Fatwa DSN 101: Panduan Pembayaran Jasa Syariah (60 Chars)
Memahami Fatwa DSN 101: Aturan Pembayaran Jasa (Ujrah)
Apa Itu Fatwa DSN Nomor 101 tentang Pembayaran Jasa?
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 101 tahun 2016 secara khusus mengatur ketentuan mendasar mengenai pembayaran biaya atas jasa, yang dikenal sebagai ujrah, yang disediakan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Regulasi ini mencakup berbagai institusi, mulai dari bank syariah, asuransi syariah, hingga lembaga pembiayaan syariah lainnya. Menurut DSN, ujrah adalah imbalan yang diterima oleh LKS sebagai kompensasi yang sah dan jelas atas pelayanan jasa, bukan sebagai keuntungan dari transaksi jual beli atau bagi hasil. Kejelasan regulasi ini sangat penting untuk memastikan praktik yang kredibel dan dapat dipercaya dalam industri keuangan Islam.
Mengapa Regulasi Ini Penting untuk Kepercayaan Transaksi Syariah?
Regulasi ini memiliki implikasi praktis yang besar, terutama dalam memastikan kepatuhan dan kejelasan setiap akad yang dilakukan. Artikel ini akan membedah secara mendalam dasar hukum dari Al-Qur’an dan Hadis, serta implikasi praktis Fatwa DSN 101. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang utuh agar setiap transaksi yang melibatkan ujrah di LKS terhindar dari unsur gharar (ketidakjelasan) dan memperkuat otoritas serta pengalaman institusi keuangan syariah dalam menjamin keadilan bagi nasabah. Dengan mematuhi fatwa ini, LKS menunjukkan komitmennya pada prinsip-prinsip syariah, yang pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan publik.
Membongkar Dasar Hukum dan Prinsip Utama Fatwa 101
Dalil Syariah: Sumber Hukum di Balik Penetapan Fatwa 101
Penetapan suatu fatwa oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) selalu didasarkan pada sumber hukum Islam yang otoritatif, dan Fatwa DSN Nomor 101 Tahun 2016 tidak terkecuali. Landasan hukum utama fatwa ini bersumber dari Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan erat dengan konsep upah atau imbalan jasa, khususnya dalam konteks akad Ijarah (sewa-menyewa jasa).
Salah satu rujukan kuat dalam Al-Qur’an adalah QS. At-Talaq ayat 6, yang secara umum mengatur tentang pemberian upah yang layak: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka itu (istri-istri yang sudah ditalak) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu, maka berikanlah upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” Ayat ini mengindikasikan prinsip dasar kebolehan dan kewajiban membayar imbalan (upah) atas suatu jasa yang telah diberikan.
Untuk memastikan pemahaman yang akurat mengenai regulasi ini, penting untuk merujuk langsung pada teks Fatwa DSN 101 itu sendiri. Dalam Bab II, Ketentuan Umum, Pasal 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ujrah adalah “Imbalan yang disepakati untuk diberikan atas jasa yang diberikan oleh LKS”. Ketentuan ini memperkuat bahwa pembayaran yang diatur dalam fatwa ini adalah kompensasi atas layanan spesifik yang disediakan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yang harus tunduk pada kerangka syariah.
Prinsip Keadilan dan Transparansi dalam Penentuan Ujrah
Prinsip keadilan (‘adl) dan transparansi adalah fondasi utama dalam penentuan besaran ujrah dalam setiap transaksi syariah. Keadilan di sini berarti bahwa imbalan yang dibayarkan harus wajar dan proporsional dengan jenis serta tingkat kerumitan jasa yang diberikan oleh LKS.
Ujrah wajib didasarkan pada kesepakatan yang jelas dan eksplisit di awal akad (akad ijarah). Artinya, nasabah harus mengetahui secara pasti besaran biaya jasa yang harus dibayarkan sebelum transaksi layanan dilakukan. Prinsip transparansi ini menghindarkan nasabah dari ketidakjelasan biaya tersembunyi.
Satu hal yang menjadi perhatian penting dalam Fatwa 101 adalah pemisahan ujrah dari hasil atau profit usaha. Penentuan ujrah tidak boleh secara langsung terkait dengan hasil atau profit usaha yang diperoleh nasabah dari dana yang dipinjam atau diinvestasikan. Misalnya, biaya administrasi atas pembiayaan tidak boleh ditentukan sebagai persentase laba proyek nasabah. Pengecualian prinsip ini hanya berlaku pada akad yang memang berbasis bagi hasil (profit sharing) atau bagi rugi (loss sharing), seperti akad musyarakah (kemitraan) atau mudharabah (kerja sama modal), di mana imbalan LKS adalah bagi hasil (nisbah) yang ditentukan dari profit usaha, bukan ujrah atas jasa. Dalam akad ujrah murni, imbalan harus tetap menjadi biaya tetap atau biaya yang ditentukan secara wajar, terlepas dari sukses atau gagalnya usaha nasabah.
Klasifikasi Jenis Jasa dan Imbalan (Ujrah) dalam Fatwa
Fatwa DSN No. 101/2016 secara eksplisit mengatur tata cara penentuan dan pembayaran imbalan (ujrah) berdasarkan jenis jasa yang disediakan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Klasifikasi ini sangat krusial karena mekanisme perhitungan ujrah untuk satu jenis jasa tidak bisa disamakan dengan jenis jasa lainnya. Sebagai contoh, jasa yang memiliki risiko (risk-bearing) akan memiliki ketentuan imbalan yang berbeda dengan jasa murni administratif (non-risk-bearing). Penentuan ini memastikan bahwa setiap imbalan yang diterima LKS memiliki justifikasi syariah yang kuat dan sesuai dengan prinsip kesetaraan pertukaran (‘iwadh).
Jasa Berbasis Risiko dan Jasa Non-Risiko: Perbedaan Fundamental
Fatwa 101 membedakan jenis-jenis jasa menjadi kategori utama, yang secara langsung menentukan mekanisme perhitungan dan pembayarannya. Perbedaan utama terletak pada apakah LKS menanggung potensi kerugian atau risiko dalam menyediakan layanan tersebut.
- Jasa Non-Risiko: Ini adalah jasa administratif atau pelayanan murni, seperti jasa transfer dana, pembayaran tagihan, atau administrasi umum. Imbalan (ujrah) yang diterima di sini adalah kompensasi atas waktu, tenaga, dan sumber daya yang digunakan LKS, misalnya biaya administrasi bulanan. Karena tidak ada risiko kerugian yang ditanggung LKS, imbalan ini cenderung bersifat tetap, nominal, dan disepakati di awal.
- Jasa Berbasis Risiko: Ini adalah layanan di mana LKS menempatkan modal atau reputasinya dalam risiko. Contoh paling jelas adalah jasa kafalah (penjaminan), di mana LKS menjamin kewajiban pihak ketiga. Imbalan yang diterima sebagai ujrah pada jasa ini mencerminkan kompensasi atas penanggungan risiko tersebut, dan harus ditetapkan secara wajar, terlepas dari hasil atau keberhasilan transaksi yang dijamin.
Dengan mengelompokkan jenis jasa, Fatwa DSN 101 memberikan landasan yang kuat bagi LKS untuk merinci dan memisahkan penghasilan mereka, yang merupakan langkah fundamental dalam membangun transparansi dan kepatuhan syariah institusi keuangan.
Perbandingan Model Imbalan: Ujrah Muqabalah vs. Ujrah Ghair Muqabalah
Dalam struktur akad Ijarah (sewa-menyewa jasa), terdapat dua model imbalan utama yang relevan dengan ketentuan Fatwa 101: Ujrah Muqabalah dan Ujrah Ghair Muqabalah.
Model Ujrah Muqabalah adalah imbalan yang diterima LKS sebagai kompensasi langsung atas jasa yang telah diberikan. Ini adalah bentuk ujrah yang paling umum dan jelas. Contohnya termasuk biaya administrasi bulanan rekening tabungan, biaya penarikan tunai di ATM bank lain, atau biaya notaris yang diurus oleh bank. Ujrah ini merupakan imbalan wajib yang timbul dari jasa yang jelas dan terdefinisi.
Untuk memperkuat pemahaman mendalam tentang prinsip imbalan jasa dalam keuangan syariah, penting untuk membandingkan ketentuan ujrah pada Fatwa DSN 101 dengan Fatwa DSN No. 84. Fatwa DSN No. 84/2012 mengatur Pedoman Pelaksanaan Ijarah Maufushah Fi Zimmah, yaitu sewa-menyewa jasa yang spesifikasinya ditentukan, tetapi objek jasanya belum ada saat akad. Kedua fatwa ini memiliki benang merah yang sama: imbalan (ujrah) harus jelas, transparan, dan disepakati di awal, serta hanya boleh dikenakan atas jasa yang telah disepakati, bukan sebagai tambahan atas pokok hutang atau pembiayaan. Fatwa 101 menegaskan bahwa ujrah harus menjadi kompensasi atas pelayanan, bukan cost of money.
Sementara itu, Ujrah Ghair Muqabalah mengacu pada imbalan yang bukan merupakan kompensasi langsung atas jasa spesifik yang telah diberikan LKS, melainkan bisa berupa hadiah atau sumbangan sukarela. Namun, fokus utama implementasi Fatwa DSN 101 dalam praktik LKS adalah memastikan bahwa semua fee-based income utama (pendapatan berbasis biaya) dikategorikan sebagai Ujrah Muqabalah yang jelas dasarnya. Hal ini esensial untuk menjaga prinsip keadilan dan menghindari gharar (ketidakjelasan) dalam transaksi syariah, menjamin kepatuhan dan kepercayaan nasabah terhadap produk perbankan syariah.
Penerapan Praktis Fatwa DSN 101 pada Lembaga Keuangan Syariah
Fatwa DSN Nomor 101/2016 tidak hanya memberikan kerangka teori, tetapi juga mengatur secara ketat bagaimana Lembaga Keuangan Syariah (LKS) harus menjalankan praktik penetapan imbalan jasa mereka di lapangan. Implementasi yang konsisten dan akuntabel adalah kunci untuk memastikan setiap transaksi memenuhi prinsip keadilan dan transparansi yang disyaratkan oleh syariat. Kepatuhan terhadap aturan ini secara langsung mencerminkan komitmen LKS terhadap otoritas dan amanah dalam operasionalnya.
Implikasi Pembayaran Jasa dalam Produk Pembiayaan (Murabahah & Ijarah)
Dalam produk pembiayaan yang umum, seperti Murabahah (jual beli barang dengan margin keuntungan yang disepakati) dan Ijarah (sewa-menyewa jasa atau aset), Fatwa 101 memberikan panduan spesifik mengenai biaya-biaya yang boleh dikenakan oleh LKS.
Secara prinsip, dalam pembiayaan $Murabahah$, LKS diperbolehkan membebankan biaya administrasi. Namun, biaya ini harus memenuhi kriteria yang ketat: bersifat nominal, wajar, dan ditetapkan di awal akad. Yang paling penting, biaya administrasi tersebut tidak boleh menjadi sumber profit utama bagi LKS. Pendapatan utama LKS dari akad Murabahah adalah margin keuntungan (ribh) dari harga jual, bukan dari biaya administrasi. Batasan ini penting untuk membedakan antara biaya pelayanan yang sah (ujrah) dengan potensi kelebihan yang menyerupai riba.
Sebagai ilustrasi, sebuah LKS yang menyediakan pembiayaan Murabahah untuk pembelian rumah sebesar Rp 500 juta seharusnya menetapkan biaya administrasi dalam jumlah tetap yang masuk akal, misalnya Rp 1.500.000 (0,3% dari pokok) atau biaya flat yang ditetapkan di awal. Biaya ini mencakup proses pengajuan, verifikasi, dan penyusunan dokumen akad. Hal ini berbeda jauh dengan praktik di mana biaya administrasi dikenakan 5% dari pokok pembiayaan dan dianggap sebagai pendapatan utama. Penetapan biaya yang wajar dan nominal ini sangat penting untuk menjamin kepercayaan nasabah terhadap produk syariah.
Ketentuan Biaya Administrasi dan Biaya Pelayanan Lainnya (Fee-Based Income)
Fee-based income atau pendapatan berbasis jasa (selain dari bagi hasil dan margin) merupakan aspek yang paling rentan terhadap pelanggaran Fatwa DSN 101 jika tidak diatur dengan cermat. Ujrah yang dikenakan LKS harus jelas kompensasi atas jasa apa yang diberikan.
Pelanggaran yang sering terjadi di industri adalah menjadikan biaya administrasi sebagai persentase yang tinggi dari pokok pembiayaan atau menjadikannya sebagai sumber pendapatan yang setara dengan margin keuntungan, yang dapat menyerupai riba terselubung. Misalnya, membebankan biaya provisi 2% dari total pembiayaan tanpa dasar layanan yang jelas, padahal ketentuan syariah mengatur bahwa ujrah harus proporsional dengan upaya atau layanan yang diberikan.
Praktisi keuangan syariah berpengalaman sering menekankan bahwa tantangan terbesar dalam implementasi Fatwa 101 adalah menjaga integritas pemisahan antara biaya jasa dan margin keuntungan. Pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) sangat ketat untuk memastikan tidak ada “penyusupan” komponen keuntungan ke dalam biaya administrasi, yang mana ini adalah batas tipis yang harus dijaga.
Pendapatan berbasis jasa lainnya, seperti biaya kliring, transfer, atau penjaminan (kafalah), juga harus ditetapkan secara transparan sesuai dengan upaya riil yang dikeluarkan oleh LKS. Trustworthiness dari LKS dinilai berdasarkan seberapa terbuka dan wajar mereka menetapkan tarif jasa ini, menjadikannya bukti nyata dari komitmen terhadap prinsip kepatuhan syariah.
Catatan: Simulasi perhitungan di atas adalah contoh anonim yang disederhanakan untuk menunjukkan konsep penetapan biaya nominal versus persentase yang tinggi, dan bukan merupakan tarif standar industri.
Memperkuat Authoritativeness, Trustworthiness, and Experience dalam Transaksi Syariah
Kepatuhan terhadap regulasi Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan sekadar pemenuhan formalitas, melainkan fondasi utama untuk membangun kepercayaan (Trustworthiness atau amanah) dan otoritas (Authoritativeness) Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Bagi nasabah dan regulator, ketaatan LKS terhadap Fatwa DSN Nomor 101 tentang Pembayaran Jasa (Ujrah) adalah indikator kuat bahwa institusi tersebut beroperasi dengan integritas dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ini menjadi jaminan bahwa biaya jasa yang dibebankan adalah wajar dan telah melalui proses validasi syariah yang ketat.
Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS): Validator Kepatuhan
Dewan Pengawas Syariah (DPS) memegang peran sentral dan tidak tergantikan dalam ekosistem keuangan syariah. DPS, yang anggotanya diangkat dan disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta DSN-MUI, bertindak sebagai validator kepatuhan institusi terhadap seluruh fatwa yang berlaku, termasuk Fatwa DSN 101. Tugas utama DPS adalah memastikan bahwa setiap produk, perjanjian, dan operasional LKS—termasuk mekanisme penentuan dan penagihan ujrah—telah sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
Implementasi Fatwa 101 di lapangan seringkali menimbulkan tantangan, terutama dalam menyeimbangkan antara biaya operasional yang harus ditutup LKS dengan prinsip kewajaran dalam penentuan ujrah. Seorang praktisi keuangan syariah berpengalaman di salah satu bank syariah terkemuka di Jakarta, yang telah mengabdi lebih dari 15 tahun, pernah menyoroti hal ini. Beliau menekankan bahwa tantangan terbesar adalah “memastikan pemisahan yang ketat dan transparan antara margin keuntungan (dalam akad jual-beli seperti murabahah) dan ujrah (biaya atas jasa). Jika pemisahan ini kabur, biaya jasa dapat dianggap sebagai riba terselubung, dan DPS harus secara rutin mengaudit dokumentasi dan perhitungan untuk mencegah hal ini terjadi.” Pernyataan dari expert ini menggarisbawahi pentingnya pengalaman (Experience) praktis dalam mengatasi kompleksitas regulasi, yang menjadi penentu otoritas konten ini. Audit reguler dan laporan kepatuhan DPS adalah bukti otentik yang menjaga kepercayaan nasabah bahwa dana mereka dikelola secara halal.
Membedah Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa Fatwa 101
Ketika terjadi ketidakpuasan atau sengketa antara nasabah dan LKS terkait pembayaran jasa (ujrah)—misalnya, nasabah merasa ujrah yang dikenakan tidak transparan atau terlalu tinggi—terdapat mekanisme hukum yang jelas untuk penyelesaiannya.
Menurut regulasi yang berlaku di Indonesia, setiap sengketa terkait transaksi syariah harus diselesaikan melalui jalur yang spesifik, yang mana hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Secara hierarki, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui beberapa tahapan:
- Musyawarah Internal LKS: Nasabah wajib menyampaikan pengaduan terlebih dahulu ke LKS yang bersangkutan.
- Mediasi OJK: Jika penyelesaian internal gagal, nasabah dapat mengajukan pengaduan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mediasi.
- Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas): Jika kedua pihak sepakat, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui arbitrase di Basyarnas. Basyarnas bertindak sebagai badan yudikatif non-litigasi yang keputusannya bersifat final dan mengikat, dan sangat mengandalkan Fatwa DSN, termasuk Fatwa 101, sebagai landasan putusan.
- Pengadilan Agama: Jika tidak ada kesepakatan untuk arbitrase, sengketa dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi absolut untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah.
Ketentuan penyelesaian sengketa ini memastikan bahwa nasabah memiliki jalur perlindungan yang terpercaya, dan semua putusan akan merujuk pada prinsip syariah, yang diperkuat oleh Fatwa DSN 101. Keberadaan Basyarnas dan Pengadilan Agama sebagai institusi yang berwenang memperkuat aspek otoritas hukum dalam setiap transaksi keuangan syariah.
Pertanyaan Paling Sering Diajukan Tentang Fatwa DSN 101
Q1. Apakah Biaya Materai Termasuk dalam Ujrah yang Diatur Fatwa 101?
Banyak nasabah kerap bingung membedakan antara biaya yang diatur sebagai ujrah (imbalan atas jasa Lembaga Keuangan Syariah/LKS) dan biaya penggantian. Biaya seperti materai, notaris, atau biaya penilaian agunan (appraisal) tidak termasuk dalam kategori ujrah yang diatur oleh Fatwa DSN No. 101.
Jenis-jenis biaya ini dikategorikan sebagai biaya pihak ketiga (cost reimbursement). Ini adalah biaya-biaya yang wajib dikeluarkan oleh nasabah untuk menutupi pengeluaran riil LKS kepada pihak eksternal, dan LKS hanya bertindak sebagai perantara pembayaran (dana talangan) tanpa mengambil keuntungan darinya. Praktisi hukum perbankan syariah sering menegaskan bahwa karena biaya-biaya ini merupakan penggantian biaya aktual dan dapat diverifikasi, mereka berada di luar batasan ujrah (imbalan jasa) yang boleh diambil oleh LKS. Dengan demikian, biaya materai tidak terikat pada batasan nominal ujrah dalam Fatwa 101, tetapi harus sesuai dengan tarif resmi yang berlaku.
Q2. Bagaimana cara membedakan Biaya Jasa yang Syar’i dengan Riba Terselubung?
Membedakan biaya jasa yang sah secara syariah (ujrah) dari riba terselubung adalah kunci untuk memastikan transparansi dan keabsahan transaksi syariah—ini adalah hal penting yang menumbuhkan kepercayaan (amanah) nasabah terhadap LKS.
Perbedaan fundamental terletak pada akad dasar transaksi. Ujrah (biaya jasa) selalu muncul dari Akad Ijarah (sewa-menyewa jasa) atau akad lain yang secara eksplisit melibatkan pemberian layanan, seperti biaya administrasi, biaya transfer, atau biaya penjaminan (kafalah). Imbalan ini diakui secara Islam karena adanya iwadh (imbal balik) yang jelas berupa jasa yang diberikan LKS.
Sebaliknya, riba terjadi dalam Akad Qardh (pinjaman uang). Riba terselubung terjadi ketika LKS mensyaratkan adanya kelebihan (bunga) atas pokok pinjaman yang tidak didasarkan pada adanya jasa nyata atau risiko yang ditanggung LKS, melainkan hanya karena berlalunya waktu. Jika biaya administrasi ditetapkan sangat tinggi—misalnya, persentase yang signifikan dari pokok pembiayaan dan tidak proporsional dengan biaya operasional yang dikeluarkan—maka ini berpotensi menyerupai riba terselubung, yang merusak kewenangan (otoritas) LKS dalam mengklaim kepatuhan syariah. Fatwa DSN 101 secara tegas membatasi ujrah agar tetap wajar dan tidak menjadi sumber profit utama untuk mencegah praktik semacam ini.
Final Takeaways: Menjamin Kejelasan dan Kepatuhan Pembayaran Jasa Syariah
Tiga Pilar Kepatuhan Fatwa DSN 101
Implementasi Fatwa DSN Nomor 101 tentang pembayaran jasa (ujrah) di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berdiri di atas tiga pilar utama yang harus dijaga untuk memastikan transaksi tetap adil, terpercaya, dan berlandaskan syariah. Pilar pertama adalah Transparansi, yang mewajibkan rincian ujrah (biaya jasa) harus dijelaskan secara eksplisit, detail, dan disepakati di awal akad. Tidak ada biaya tersembunyi. Kedua, Keadilan, yang berarti biaya yang dibebankan harus bersifat nominal dan wajar (sesuai kewajaran industri), tidak boleh menjadi sumber profit utama apalagi menyerupai bunga. Terakhir, Keterpisahan (Separasi), yaitu biaya jasa ujrah harus secara tegas dipisahkan dari pokok pembiayaan atau keuntungan (margin) utama LKS untuk menghindari gharah (ketidakjelasan) dan potensi riba terselubung.
Langkah Selanjutnya dalam Melaksanakan Prinsip Syariah
Bagi nasabah maupun praktisi, langkah esensial berikutnya adalah selalu melakukan due diligence terhadap dokumen akad. Pastikan semua transaksi layanan keuangan Anda memiliki rincian ujrah yang jelas dan merujuk pada ketentuan Fatwa 101. Selalu cek apakah biaya administrasi atau jasa lain yang dikenakan sudah disepakati dan tidak didasarkan pada persentase pembiayaan yang tinggi. Jika timbul keraguan mengenai kewajaran atau kepatuhan suatu biaya jasa, konsultasikan dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang memiliki otoritas dalam menilai kesesuaian produk dan biaya di LKS tersebut. Memahami dan menerapkan Fatwa 101 adalah kunci menuju ekosistem keuangan syariah yang terpercaya dan bertanggung jawab.