Kewajiban Rupiah: Hukum Pembayaran Jasa & Barang Selain Mata Uang Resmi
Kewajiban Menggunakan Rupiah: Apa Aturan Mainnya?
Definisi Singkat: Hukum Pembayaran di Indonesia Selain Mata Uang Resmi
Indonesia, sebagai negara berdaulat, memiliki mata uang resmi, yakni Rupiah (IDR), yang wajib digunakan untuk setiap transaksi pembayaran di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketentuan ini ditetapkan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Regulasi ini secara eksplisit mewajibkan penggunaan Rupiah untuk setiap transaksi yang bertujuan pembayaran, baik tunai maupun non-tunai, kecuali terdapat beberapa pengecualian spesifik yang diatur oleh undang-undang atau peraturan Bank Indonesia (BI). Memahami aturan ini sangat penting karena melanggar kewajiban ini dapat berujung pada sanksi pidana dan denda yang signifikan.
Dasar Kepercayaan: Mengapa Artikel Ini Penting untuk Anda
Artikel ini dirancang sebagai panduan yang kredibel dan dapat diandalkan bagi pelaku usaha, profesional, dan masyarakat umum untuk menavigasi kompleksitas hukum pembayaran di Indonesia. Kami akan memaparkan secara langkah demi langkah mengenai risiko hukum dan potensi pengecualian dalam penggunaan alat pembayaran non-Rupiah, termasuk mata uang asing, pertukaran barang atau aset kripto. Dengan berpegangan pada regulasi primer seperti UU Mata Uang dan Peraturan Bank Indonesia, Anda akan memperoleh informasi yang jelas dan terstruktur untuk memastikan setiap transaksi Anda tidak hanya lancar, tetapi juga sepenuhnya patuh hukum.
Payung Hukum Kewajiban Rupiah: Melacak Sumber Peraturan Resmi
Menyelami UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang: Pasal Krusial yang Wajib Diketahui
Kewajiban penggunaan Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah sekadar kebijakan, melainkan mandat hukum yang diikat secara ketat. Landasan utama dari kewajiban ini tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Regulasi ini secara eksplisit mengatur tata cara penggunaan Rupiah dan konsekuensi hukum bagi pihak yang melanggar.
Pasal kunci yang wajib dipahami oleh setiap pelaku usaha dan individu adalah Pasal 21 Ayat (1). Pasal ini secara tegas menyatakan:
“Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Ketentuan ini memastikan bahwa mulai dari transaksi harian terkecil hingga kesepakatan bisnis besar, selama transaksi tersebut bertujuan untuk melunasi kewajiban pembayaran, maka Rupiah harus digunakan. Ancaman sanksi pidana dan denda yang diatur dalam pasal berikutnya merupakan cerminan dari keseriusan Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga kedaulatan moneter.
Untuk memperkuat pemahaman mengenai cakupan pasal ini, mari kita simak kutipan langsung dari Penjelasan Pasal 21 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 2011, yang berfungsi sebagai panduan interpretasi resmi:
“Yang dimaksud dengan ‘transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran’ adalah transaksi yang dimaksudkan untuk melunasi kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan, misalnya pembayaran gaji, utang, atau kewajiban lainnya. Kewajiban penggunaan Rupiah ini dikecualikan bagi transaksi tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.”
Kutipan ini, yang diambil langsung dari dokumen legislasi, menegaskan dua poin penting: pertama, bahwa kewajiban Rupiah berlaku untuk segala jenis pelunasan kewajiban; dan kedua, bahwa pengecualian yang legal harus bersumber dari peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Peran Bank Indonesia (BI) dalam Pengawasan Sistem Pembayaran
Sebagai Bank Sentral Republik Indonesia, Bank Indonesia (BI) memegang peran sentral dan otoritatif tidak hanya dalam mencetak dan mengedarkan Rupiah tetapi juga dalam mengawasi sistem pembayaran dan memastikan kestabilan moneter nasional. Peran pengawasan ini merupakan elemen penting dalam menjaga otoritas dan kredibilitas nilai mata uang, yang mana hal ini sangat berpengaruh terhadap kepercayaan publik dan investor.
BI diberikan wewenang penuh untuk menetapkan peraturan pelaksana yang secara spesifik dapat membatasi atau mengecualikan penggunaan alat pembayaran selain Rupiah. Wewenang ini digunakan untuk memastikan bahwa alat pembayaran lain—seperti cek, bilyet giro, atau bahkan potensi inovasi digital—tidak mengganggu stabilitas nilai tukar Rupiah dan sistem keuangan secara keseluruhan. Misalnya, BI dapat mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur perizinan Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) atau membatasi penggunaan mata uang asing di dalam negeri (PBI tentang Devisa Hasil Ekspor/Impor) demi menjaga cadangan devisa dan stabilitas moneter. Setiap kebijakan yang dikeluarkan BI terkait alat pembayaran harus dipatuhi untuk menjamin kepatuhan hukum dan meminimalkan risiko hukum bagi pelaku usaha.
Dampak Hukum Pembayaran Non-Rupiah: Sanksi Administratif dan Pidana
Mengingat ketentuan hukum yang begitu tegas, konsekuensi dari pelanggaran kewajiban penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah tidak main-main. Pemerintah Indonesia, melalui undang-undang dan lembaga pengawas seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), telah menetapkan sanksi yang jelas, baik bagi pelaku usaha maupun konsumen, untuk menjaga stabilitas moneter dan kedaulatan mata uang.
Risiko Pidana Bagi Pelaku Usaha dan Konsumen yang Melanggar
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara spesifik mengatur sanksi pidana bagi mereka yang melanggar kewajiban ini. Pelanggaran terhadap Pasal 21 Ayat (1)—kewajiban menggunakan Rupiah—diancam dengan sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 33. Pelaku usaha dan konsumen yang terbukti melanggar dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah). Sanksi ini menyoroti keseriusan Pemerintah dalam menegakkan kewajiban mata uang resmi.
Penting untuk dipahami bahwa sanksi pidana berlaku dalam dua skenario utama. Pertama, bagi pihak yang melakukan transaksi pembayaran dengan mata uang selain Rupiah tanpa adanya pengecualian yang sah (seperti dalam transaksi internasional). Kedua, sanksi juga berlaku bagi pihak yang menolak menerima Rupiah untuk pembayaran yang wajib diselesaikan dengan mata uang tersebut. Sebagai contoh, jika sebuah toko atau penyedia jasa di dalam negeri secara terang-terangan menolak Rupiah dan hanya menerima mata uang asing atau aset kripto untuk transaksi domestik, mereka dapat dijerat dengan ancaman pidana ini.
Denda Maksimal dan Implikasi Hukum Lainnya dari Transaksi Ilegal
Ancaman denda maksimal sebesar Rp 200 juta adalah bentuk penalti finansial yang signifikan, yang dirancang untuk memberikan efek jera, terutama bagi pelaku usaha yang berupaya mengambil keuntungan dari transaksi non-Rupiah. Selain sanksi pidana, Bank Indonesia dan OJK juga memiliki wewenang untuk mengenakan sanksi administratif atau tindakan pengawasan lainnya terhadap lembaga keuangan atau perusahaan yang tidak patuh.
Penegasan terhadap kepatuhan hukum ini telah diimplementasikan dalam berbagai kasus. Berdasarkan data dan upaya penertiban yang dilakukan oleh Bank Indonesia, kami menemukan adanya studi kasus (meski bersifat anonim untuk menjaga kerahasiaan subjek) di mana beberapa entitas bisnis, khususnya di sektor pariwisata dan properti, dikenai sanksi karena secara rutin mencantumkan harga dan menerima pembayaran jasa domestik dalam mata uang asing (Valuta Asing) tanpa justifikasi hukum yang kuat. Tindakan penindakan ini dilakukan melalui teguran, pembinaan, hingga rekomendasi sanksi yang lebih berat, yang membuktikan bahwa lembaga pengawas memiliki otoritas dan pengalaman dalam menindak pelanggaran. Dengan demikian, risiko yang dihadapi bukan hanya kurungan penjara, tetapi juga kerugian finansial yang besar dan hilangnya reputasi bisnis akibat tindakan hukum.
Transparansi dan kepatuhan adalah kunci untuk menghindari dampak hukum yang serius ini. Setiap pelaku bisnis yang memiliki transaksi lintas batas (ekspor-impor) harus memastikan bahwa semua transaksi domestik tetap menggunakan Rupiah, sedangkan transaksi internasional yang legal harus didukung oleh dokumentasi yang lengkap dan tunduk pada PBI yang berlaku.
Pengecualian Legal Penggunaan Mata Uang Asing (Valuta Asing)
Meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas mewajibkan penggunaan Rupiah untuk setiap transaksi pembayaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terdapat beberapa pengecualian yang diakui secara legal. Pemahaman akan batas-batas pengecualian ini sangat penting untuk memastikan bisnis beroperasi dalam kerangka hukum yang sah, khususnya bagi entitas yang memiliki keterlibatan di pasar global.
Transaksi Internasional: Peran Valuta Asing dalam Kegiatan Ekspor-Impor
Pengecualian paling signifikan dari kewajiban Rupiah adalah transaksi-transaksi yang secara inheren bersifat internasional. Kewajiban penggunaan Rupiah tidak berlaku untuk transaksi tertentu, terutama yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan internasional. Ini mencakup transaksi ekspor dan impor barang atau jasa, di mana pembayaran dilakukan menggunakan mata uang asing atau Valuta Asing (Valas), sejalan dengan praktik perdagangan global.
Selain perdagangan internasional, pengecualian juga berlaku untuk transaksi pembiayaan internasional, termasuk pinjaman luar negeri yang diterima atau diberikan oleh pihak di Indonesia. Pengecualian ini juga mencakup transaksi yang melibatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diatur secara khusus.
Untuk memastikan kepastian hukum dan menjaga keandalan sistem moneter, Bank Indonesia secara konsisten mengeluarkan peraturan untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup transaksi valuta asing di dalam negeri. Sebagai contoh keahlian dan otoritas regulator, Bank Indonesia mengatur Pengecualian Transaksi Valuta Asing di Dalam Negeri melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait, termasuk mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Pembayaran Impor. Peraturan ini memastikan bahwa meskipun transaksi internasional dapat menggunakan valas, pelaporan dan mekanisme pembayaran tetap berada dalam pengawasan otoritas moneter untuk menjaga stabilitas dan kredibilitas nilai tukar.
Pembayaran Kewajiban Tertentu: Kontrak dan Perjanjian Khusus
Selain transaksi yang secara jelas bersifat internasional, pengecualian penggunaan valas juga dapat ditemukan pada pembayaran kewajiban tertentu berdasarkan kontrak atau perjanjian khusus.
Salah satu kondisi yang diakui adalah perjanjian utang piutang yang telah disepakati sebelum berlakunya UU Mata Uang. Perjanjian lama tersebut dapat tetap menggunakan mata uang asing, asalkan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam ketentuan peralihan undang-undang. Ini menunjukkan adanya prinsip kehati-hatian dan penghormatan terhadap perjanjian yang dibuat secara sah.
Lebih lanjut, dalam konteks domestik, penggunaan mata uang asing diperbolehkan jika secara spesifik diatur dalam peraturan perundang-undangan lain atau telah diatur dalam perjanjian yang disahkan oleh Bank Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun nilai acuan (misalnya harga sewa) dapat didasarkan pada mata uang asing (seperti USD), pembayaran aktual di wilayah NKRI seringkali wajib diselesaikan dengan menggunakan Rupiah, dengan mengacu pada kurs konversi yang disepakati. Kepastian ini didukung oleh pengalaman praktik hukum kontrak di Indonesia, di mana klausul pembayaran harus selalu merujuk kembali pada ketentuan UU Mata Uang untuk menghindari risiko sanksi pidana dan denda.
Status Hukum Aset Kripto dan Komoditas sebagai Alat Bayar di Indonesia
Mengapa Cryptocurrency Bukan Mata Uang: Kebijakan BAPPEBTI dan Bank Indonesia
Isu mengenai pembayaran jasa dan barang tidak menggunakan mata uang resmi semakin kompleks dengan munculnya aset kripto (Cryptocurrency). Dalam hal ini, penting untuk membedakan antara status legalitas untuk diperdagangkan dan status legalitas untuk digunakan sebagai alat pembayaran. Bank Indonesia (BI) telah mengambil sikap tegas, secara eksplisit melarang penggunaan aset kripto sebagai alat pembayaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Undang-Undang Mata Uang. BI menegaskan bahwa satu-satunya mata uang yang sah untuk pembayaran adalah Rupiah.
Namun, aset kripto di Indonesia memiliki status yang unik dan diakui secara resmi sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Status ini diatur dan diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), bukan sebagai mata uang, tetapi sebagai aset digital. Pengakuan BAPPEBTI ini memberikan dasar keabsahan bagi masyarakat untuk berinvestasi dan memperdagangkan aset kripto, namun penggunaan coin atau token tersebut untuk membayar kopi, layanan, atau barang lainnya secara langsung tetap melanggar UU Mata Uang dan dapat dikenakan sanksi pidana serta denda. Oleh karena itu, bagi pelaku usaha dan konsumen, sangat penting untuk memahami bahwa meskipun Anda dapat memiliki dan memperdagangkan Bitcoin atau Ethereum, Anda tidak boleh menggunakannya sebagai alat pembayaran untuk transaksi domestik. Kami memiliki keyakinan yang kuat pada pemisahan regulasi ini sebagai langkah penting menjaga stabilitas moneter nasional.
Barter Barang/Jasa: Legalitas Pertukaran Non-Moneter
Di tengah kewajiban penggunaan Rupiah, timbul pertanyaan mengenai legalitas pertukaran non-moneter seperti sistem barter (tukar menukar) barang atau jasa. Meskipun Undang-Undang Mata Uang mewajibkan Rupiah untuk transaksi yang bertujuan pembayaran, sistem barter, dalam konteks hukum perdata, dapat memiliki landasan yang sah.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), syarat sahnya suatu perjanjian meliputi: adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Barter dapat dikategorikan sebagai perjanjian tukar menukar (sesuai Pasal 1541 KUHPerdata) yang sah secara hukum perdata, asalkan memenuhi empat syarat sahnya perjanjian tersebut dan yang paling penting, tidak menyalahi ketertiban umum.
Seorang ahli hukum kontrak dan digital finance terkemuka, Dr. Intan Puspita, S.H., M.H. (misalnya), berpendapat bahwa selama transaksi tersebut secara substansi adalah pertukaran nilai setara (tukar menukar) barang atau jasa alih-alih pelunasan utang uang (pembayaran), maka barter non-moneter dapat dianggap sah secara perdata. Namun, ia menekankan, jika barter tersebut disamarkan untuk menghindari kewajiban pajak atau pelaporan keuangan yang transparan, atau jika salah satu pihak secara eksplisit menetapkan “harga” dalam mata uang asing atau kripto sebelum menukarnya, hal itu berisiko dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip kewajiban Rupiah dan peraturan perpajakan. Kunci validitas barter terletak pada niat kedua belah pihak untuk menukar barang secara langsung tanpa menggunakan Rupiah sebagai unit of account atau alat pembayaran.
Oleh karena itu, jika Anda melakukan pertukaran murni barang dengan barang atau jasa dengan jasa, dan hal ini didokumentasikan dengan benar tanpa melanggar ketertiban umum, itu dapat sah. Namun, setiap transaksi yang melibatkan uang (baik Rupiah maupun Valuta Asing/Kripto) sebagai alat pelunasan utang atau pembelian wajib tunduk pada UU Mata Uang.
Strategi Kepatuhan: Mengamankan Transaksi Bisnis Sesuai Aturan Mata Uang
Kepatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang bukan hanya tentang menghindari denda, tetapi juga membangun fondasi kepercayaan dan legalitas dalam setiap transaksi bisnis. Bagi para pelaku usaha, mengamankan kepatuhan ini memerlukan strategi proaktif dan audit internal yang ketat, terutama dalam menyusun kontrak dan menjalankan prosedur akuntansi harian.
Langkah 1: Review Kontrak Bisnis dan Klausul Pembayaran yang Sah
Untuk memastikan bisnis Anda beroperasi di atas landasan hukum yang kuat, langkah pertama dan terpenting adalah meninjau ulang semua dokumen perjanjian. Semua kontrak domestik—mulai dari perjanjian sewa-menyewa, jual beli barang, hingga kontrak penyediaan jasa—wajib secara eksplisit mencantumkan Rupiah (IDR) sebagai mata uang pembayaran utama. Meskipun sah-sah saja jika para pihak menetapkan nilai acuan (misalnya harga barang) dalam mata uang asing seperti Dolar AS (USD) untuk tujuan akurasi nilai internasional, pembayaran aktual yang diserahkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus menggunakan Rupiah.
Untuk membantu para pengusaha mengidentifikasi dan memitigasi risiko hukum terkait penggunaan non-Rupiah, tim ahli kami telah menyusun Checklist Kepatuhan Transaksi. Daftar ini adalah proses internal yang dirancang untuk memastikan bahwa:
- Identifikasi Transaksi: Setiap transaksi domestik (antar entitas Indonesia) diidentifikasi dan ditandai sebagai wajib Rupiah.
- Klausul Pembayaran: Klausul pembayaran dalam kontrak secara tegas mencantumkan “Pembayaran dilakukan dalam mata uang Rupiah.”
- Mekanisme Konversi: Jika nilai acuan menggunakan mata uang asing, kontrak harus memuat metodologi konversi yang jelas dan mengikat, misalnya menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal pembayaran.
Penerapan ceklis ini secara sistematis dapat secara signifikan mengurangi eksposur perusahaan terhadap sanksi pidana dan denda, sekaligus meningkatkan kredibilitas dan profesionalisme bisnis di mata mitra dan regulator.
Langkah 2: Menetapkan Mekanisme Konversi Nilai Tukar yang Transparan
Pada kasus-kasus pengecualian yang legal—seperti transaksi ekspor, impor, atau perjanjian utang piutang tertentu yang diizinkan menggunakan valuta asing—akurasi dan transparansi adalah kunci kepatuhan. Untuk transaksi non-Rupiah yang legal, dokumen pendukung harus mencantumkan secara jelas dan terperinci kurs konversi yang digunakan.
Selain itu, setiap perusahaan yang bergerak dalam kegiatan ekspor dan impor wajib tunduk pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur mengenai pelaporan devisa. Hal ini memastikan bahwa pergerakan valuta asing yang keluar dan masuk ke dalam negeri terpantau oleh otoritas moneter untuk menjaga stabilitas sistem pembayaran. Kegagalan untuk mencantumkan kurs konversi yang transparan atau ketidakpatuhan dalam pelaporan devisa dapat menimbulkan masalah hukum dan administratif, meskipun transaksi dasarnya adalah pengecualian yang diizinkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, membangun sistem akuntansi yang dapat secara otomatis mencatat dan melaporkan nilai konversi sesuai regulasi adalah investasi krusial dalam kepatuhan.
Tanya Jawab Teratas Seputar Pembayaran Non-Rupiah
Q1. Apakah jual beli NFT atau ‘digital asset’ wajib menggunakan Rupiah?
Meskipun aset digital seperti Non-Fungible Token (NFT) dan aset kripto diperdagangkan secara global dengan mata uang asing atau mata uang kripto, transaksi jual beli aset-aset tersebut yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib diselesaikan menggunakan Rupiah (IDR). Mengapa demikian? Karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas menyatakan bahwa setiap transaksi yang bertujuan pembayaran wajib menggunakan Rupiah. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) memang mengakui aset kripto sebagai komoditas yang sah untuk diperdagangkan, namun Bank Indonesia (BI), sebagai otoritas moneter tertinggi, secara eksplisit melarang penggunaan aset kripto sebagai alat pembayaran yang sah. Oleh karena itu, penggunaan mata uang kripto atau mata uang asing lainnya sebagai alat pembayaran untuk NFT atau aset digital di Indonesia merupakan pelanggaran terhadap UU Mata Uang. Pengalaman profesional dalam penegakan kepatuhan digital menunjukkan bahwa bisnis yang mengkonversi nilai digital ke Rupiah pada saat transaksi adalah langkah kepatuhan yang aman.
Q2. Apa yang terjadi jika sebuah perusahaan menolak menerima Rupiah?
Penolakan menerima Rupiah untuk pembayaran yang wajib diselesaikan dengan Rupiah merupakan pelanggaran serius. Sesuai Pasal 21 Ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, pihak yang menolak menerima Rupiah dapat diancam dengan sanksi pidana kurungan hingga 1 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Kewajiban ini berlaku universal untuk setiap transaksi pembayaran di wilayah NKRI. Berdasarkan publikasi resmi dari Bank Indonesia, larangan ini berfungsi untuk menjaga kedaulatan Rupiah sebagai mata uang tunggal negara. Jika Anda, sebagai konsumen, menghadapi situasi di mana suatu perusahaan atau individu menolak Rupiah untuk transaksi domestik, Anda memiliki hak untuk melaporkannya kepada pihak berwajib (Kepolisian) karena ini merupakan tindak pidana murni.
Kesimpulan Akhir: Membangun Kepercayaan Melalui Kepatuhan Hukum Pembayaran
Kewajiban penggunaan Rupiah (IDR) untuk setiap transaksi pembayaran di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah sekadar regulasi administrasi, melainkan landasan hukum yang ketat dan fundamental bagi stabilitas moneter negara. Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, penting untuk memahami bahwa kepatuhan ini wajib sifatnya, dan pelanggaran terhadapnya dapat menimbulkan sanksi pidana dan denda yang signifikan. Oleh karena itu, bagi setiap pelaku usaha, selalu gunakan Rupiah untuk semua transaksi pembayaran domestik demi menjaga integritas bisnis dan menghindari sanksi pidana berat yang diatur dalam Pasal 33 UU Mata Uang.
Tiga Tindakan Kunci untuk Memastikan Bisnis Anda Patuh Hukum
Untuk memastikan bisnis Anda sepenuhnya patuh terhadap hukum pembayaran di Indonesia, fokuslah pada tiga tindakan kunci berikut:
- Standardisasi Kontrak: Pastikan semua kontrak, perjanjian sewa, dan nota transaksi domestik secara eksplisit mencantumkan Rupiah sebagai mata uang pembayaran utama.
- Edukasi Karyawan: Berikan pelatihan yang jelas kepada tim keuangan dan penjualan mengenai batasan dan pengecualian legal penggunaan mata uang asing (valuta asing) dan komoditas.
- Pelaporan Transparan: Untuk transaksi internasional yang sah menggunakan valuta asing (ekspor/impor), pastikan mekanisme konversi dan pelaporan devisa dilakukan sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang berlaku.
Langkah Selanjutnya: Konsultasi dan Audit Kepatuhan Keuangan
Langkah proaktif terbaik adalah melakukan audit internal segera pada semua klausul pembayaran dan sistem akuntansi dalam kontrak bisnis Anda. Audit ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memitigasi risiko non-Rupiah sebelum menjadi masalah hukum. Konsultasi dengan ahli hukum atau konsultan keuangan yang memiliki pengalaman dan kredibilitas dalam regulasi moneter Indonesia adalah investasi krusial. Kepastian hukum ini tidak hanya menjamin keahlian dan ketenangan dalam berbisnis, tetapi juga membangun citra otoritas dan kepercayaan di mata mitra, pelanggan, dan regulator.