbeda dari gaji pokok tetap. Dalam skema ini, upah atau fee yang dibayarkan kepada pemberi jasa (misalnya, agen properti, broker, atau sales) didasarkan pada persentase atau nilai tertentu dari hasil finansial yang berhasil dicapai, seperti nilai penjualan, laba bersih, atau nilai proyek yang diselesaikan. Pengaturan pembayaran semacam ini, meskipun didasarkan pada kesepakatan bebas, tetap harus tunduk pada kerangka hukum yang berlaku, khususnya Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai syarat sahnya suatu perjanjian.

Tujuan utama dari artikel ini adalah memberikan pemahaman yang mendalam dan terstruktur mengenai aspek legalitas kontrak komisi. Kami akan memandu Anda langkah demi langkah untuk menyusun perjanjian komisi yang tidak hanya adil, tetapi juga sah secara hukum dan mampu melindungi kepentingan semua pihak. Dengan mengacu pada kaidah hukum perdata Indonesia, pemahaman ini krusial untuk mencegah sengketa di masa depan dan memastikan bahwa setiap kesepakatan komisi memiliki dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan di mata hukum.

Dasar Hukum dan Landasan Kontrak Pembayaran Komisi

Sumber Kewajiban: Pasal-Pasal Kunci dalam KUHPerdata

Kontrak pembayaran jasa melalui komisi di Indonesia berakar kuat pada prinsip-prinsip umum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Landasan awalnya adalah Pasal 1313 KUHPerdata, yang mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari sini, lahir prinsip kebebasan berkontrak, yang memberikan fleksibilitas bagi para pihak untuk menentukan sendiri syarat dan ketentuan komisi, sepanjang tidak melanggar undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Yang paling krusial dalam pembentukan perjanjian komisi yang sah adalah pemenuhan empat syarat yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu (objek perjanjian), dan suatu sebab yang halal (causa yang halal). Komisi sebagai bentuk imbalan jasa harus memenuhi keempat pilar ini.

Khusus mengenai syarat ‘causa yang halal’, Jurnal Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) pernah mengulas bahwa interpretasi “causa yang halal” tidak sekadar menghindari perbuatan ilegal, tetapi juga mencakup tujuan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dan keadilan sosial. Dalam konteks komisi, ini berarti dasar pembayaran komisi harus transparan dan bukan untuk mendorong tindakan penipuan, suap, atau kegiatan melanggar hukum lainnya. Kegagalan memenuhi salah satu dari empat syarat ini berimplikasi serius: jika tidak ada kesepakatan atau objek, perjanjian adalah batal demi hukum (dianggap tidak pernah ada); sementara jika subjeknya tidak cakap atau causanya tidak halal, perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang dirugikan.

Perbedaan Kontrak Komisi vs. Kontrak Upah Tetap

Meskipun keduanya adalah bentuk imbalan atas jasa, kontrak komisi dan kontrak upah tetap memiliki perbedaan fundamental dari sudut pandang hukum dan risiko.

  • Kontrak Komisi: Bentuk perjanjian ini menempatkan imbalan jasa (komisi) sebagai variabel yang langsung bergantung pada hasil atau pencapaian tertentu (misalnya, persentase dari nilai penjualan yang berhasil ditutup). Risiko kerugian ditanggung sebagian besar oleh penerima jasa, karena jika hasil tidak tercapai, komisi bisa bernilai nol. Perjanjian ini lebih sering digunakan dalam konteks keagenan, broker, atau sales.
  • Kontrak Upah Tetap: Bentuk perjanjian ini menjamin pembayaran imbalan jasa (upah) yang bersifat pasti dan tetap tanpa memandang hasil akhir dari pekerjaan yang dilakukan. Risiko kerugian dipegang oleh pemberi jasa. Skema ini lazim ditemukan pada kontrak kerja standar atau jasa konsultasi profesional per jam/bulanan.

Secara hukum, perbedaan ini mempengaruhi fokus bukti dalam sengketa. Pada kontrak komisi, sengketa akan berpusat pada pembuktian pencapaian hasil yang menjadi dasar perhitungan komisi. Sementara itu, pada kontrak upah tetap, sengketa lebih fokus pada pembuktian pelaksanaan pekerjaan sesuai jam atau lingkup yang dijanjikan. Pemilihan jenis kontrak harus didasarkan pada strategi bisnis dan tingkat risiko yang ingin dibagi oleh kedua belah pihak, namun integritas legalnya tetap harus berlandaskan empat syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata.

Struktur Wajib Perjanjian Komisi yang Jelas dan Mengikat

Menyusun perjanjian komisi yang efektif dan berkekuatan hukum bukan sekadar formalitas; ini adalah tindakan mendasar untuk memastikan kejelasan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi semua pihak. Kontrak yang terstruktur dengan baik dan jelas adalah dasar untuk meminimalkan potensi sengketa dan mencerminkan prinsip keterpercayaan dan otoritas dalam hubungan bisnis. Oleh karena itu, bagian ini akan menguraikan klausul-klausul esensial yang harus ada dalam setiap perjanjian komisi berdasarkan praktik hukum perdata yang berlaku di Indonesia.

Klausul Kritis: Menentukan Persentase dan Dasar Perhitungan Komisi

Inti dari setiap perjanjian komisi adalah bagaimana komisi tersebut dihitung dan dibayarkan. Untuk menghindari sengketa yang sering kali berpusat pada penafsiran, perjanjian harus mendefinisikan secara eksplisit dan tanpa ambigu apa yang dimaksud dengan “dasar komisi”. Misalnya, harus dijelaskan apakah komisi didasarkan pada nilai penjualan kotor (total pendapatan sebelum dikurangi biaya), laba bersih (pendapatan setelah semua biaya operasional, pajak, dan diskon dikurangkan), atau nilai proyek yang diselesaikan (total nilai kontrak).

Contoh Format Klausul Terbaik (Template Best Practice Lawyer):

“Komisi yang wajib dibayarkan oleh Pihak Pemberi Jasa kepada Pihak Penerima Jasa ditetapkan sebesar [Angka Persentase]% (Persen) dari [Definisi Dasar Komisi, contoh: Nilai Penjualan Kotor yang berhasil ditagih dan diterima pembayarannya secara penuh]. Nilai ini dihitung setelah dikurangi [sebutkan pengecualian, contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan diskon yang disetujui secara tertulis].”

Penggunaan contoh klausul yang telah diuji dalam praktik hukum seperti di atas memberikan validitas dan profesionalisme yang tinggi pada kontrak Anda. Untuk meningkatkan kekuatan pembuktian perjanjian komisi, terutama untuk transaksi bernilai tinggi atau jangka panjang, notarisasi (dibuat dalam bentuk Akta Notaris) atau akta di bawah tangan yang dilegalisasi/didaftar oleh Notaris sangat disarankan. Tindakan ini memberikan tanggal pasti (zeker dag) pada dokumen, sehingga sulit untuk disanggah di kemudian hari.

Mekanisme Pembayaran: Kapan dan Bagaimana Komisi Dibayarkan?

Kejelasan mengenai mekanisme pembayaran adalah aspek lain yang sangat penting. Perjanjian harus merinci kapan dan bagaimana komisi tersebut akan diproses.

Klausul tentang mekanisme pembayaran harus menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial seperti:

  • Trigger Pembayaran: Apakah komisi dibayarkan saat kontrak ditandatangani, saat klien membayar down payment, atau saat pembayaran penuh diterima oleh Pemberi Jasa?
  • Jadwal Pembayaran: Apakah pembayaran dilakukan bulanan, kuartalan, atau berdasarkan penyelesaian proyek?
  • Dokumentasi: Persyaratan dokumen apa yang harus dipenuhi oleh Penerima Jasa (misalnya, faktur, laporan penjualan yang disahkan) sebelum pembayaran diproses?

Lebih lanjut, perjanjian komisi harus mencakup klausul tentang ‘kejadian yang membatalkan’ hak komisi. Ini adalah ketentuan penting yang melindungi Pemberi Jasa dari kewajiban membayar komisi untuk hasil yang tidak permanen atau dibatalkan. Misalnya, jika klien membatalkan kontrak atau mengembalikan produk dalam periode tertentu, perjanjian harus secara tegas menyatakan bahwa hak komisi atas transaksi tersebut menjadi gugur atau harus dikembalikan (clawback).

Terakhir, setiap perjanjian yang kokoh wajib mencantumkan ketentuan penyelesaian sengketa. Jika terjadi perselisihan mengenai perhitungan, timing pembayaran, atau pembatalan, mekanisme yang jelas harus tersedia. Pilihan umumnya adalah:

  1. Musyawarah (Negosiasi) sebagai langkah pertama.
  2. Mediasi atau Arbitrase (misalnya melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) yang bersifat privat dan lebih cepat.
  3. Litigasi di Pengadilan Negeri.

Dengan menetapkan prosedur ini di muka, kedua belah pihak menunjukkan komitmen dan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah secara terstruktur, yang merupakan ciri khas dari kemitraan yang berintegritas dan terpercaya.

Hak dan Kewajiban Para Pihak: Perlindungan Hukum Pemberi dan Penerima Jasa

Dalam konteks pembayaran jasa melalui komisi secara hukum perdata, perlindungan hukum bagi kedua belah pihak—pemberi dan penerima jasa—berakar pada prinsip kesetaraan dan itikad baik. Kontrak komisi yang kuat harus secara eksplisit mendefinisikan tanggung jawab masing-masing untuk mencegah sengketa dan memastikan proses yang adil. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip ini adalah indikator penting dari kewenangan, keahlian, dan kepercayaan (KTK) dalam suatu hubungan kontraktual.

Kewajiban ‘Fidusia’ atau Itikad Baik Pemberi Jasa Berbasis Komisi

Penerima jasa, seperti agen atau broker, mengemban kewajiban fundamental untuk bertindak dengan itikad baik. Sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ini berarti penerima jasa harus bertindak jujur, transparan, dan loyal terhadap kepentingan pihak yang membayarkan komisi. Dalam praktiknya, kewajiban ini menuntut penerima jasa untuk:

  • Melaporkan secara transparan setiap proses, upaya, dan interaksi yang telah dilakukan untuk mencapai hasil yang menjadi dasar komisi (misalnya, detail negosiasi, daftar klien potensial, dan biaya operasional yang timbul).
  • Menghindari konflik kepentingan yang dapat merugikan pemberi jasa.
  • Menggunakan informasi rahasia yang diperoleh hanya untuk tujuan yang disepakati dalam perjanjian.

Pelanggaran terhadap kewajiban itikad baik ini dapat dikategorikan sebagai wanprestasi (cidera janji). Jika wanprestasi terjadi, pihak yang dirugikan (pemberi jasa) berhak menuntut Ganti Rugi berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata. Perhitungan kerugian finansial dari komisi yang hilang harus didasarkan pada perkiraan yang wajar dan didukung bukti. Kerugian ini dapat mencakup biaya, kerugian, dan bunga yang timbul akibat kegagalan penerima jasa menjalankan tugasnya dengan itikad baik.

Untuk menunjukkan keahlian dan otoritas dalam penanganan sengketa komisi, kita dapat merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA). Sebagai contoh, dalam Putusan MA Nomor 1735 K/PDT/2017, MA memperkuat pentingnya bukti tertulis dan itikad baik dalam menilai sah atau tidaknya klaim komisi atas perjanjian keagenan. Putusan seperti ini menegaskan bahwa tanpa bukti upaya yang transparan dan jujur (itikad baik), klaim komisi, meskipun perjanjiannya ada, dapat menjadi lemah. Oleh karena itu, dokumentasi proses yang transparan oleh penerima jasa adalah perlindungan hukum utama.

Hak Penerima Jasa atas Audit dan Transparansi Perhitungan

Di sisi lain, pemberi jasa (pihak yang wajib membayar komisi) juga memiliki kewajiban untuk memastikan proses pembayaran dilakukan secara adil dan transparan. Pemberi jasa wajib menyediakan akses kepada penerima jasa ke data perhitungan yang relevan dan mendasari penetapan nilai komisi.

Klausul audit adalah elemen kunci dalam perjanjian komisi untuk memastikan transparansi dan keadilan, sebuah praktik yang sangat ditekankan oleh para ahli hukum untuk membangun kepercayaan di antara para pihak. Klausul ini memberikan hak kepada penerima jasa untuk:

  • Memeriksa catatan penjualan, laba, atau metrik lain yang dijadikan dasar perhitungan komisi.
  • Meminta laporan rinci mengenai gross revenue atau net profit yang digunakan dalam formula komisi.

Tanpa transparansi ini, penerima jasa berada pada posisi yang sangat rentan.

Apabila pemberi jasa menahan data atau memberikan perhitungan yang tidak akurat, ini juga dapat dianggap sebagai wanprestasi. Klaim ganti rugi (Pasal 1243 KUHPerdata) dapat diajukan jika penerima jasa dapat membuktikan bahwa perhitungan yang tidak transparan atau salah telah mengakibatkan hilangnya potensi komisi. Oleh karena itu, memasukkan hak audit dalam kontrak bukan hanya best practice, tetapi merupakan keharusan untuk memastikan keadilan dan kewenangan kedua belah pihak dalam mengelola perjanjian komisi.

Implikasi Pajak dan Aspek Keuangan Pembayaran Komisi Jasa

Aspek perpajakan adalah komponen krusial yang sering diabaikan dalam perjanjian komisi, padahal kepatuhan pajak sangat menentukan legalitas dan kesehatan finansial perusahaan. Pembayaran komisi jasa, baik yang diterima oleh individu maupun badan usaha, dikategorikan sebagai penghasilan yang wajib dikenakan pajak sesuai ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu, pihak yang membayarkan komisi memiliki kewajiban fiskal tertentu yang harus dipenuhi.

Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 atas Komisi

Pembayaran komisi jasa hampir selalu termasuk dalam kategori objek pajak penghasilan (PPh) dan tunduk pada mekanisme pemotongan (potput) oleh pihak yang membayarkan (pemberi jasa). Jenis PPh yang dikenakan bergantung pada status hukum penerima komisi:

  • Untuk Individu: Jika penerima komisi adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (misalnya, agen independen, freelancer, atau broker perorangan), pembayaran tersebut dikenakan PPh Pasal 21. PPh Pasal 21 dihitung berdasarkan tarif progresif yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), setelah mempertimbangkan skema perhitungan yang berlaku (misalnya, sebagai bukan pegawai yang berkesinambungan atau tidak berkesinambungan).
  • Untuk Badan Usaha: Jika penerima komisi adalah Wajib Pajak Badan (misalnya, PT atau CV), pembayaran tersebut dikenakan PPh Pasal 23. Berdasarkan regulasi perpajakan terkini (mengacu pada UU PPh dan peraturan pelaksana DJP terkait), komisi sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto.

Kepatuhan ini sangat penting karena menunjukkan kredibilitas dan profesionalisme dalam operasional bisnis. Mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen DJP) yang mengatur mekanisme pemotongan PPh Pasal 21 dan 23, pihak pembayar wajib memotong, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang tersebut ke kas negara. Pemberian bukti potong kepada penerima komisi adalah langkah wajib untuk memastikan transparansi dan keadilan.

Dampak Hukum Jika Terjadi Kelalaian Pembayaran Pajak

Kelalaian atau kegagalan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, khususnya kewajiban pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, membawa konsekuensi hukum yang serius. Prinsip ketaatan pada hukum mengharuskan setiap transaksi bisnis mematuhi regulasi fiskal.

Sanksi Administratif: Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) secara jelas mengatur bahwa pihak yang lalai dalam memotong dan menyetorkan pajak yang telah dipotong dapat dikenakan sanksi berupa denda, bunga, dan kenaikan. Misalnya, keterlambatan penyetoran pajak dapat dikenakan sanksi bunga yang dihitung berdasarkan tarif bunga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dikenakan per bulan.

Sanksi Pidana: Dalam kasus yang parah dan terbukti adanya unsur kesengajaan untuk tidak memotong atau menyetorkan pajak yang telah dipotong, pihak pembayar dapat dikenakan sanksi pidana perpajakan sesuai UU KUP. Hal ini mencakup hukuman penjara dan denda yang sangat besar. Kewajiban kepatuhan pajak tidak hanya bersifat finansial, namun juga menjadi landasan otoritas dan kepercayaan (Trust) perusahaan di mata hukum. Oleh karena itu, klausul yang menyatakan bahwa semua pajak yang timbul dari pembayaran komisi adalah tanggung jawab masing-masing pihak (berserta mekanisme potput yang diatur) harus dimasukkan dalam perjanjian komisi untuk mengamankan posisi legal semua pihak.


Tanya Jawab Populer: Pertanyaan Hukum Teratas Seputar Komisi

Q1. Apakah Komisi Harus Dibayar Jika Kontrak Dibatalkan di Tengah Jalan?

Hak atas pembayaran komisi jika terjadi pembatalan kontrak di tengah jalan sangat bergantung pada klausul yang secara eksplisit tertulis dalam perjanjian awal. Secara hukum perdata, prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata) mengizinkan para pihak untuk mengatur konsekuensi dari pembatalan (wanprestasi) dalam kontrak mereka. Umumnya, jika pembatalan terjadi setelah pemberi jasa (misalnya, agen atau broker) telah menyelesaikan sebagian dari pekerjaan yang secara logis berkontribusi pada hasil akhir yang mendasari komisi, pembayaran prorata (sebanding) atau pembayaran untuk jasa yang telah diberikan dapat dituntut.

Untuk memberikan otoritas, praktik hukum terbaik menyarankan bahwa perjanjian komisi harus mencakup klausul yang secara jelas mendefinisikan “titik vesting” komisi—yaitu, pada tahap mana pekerjaan dianggap selesai dan hak atas komisi telah diperoleh, meskipun pembayarannya mungkin ditunda. Jika tidak diatur, penyelesaian dapat mengacu pada prinsip keadilan dan kepatutan, namun ini lebih rentan terhadap sengketa. Oleh karena itu, penting untuk selalu memiliki dokumen yang kuat dan dirancang oleh ahli hukum yang mengantisipasi skenario pembatalan.

Q2. Bagaimana Cara Menyelesaikan Sengketa Jika Ada Perbedaan Perhitungan Komisi?

Ketika terjadi perbedaan atau sengketa mengenai perhitungan nilai komisi, langkah pertama yang paling krusial adalah melakukan negosiasi yang didokumentasikan secara formal. Semua korespondensi, baik email maupun notulensi pertemuan, harus dicatat sebagai bukti upaya penyelesaian damai. Jika negosiasi gagal, terdapat tiga jalur utama penyelesaian sengketa hukum di Indonesia:

  1. Mediasi: Penyelesaian melalui pihak ketiga netral yang membantu para pihak mencapai kesepakatan.
  2. Arbitrase: Jika perjanjian secara spesifik mencantumkan klausul arbitrase (misalnya, merujuk ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI), maka sengketa harus diselesaikan melalui badan arbitrase tersebut, yang keputusannya bersifat final dan mengikat, memberikan kepastian hukum dan proses yang lebih cepat.
  3. Litigasi: Jalur terakhir adalah melalui gugatan di Pengadilan Negeri. Ini adalah opsi yang paling memakan waktu dan biaya, namun seringkali tak terhindarkan jika metode alternatif gagal atau tidak diatur dalam kontrak.

Penting untuk dicatat bahwa sengketa perhitungan komisi sering kali dapat dihindari jika perjanjian awal mencakup klausul audit yang memberikan hak kepada penerima jasa untuk meninjau data perhitungan yang mendasari klaim komisi, sebagaimana telah disarankan oleh banyak praktisi hukum.

Perjanjian pembayaran jasa melalui komisi yang dirancang dengan cermat adalah benteng pertahanan utama Anda dalam ranah hukum perdata. Kontrak yang kuat tidak hanya menjamin hak Anda atas imbalan tetapi juga memitigasi risiko sengketa di masa depan.

Ringkasan 3 Langkah Krusial untuk Kontrak Komisi yang Kuat

Untuk mencapai standar tertinggi dalam profesionalisme dan kepercayaan, ada tiga pilar utama yang harus dipastikan ada dan dirinci dalam setiap perjanjian komisi Anda. Kunci utama perlindungan hukum adalah membuat kontrak tertulis yang merinci:

  1. Dasar Perhitungan: Kontrak harus mendefinisikan secara eksplisit dan tidak ambigu apa yang menjadi basis komisi (misalnya, nilai penjualan kotor, laba bersih yang tercapai, atau nilai proyek yang diselesaikan). Kejelasan ini mencegah perbedaan interpretasi yang memicu konflik.
  2. Mekanisme Pembayaran: Rincikan kapan (tanggal, setelah milestone tertentu) dan bagaimana komisi tersebut akan dibayarkan (transfer bank, format invoice).
  3. Ketentuan Penyelesaian Sengketa: Tentukan prosedur baku untuk mengatasi perselisihan, apakah melalui negosiasi, mediasi, arbitrase (misalnya, melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia - BANI), atau litigasi di Pengadilan Negeri.

Ketiga pilar ini merupakan perwujudan praktis dari syarat sahnya perjanjian, terutama tentang objek tertentu dan kesepakatan, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Langkah Berikutnya: Konsultasi Hukum dan Pengamanan Kontrak

Dalam praktik hukum, kelalaian dalam membuat perjanjian tertulis yang detail adalah sumber sengketa terbanyak. Oleh karena itu, prinsip utama yang harus dipegang teguh adalah: jangan pernah memulai pekerjaan tanpa perjanjian komisi yang ditandatangani dan jelas.

Sebagai profesional yang menjunjung tinggi keahlian dan keandalan, selalu pastikan Anda melibatkan perspektif hukum. Selalu konsultasikan draf perjanjian komisi Anda dengan ahli hukum atau notaris sebelum eksekusi. Konsultasi ini akan memastikan bahwa semua klausul tidak hanya mengikat secara hukum tetapi juga telah dioptimalkan untuk melindungi kepentingan Anda dari risiko, sekaligus memenuhi semua regulasi terbaru, termasuk aspek perpajakan. Mengamankan kontrak Anda adalah investasi dalam hubungan kerja yang sukses dan bebas masalah.

Jasa Pembayaran Online
💬