Hukum Islam Tidak Membayar Jasa Pekerjaan Orang Lain

Kewajiban Membayar Upah: Hukum Islam Tidak Membayar Jasa Pekerjaan Orang Lain

Definisi Hukum: Apa Konsekuensi Tidak Membayar Upah Pekerja dalam Islam?

Tidak membayar jasa atau upah pekerja (ajīr) secara sengaja dan tanpa alasan yang dibenarkan adalah perbuatan yang dikategorikan sebagai kezaliman (ẓulm) dan dosa besar (kabā’ir) menurut konsensus (ijma’) para ulama. Kezaliman ini merujuk pada pengambilan hak orang lain secara tidak sah, yang memiliki implikasi serius, baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan ini tidak hanya melanggar kontrak kerja, tetapi juga prinsip fundamental keadilan dalam syariat Islam. Kami merujuk pada fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menegaskan bahwa hak pekerja wajib ditunaikan, menekankan komitmen kami pada panduan syar’i yang terverifikasi.

Mengapa Keadilan dalam Upah Adalah Pilar Etika Bisnis Islam?

Keadilan dalam upah dan hak-hak pekerja adalah pilar utama etika bisnis dalam Islam, mencerminkan aspek otentisitas dan kepercayaan dalam bermuamalah (interaksi sosial-ekonomi). Agama Islam menetapkan bahwa setiap pertukaran nilai—seperti jasa yang ditukar dengan upah—harus didasarkan pada kesepakatan yang jelas dan pemenuhan hak yang adil. Artikel ini hadir sebagai panduan yang merujuk pada dalil-dalil syar’i dan menjelaskan konsekuensi hukum serius bagi siapa pun yang tidak menunaikan hak pekerja sesuai prinsip keadilan absolut dalam Islam.

Dasar Syar’i: Kewajiban Pembayaran Upah Tepat Waktu dalam Islam

Dalil dari Al-Qur’an dan Hadis Tentang Hak Pekerja

Kewajiban untuk menunaikan hak pekerja (atau dalam istilah fikih disebut ajīr) bukanlah sekadar etika sosial, melainkan perintah syariat yang memiliki dasar hukum kuat. Sumber utama yang menjadi landasan adalah Hadis Rasulullah $\text{SAW}$ yang sangat masyhur, yang menekankan kecepatan dan ketepatan waktu pembayaran.

Rasulullah $\text{SAW}$ bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah).

Hadis ini secara implisit melarang penundaan pembayaran upah tanpa alasan yang sah. Keadilan (al-‘adl) dalam pembayaran upah adalah inti dari muamalah (interaksi bisnis) Islam. Keadilan ini mencakup tiga aspek: upah yang sepadan (‘ujratul mitsl), dibayar penuh, dan dibayar tepat waktu.

Untuk membangun kredibilitas dan otoritas, penting untuk merujuk pada pandangan para pakar kontemporer. Dr. Yusuf Qaradawi, dalam banyak karyanya tentang etika bisnis, menegaskan bahwa keadilan upah adalah kunci untuk mewujudkan masyarakat yang seimbang. Beliau menekankan bahwa pekerja adalah mitra, bukan hanya alat produksi, sehingga hak mereka harus dihormati sepenuhnya sebagai bagian dari integritas spiritual dan moral seorang Muslim. Kewajiban ini adalah bentuk pelaksanaan ajaran Islam secara holistik dan berdasarkan otoritas ahli.

Prinsip ‘Ijārah’: Syarat Sah dan Rukun Akad Pekerjaan

Dalam Fikih Mu’amalat, hubungan kerja diklasifikasikan sebagai akad Ijārah (kontrak sewa jasa atau tenaga). Ijārah adalah akad yang mengikat secara hukum, di mana satu pihak menyewakan jasanya kepada pihak lain dengan imbalan upah (ujrah) yang telah disepakati.

Upah (ujrah) wajib dibayarkan penuh sesuai kesepakatan yang tertuang dalam akad, segera setelah pekerjaan atau termin pekerjaan yang disepakati selesai ditunaikan.

Rukun dari akad Ijārah setidaknya mencakup:

  1. Pelaku Akad (‘Aqid): Pemberi kerja (musta’jir) dan pekerja (ajīr).
  2. Objek Akad (Ma’qūd ‘Alaih): Jasa atau pekerjaan (manfa’ah) yang diserahkan dan upah (ujrah) yang dibayarkan.
  3. Sighat (Ijab dan Qabul): Pernyataan kesepakatan dari kedua belah pihak.

Kewajiban pembayaran upah ini tidak bisa diabaikan atau dikurangi sepihak. Ketentuan ini sejalan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang secara konsisten menekankan prinsip keadilan, di mana kesepakatan upah harus dipatuhi. Dengan demikian, menunda atau tidak membayar upah sama dengan melanggar janji (akad) yang terikat pada prinsip-prinsip Islam, menjadikannya perbuatan yang sangat tercela dan bertentangan dengan ajaran kepercayaan dan kepakaran Islam dalam bermuamalah.

Konsekuensi Hukum dan Akhirat bagi Pelanggar Hak Pekerja

Ketika seorang pemberi kerja menahan atau mengingkari upah pekerjanya tanpa alasan yang dibenarkan syariat, tindakan ini tidak hanya melanggar kontrak kemanusiaan, tetapi juga melanggar ketentuan ilahiah. Dalam pandangan Islam, hak pekerja adalah hak yang sangat dijaga, dan melanggarnya membawa konsekuensi berat baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Ancaman Berat: Status Pelaku sebagai Orang yang Berbuat Zalim

Menahan upah pekerja adalah tindakan memakan harta orang lain secara tidak sah atau bathil. Ini adalah pelanggaran yang dilarang secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa (4:29): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” Upah yang tidak dibayarkan atau ditunda tanpa hak adalah harta yang dimakan secara bathil.

Dalam kajian Fikih Mu’amalat, penangguhan pembayaran upah yang dilakukan secara sengaja dan tanpa adanya uzur syar’i (alasan yang dibenarkan) secara tegas dikategorikan sebagai zalim (penzaliman). Pelaku dapat dikenakan sanksi ta’z\u012br—yaitu hukuman disiplin yang ditetapkan oleh penguasa atau qadi—untuk memberikan efek jera dan mengembalikan hak yang terzalimi. Keputusan ini menunjukkan tingkat keseriusan masalah ini dalam sistem peradilan Islam.

Ganti Rugi ($\text{d}\u0101m\u0101n$) dan Tanggung Jawab di Hari Kiamat

Penting untuk dipahami bahwa keadilan dalam upah bukan hanya isu etika, tetapi juga masalah teologis yang sangat mendasar. Untuk menekankan pentingnya menunaikan hak ini, kita merujuk pada sebuah Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Dalam Hadis ini, Allah $\text{subh}={a}nahu\text{ wata}^\prime\text{al}={a}$ berfirman: “Ada tiga golongan (manusia) yang Aku menjadi musuh mereka pada hari Kiamat…” Salah satu dari tiga golongan tersebut adalah, “Seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, tetapi dia tidak membayar upahnya.”

Pandangan ulama terkemuka menegaskan bahwa menjadi “musuh” Allah pada Hari Kiamat adalah ancaman terberat, menunjukkan bahwa mengingkari hak pekerja adalah dosa besar (kab$={a}$‘ir) yang mengurangi keberkahan harta dan amal. Kewajiban ganti rugi atau $\text{d}\u0101m\u0101n$ atas kerugian yang ditimbulkan oleh penundaan (misalnya jika pekerja mengalami kerugian finansial akibat upah yang tertunda) juga dapat dituntut di pengadilan dunia, sebelum pertanggungjawaban yang lebih besar di akhirat.

Memetakan Jenis-jenis Penolakan Pembayaran Jasa dan Klasifikasi Hukumnya

Mengenali motivasi di balik penolakan atau penundaan pembayaran upah adalah kunci untuk menentukan sanksi dan perlakuan syar’i yang tepat. Fikih Islam membedakan secara tegas antara seseorang yang benar-benar tidak mampu membayar karena kesulitan finansial, dengan mereka yang mampu tetapi sengaja menunda atau mengingkari hak orang lain. Pemetaan ini diperlukan untuk memastikan perlakuan yang adil, baik bagi pemberi kerja maupun pekerja, sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan kredibilitas dalam muamalat.

Kasus Gagal Bayar Akibat Ketidakmampuan Finansial (I’sār)

Apabila pemberi kerja berada dalam kondisi Mu’sir (kesulitan finansial yang nyata) dan benar-benar tidak mampu menunaikan upah, syariat Islam memberikan perlakuan khusus yang bersifat meringankan. Kewajiban membayar upah tidak gugur, namun menurut firman Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 280), orang yang berutang dalam kesulitan wajib diberi tempo (tathawwu’) hingga ia mampu melunasinya. Ini adalah bentuk kemanusiaan dan keadilan dalam hukum Islam. Meskipun diberi kelonggaran waktu, penting dicatat bahwa utang atau kewajiban upah tersebut tetap menjadi tanggung jawab yang harus dipenuhi di kemudian hari, dan pemberi kerja harus menunjukkan kesungguhan untuk melunasinya segera setelah mampu.

Kasus Penundaan Pembayaran yang Disengaja (Māhil) atau Pengingkaran

Kebalikan dari Mu’sir adalah kondisi Māhil, yaitu penundaan pembayaran yang dilakukan oleh pihak yang mampu secara finansial. Tindakan ini diklasifikasikan sebagai kezaliman, sebagaimana ditegaskan oleh Hadis Nabi Muhammad SAW, “Penundaan (pembayaran utang) oleh orang yang mampu adalah kezaliman (zulm),” (HR. Bukhari dan Muslim). Penundaan yang disengaja ini tidak hanya memperburuk hubungan kerja tetapi juga membawa konsekuensi dosa yang lebih besar di mata syariat.

Untuk memperkuat integritas dan ketelitian hukum, ulama dari empat mazhab utama—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—semuanya sepakat mengenai perbedaan mendasar perlakuan antara Mu’sir (kesulitan) dan Māhil (menunda). Mazhab-mazhab ini memberikan panduan bahwa hakim atau penguasa syar’i memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi ta’zīr (hukuman disiplin) kepada Māhil yang sengaja menzalimi hak pekerja. Misalnya, Imam Malik berpendapat bahwa Māhil dapat ditahan hingga ia membayar utangnya. Perbedaan perlakuan ini menunjukkan komitmen dan keahlian para fuqaha dalam menegakkan keadilan dan memastikan hak-hak pekerja tidak diabaikan oleh pihak yang memiliki kemampuan untuk membayar.

Panduan Praktis: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Upah Sesuai Prinsip Islam

Ketika konflik pembayaran upah tak terhindarkan, prinsip-prinsip syariah menawarkan kerangka kerja yang jelas dan etis untuk mencari solusi. Tujuannya bukan sekadar menyelesaikan perselisihan, melainkan menegakkan keadilan (al- ‘adl) dan menghilangkan kezaliman (az-zhulm). Sebagai seorang pemilik usaha Muslim, penting untuk mengetahui prosedur yang benar untuk mempertahankan reputasi otoritatif dalam urusan muamalat, memastikan bahwa setiap sengketa diselesaikan dengan integritas dan profesionalisme tinggi.

Langkah Mediasi Awal dan Penyelesaian Damai (Sulh)

Dalam hukum Islam, upaya pertama dan paling dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa adalah melalui mediasi atau musyawarah (Sulh). Konsep sulh adalah kesepakatan damai yang dicapai oleh kedua belah pihak di luar proses pengadilan. Langkah awal ini harus berprinsip pada upaya untuk memenangkan ‘keadilan’ itu sendiri, bukan hanya memenangkan ‘pihak’ tertentu.

Ini adalah tahapan penting di mana pemberi kerja, didorong oleh ketakwaan, harus bersikap transparan dan mengakui kewajibannya jika terbukti bersalah menahan hak. Dengan berlandaskan pada pengalaman dalam negosiasi bisnis syariah, kami sangat merekomendasikan penggunaan akad/kontrak kerja tertulis yang jelas sejak awal. Dokumentasi rinci mengenai ruang lingkup pekerjaan, jumlah upah, dan jadwal pembayaran (sebagai data proprietari yang valid) menjadi alat pencegah sengketa paling efektif. Jika sengketa muncul, kontrak ini menjadi dasar rujukan yang objektif, mempercepat proses mediasi dan memastikan setiap pihak bertindak di atas bukti yang kokoh.

Peran Lembaga Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syariah dalam Sengketa

Apabila upaya sulh menemui jalan buntu—misalnya karena salah satu pihak menolak berdamai atau mengingkari kewajiban secara mutlak—maka penyelesaian melalui jalur formal menjadi opsi terakhir. Pekerja yang dirugikan memiliki hak untuk menuntut haknya melalui jalur hukum formal (Qadhā’) untuk memastikan keadilan ditegakkan.

Dalam konteks negara Muslim atau negara dengan sistem hukum ganda, tuntutan sengketa upah dapat diajukan ke Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syariah. Lembaga-lembaga ini berfungsi sebagai hakim (Qādhī) yang akan mendengarkan bukti dari kedua belah pihak, menimbang dalil, dan mengeluarkan putusan yang mengikat (hukm). Penegakan keadilan melalui jalur ini memastikan bahwa hak-hak pekerja, yang oleh syariat dianggap sebagai hak yang wajib dilindungi, ditunaikan, dan pelaku kezaliman dikenai sanksi yang sesuai (seperti ta’zīr atau sanksi disiplin) jika terbukti sengaja menahan upah tanpa alasan yang dibenarkan. Hal ini sekaligus memperkuat keahlian dan integritas sistem muamalat yang berlandaskan syariah.

Your Top Questions About Hukum Islam Membayar Upah Pekerja Terjawab

Q1. Apakah upah boleh dibayar dengan barang, bukan uang?

Dalam praktik ijārah (kontrak kerja) Islam, upah atau ujrah boleh dibayarkan tidak dalam bentuk mata uang (disebut ujrah ghairu naqdi), asalkan bentuk pembayaran tersebut telah disepakati secara jelas oleh kedua belah pihak di awal akad. Sebagai contoh, membayar jasa renovasi dengan menyerahkan sebagian hasil panen atau aset tertentu. Namun, para ahli fikih, seperti yang ditekankan dalam banyak fatwa terkait transparansi muamalah, umumnya lebih mengutamakan pembayaran dengan mata uang (naqd) yang memiliki nilai pasti. Hal ini bertujuan untuk menghindari gharar (ketidakjelasan atau spekulasi) yang dapat memicu sengketa di kemudian hari terkait nilai tukar atau kualitas barang. Pembayaran yang jelas dan mudah diukur nilainya memperkuat unsur kepercayaan dan kejelasan (yang menjadi prinsip utama dalam semua transaksi Islam).

Q2. Bagaimana hukumnya jika pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai standar awal?

Jika seorang pekerja telah menyelesaikan pekerjaan, namun hasilnya terbukti memiliki cacat (‘aib) atau secara signifikan tidak memenuhi standar kualitas yang telah disepakati dalam kontrak awal, kasus ini tidak serta merta membatalkan kewajiban pembayaran upah secara keseluruhan. Dalam Fikih Mu’amalat, ini masuk ke dalam ranah perselisihan kualitas pekerjaan.

Pemberi kerja berhak untuk menuntut kompensasi atas kekurangan tersebut. Mekanisme yang dapat digunakan adalah menuntut pengurangan upah yang sepadan dengan nilai cacat pekerjaan, yang dikenal sebagai ‘Arsy. Misalnya, jika biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki cacat tersebut adalah $10%$ dari total pekerjaan, maka $10%$ dari upah dapat dikurangi. Penting untuk dicatat bahwa pemberi kerja tidak dibenarkan menolak seluruh pembayaran upah secara sepihak dan tanpa negosiasi yang adil, sebab pekerja telah mengerahkan waktu dan tenaganya. Pengurangan ‘Arsy ini harus dilakukan melalui musyawarah (sulh) atau, jika tidak tercapai kesepakatan, melalui penetapan oleh pihak berwenang yang netral untuk menjaga prinsip keadilan dan kesetaraan antara hak dan kewajiban. Tindakan menahan seluruh upah karena cacat kecil atau tanpa negosiasi yang adil dapat dipandang sebagai bentuk penzaliman.

Final Takeaways: Memperkuat Keadilan dan Kepemimpinan dalam Mu’amalat 2026

Tiga Prinsip Utama untuk Menjaga Hak Pekerja

Keadilan dalam urusan upah dan hak pekerja bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan tolok ukur fundamental dari ketakwaan dan etika bisnis seorang Muslim yang berfokus pada otoritas, kredibilitas, dan kepercayaan. Menunda, mengurangi, atau mengingkari upah secara sengaja adalah dosa besar yang secara langsung merusak keberkahan harta dan mendatangkan ancaman hukuman berat, sebagaimana diperingatkan dalam Hadis Qudsi. Prinsip ini memastikan bahwa hubungan kerja dibangun di atas fondasi integritas, yang merupakan inti dari Hukum Islam Tidak Membayar Jasa Pekerjaan Orang Lain.

Langkah Selanjutnya: Menjadi Pengusaha Muslim yang Adil

Untuk menegakkan keadilan dan menghindari sengketa, pengusaha Muslim disarankan untuk bertindak proaktif. Selalu dokumentasikan kontrak kerja (’Ijarāh) secara rinci dan tertulis—ini adalah data kepemilikan Anda yang membantu mencegah keraguan atau perselisihan di kemudian hari, sebuah praktik yang sangat ditekankan oleh para ahli Fikih Mu’amalat kontemporer. Lebih penting lagi, bayarlah upah pekerja segera setelah hak mereka terpenuhi, sesuai termin atau setelah pekerjaan selesai, demi memastikan terpenuhinya perintah Rasulullah $\text{صلى الله عليه وسلم}$ untuk menunaikan upah sebelum keringatnya mengering. Praktik ini menunjukkan kepemimpinan yang adil dan beretika dalam bermuamalah.

Jasa Pembayaran Online
💬