Panduan Lengkap Cara Pembayaran Jasa Konsultansi Tanpa SPK
Memahami Prosedur Pembayaran Jasa Konsultansi Tanpa SPK
Apa Itu Pembayaran Jasa Konsultansi Tanpa SPK?
Pembayaran Jasa Konsultansi Tanpa Surat Perjanjian Kerja (SPK) adalah sebuah mekanisme pengeluaran yang diizinkan untuk pengadaan barang/jasa pemerintah, khususnya jasa konsultansi, yang nilainya berada di bawah batas minimal yang ditetapkan untuk penandatanganan kontrak formal. Prosedur ini juga dapat diterapkan dalam kondisi darurat tertentu yang memerlukan layanan segera. Mekanisme ini tidak didasarkan pada dokumen kontrak standar, melainkan mengacu pada bukti komitmen non-kontraktual yang sah, seperti Kuitansi, Nota Dinas, atau Bukti Pembayaran Langsung yang menunjukkan adanya penugasan dan penyelesaian pekerjaan. Pemahaman mendalam tentang prosedur ini sangat penting untuk memastikan legalitas transaksi keuangan negara.
Mengapa Membangun Kepercayaan dan Otoritas Sangat Penting dalam Proses Ini?
Ketika sebuah entitas pemerintah melakukan pembayaran jasa tanpa didukung oleh SPK formal, otentisitas dan akuntabilitas transaksi tersebut menjadi fokus utama. Oleh karena itu, seluruh panduan yang disajikan dalam artikel ini didasarkan pada rujukan resmi dan regulasi yang berlaku, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya. Panduan langkah demi langkah yang disahkan oleh peraturan ini bertujuan untuk menjamin transparansi dan kepatuhan hukum dalam setiap transaksi, sehingga dapat menghindari temuan audit dan memastikan bahwa penggunaan anggaran telah dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional. Kejelasan dokumen dan kesesuaian prosedur adalah kunci utama untuk membuktikan bahwa pembayaran tersebut sah dan berwenang.
Dasar Hukum dan Batasan Nilai Transaksi Non-Kontraktual
Dalam melakukan cara pembayaran jasa konsultansi tanpa SPK, pemahaman yang mendalam mengenai kerangka hukum yang mengatur sangatlah penting untuk menjamin legalitas dan meminimalkan risiko temuan audit. Transaksi non-kontraktual ini bukanlah anomali, melainkan sebuah mekanisme yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan, asalkan dilakukan di bawah ambang batas nilai tertentu dan dengan bukti pendukung yang kuat.
Regulasi yang Mendukung Pembayaran Non-SPK: Batas Maksimal Nilai Transaksi
Mekanisme pembayaran tanpa Surat Perjanjian Kerja (SPK) formal adalah pengecualian yang diizinkan, khususnya untuk pengadaan barang/jasa pemerintah dengan nilai yang kecil. Secara spesifik, transaksi jasa konsultansi di bawah Rp50 juta seringkali dapat dibayarkan hanya dengan menggunakan bukti pengeluaran yang sah tanpa perlu menyusun dokumen kontrak yang rumit. Batasan nilai ini ditetapkan untuk menyederhanakan proses administrasi pada pengadaan bernilai rendah.
Untuk memastikan bahwa setiap transaksi memenuhi standar kepercayaan dan otoritas, para pihak yang terlibat harus secara langsung merujuk pada ketentuan yang mengatur. Berdasarkan Pasal 38 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah—beserta perubahannya—terdapat ambang batas yang jelas mengenai apa yang dikategorikan sebagai Pengadaan Langsung. Kepatuhan terhadap pasal ini adalah penentu utama legitimasi pembayaran non-SPK. Regulasi tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Pengadaan Langsung dapat dilakukan untuk kebutuhan yang bernilai sampai dengan batas tertentu, di mana untuk jasa konsultansi, nilai ambang batas tersebut umumnya mengacu pada Rp50.000.000,00.
Membedakan antara Pengadaan Langsung dan Transaksi Khusus
Penting untuk membedakan Pengadaan Langsung secara umum dengan skema pembayaran non-kontraktual yang spesifik. Pengadaan Langsung adalah metode pemilihan penyedia. Sementara itu, pembayaran tanpa SPK adalah mekanisme pembuktian pengeluaran yang muncul setelah Pengadaan Langsung dilakukan.
Bukti transaksi utama yang digunakan untuk mencairkan pembayaran jasa konsultansi tanpa SPK meliputi:
- Kuitansi Asli: Dokumen yang menjadi bukti serah terima uang dan jasa, wajib mencantumkan detail lengkap dan nilai PPN/PPh yang relevan.
- Bukti Pembayaran Langsung (BPL): Bukti dari bendahara pengeluaran yang mencatat pembayaran.
- Nota Dinas: Dokumen internal yang disiapkan oleh unit kerja atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang memberikan persetujuan atau komitmen atas pengadaan jasa tersebut.
Semua bukti ini harus ditandatangani secara resmi oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Tanda tangan PPK pada dokumen-dokumen ini, alih-alih pada SPK, menjadi penegasan resmi bahwa jasa telah diterima dan disetujui untuk dibayar, yang secara hukum memiliki kekuatan pembuktian yang setara dalam konteks transaksi nilai kecil. Hal ini menegaskan kualitas dan akuntabilitas proses, karena pihak yang berwenang mengambil tanggung jawab penuh atas pengeluaran tersebut.
Tahapan Kritis Memastikan Validitas Dokumen Pembayaran Jasa Konsultansi
Ketika memproses cara pembayaran jasa konsultansi tanpa SPK, validitas dan kelengkapan dokumen pendukung adalah penentu utama kepatuhan hukum dan kelancaran pencairan dana. Proses ini menuntut ketelitian yang tinggi untuk memitigasi risiko temuan audit di kemudian hari.
Langkah 1: Penyusunan Dokumen Komitmen Non-Kontraktual yang Tepat
Dokumen komitmen non-kontraktual, yang dalam banyak kasus berupa Kuitansi atau Bukti Pembayaran Langsung, berfungsi sebagai pengganti kontrak formal. Dokumen ini harus disusun dengan ketat untuk memastikan semua elemen penting tercakup, sesuai standar akuntansi instansi pemerintah.
Kuitansi sebagai bukti pembayaran harus mencantumkan detail lengkap tanpa cacat: Nama Konsultan (termasuk NPWP jika wajib), Uraian Jasa yang spesifik dan terperinci, Nilai Pembayaran (termasuk pemisahan antara nilai jasa dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jika berlaku), dan Tanggal Penyelesaian Layanan. Kelengkapan ini menunjukkan otoritas dan detail teknis yang diperlukan oleh bendahara dan auditor.
Untuk membangun kepercayaan dan mempermudah proses, berikut adalah kerangka wajib (template mini) yang harus ada dalam kuitansi:
Contoh Format Kuitansi Wajib (Sesuai Standar Akuntansi Pemerintah)
- Nomor Bukti (Nomor urut internal instansi)
- Sudah Diterima dari (Nama Satuan Kerja/PPK)
- Jumlah Uang (Ditulis dalam angka dan huruf)
- Untuk Pembayaran (Uraian Jasa Konsultansi yang Jelas dan Kode Rekening Belanja)
- Perhitungan Pajak (Pemotongan PPh Pasal 21/23 atau PPN)
- Tanda Tangan dan Nama Jelas Konsultan (Penerima Uang)
Langkah 2: Proses Verifikasi dan Pengujian Bukti Konsultansi
Penyusunan kuitansi yang sempurna tidaklah cukup. Langkah krusial berikutnya adalah proses verifikasi output layanan. Hal ini wajib dilakukan untuk menunjukkan pengalaman (eksekusi) dan keahlian (kualitas hasil kerja) dari penyedia jasa.
Verifikasi harus dilakukan oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Peran PPTK sangat penting karena merekalah yang paling memahami kebutuhan teknis dan spesifikasi pekerjaan yang telah diberikan.
Proses verifikasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa output konsultansi (deliverables), seperti Laporan Akhir, Kajian Teknis, atau Rekomendasi Program, telah diterima dan sesuai sepenuhnya dengan spesifikasi awal yang disepakati (misalnya dalam Nota Dinas atau Memo Permintaan Jasa). Hasil verifikasi ini harus dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima (BAST) atau Bukti Penerimaan Barang/Jasa (BAP). Tanpa adanya BAP yang ditandatangani oleh PPTK atau Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP), kuitansi berpotensi dianggap fiktif dalam pemeriksaan keuangan, yang dapat merusak kredibilitas institusi.
Peran Akuntabilitas dan Kualitas dalam Menjamin Pembayaran Lancar
Meningkatkan Kualitas Jasa untuk Pengakuan Pembayaran Cepat
Dalam skema pembayaran jasa konsultansi tanpa Surat Perintah Kerja (SPK), kualitas dan akuntabilitas output menjadi kunci utama untuk menjamin pengakuan pembayaran yang lancar dan cepat. Kualitas jasa yang diberikan harus jelas, terukur, dan memberikan dampak yang diverifikasi. Output konsultansi harus berbentuk luaran (deliverables) yang konkret, seperti Laporan Akhir, Kajian Teknis, atau Rekomendasi Program yang dapat dipertanggungjawabkan. Kejelasan ini penting karena akan menjadi dasar bagi Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk menandatangani Berita Acara Penerimaan Barang/Jasa (BAP), dokumen krusial yang mengesahkan pekerjaan telah selesai.
Pengakuan atas pembayaran ini juga sangat diperkuat oleh tingkat kepercayaan dan keahlian yang ditunjukkan oleh konsultan. Lembaga pengadaan dan auditor pemerintah menaruh perhatian besar pada kredibilitas penyedia jasa. Oleh karena itu, dokumentasi pengalaman konsultan sebelumnya, seperti portofolio proyek-proyek yang relevan atau Curriculum Vitae (CV) yang terverifikasi dengan riwayat pekerjaan yang kredibel, harus disertakan sebagai bagian dari bukti pendukung kuitansi. Dokumentasi ini berfungsi untuk memperkuat legitimasi pembayaran jasa konsultansi, menunjukkan kepada auditor bahwa jasa tersebut dilakukan oleh pihak yang memang memiliki otoritas dan rekam jejak yang terbukti dalam bidangnya, sehingga memitigasi risiko temuan pembayaran fiktif atau tidak wajar.
Mekanisme Audit Internal dan Eksternal pada Transaksi Kecil
Meskipun transaksi jasa konsultansi tanpa SPK seringkali berada di bawah ambang batas Pengadaan Langsung (misalnya, di bawah Rp50 juta), transaksi tersebut tidak luput dari pengawasan dan mekanisme audit internal maupun eksternal. Bahkan pengeluaran kecil harus dipertanggungjawabkan secara finansial dan prosedural.
Dalam konteks akuntansi, pencatatan harus mengklasifikasikan pengeluaran ini secara tepat sebagai ‘Belanja Jasa’. Klasifikasi yang benar ini vital untuk menghindari temuan audit. Audit internal instansi (Inspektorat Jenderal) dan eksternal (seperti Badan Pemeriksa Keuangan/BPK) akan memverifikasi kesesuaian antara nilai yang dibayarkan, bukti fisik berupa kuitansi, dan keberadaan deliverables yang telah diterima dan disahkan oleh Pejabat Berwenang. Ketidaksesuaian klasifikasi atau tidak adanya bukti fisik yang memadai dapat mengakibatkan transaksi dikategorikan sebagai ‘kerugian negara’ atau ‘fiktif’. Oleh karena itu, kepatuhan dalam mendokumentasikan kualitas, pengalaman konsultan, dan mengarsip kuitansi serta Berita Acara Penerimaan Jasa (BAP) adalah tindakan proaktif yang menjamin proses pembayaran tetap berjalan lancar dan sesuai dengan prinsip akuntabilitas publik.
Memproses Pembayaran: Alur Administrasi Keuangan Tanpa SPK
Memahami alur administrasi keuangan adalah langkah akhir yang krusial untuk memastikan pembayaran jasa konsultansi non-kontraktual dapat diproses tanpa hambatan. Kelengkapan dan keabsahan dokumen adalah penentu utama kepatuhan, khususnya saat berhadapan dengan transaksi yang tidak didukung oleh Surat Perintah Kerja (SPK) formal.
Penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Dokumen Pendukung
Proses pembayaran dimulai dengan penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). SPP ini menjadi dasar permintaan dana dari kas negara/daerah.
Dalam konteks pembayaran jasa konsultansi yang dilakukan tanpa SPK formal, dokumen pendukung yang dilampirkan pada SPP harus menjadi pengganti yang kuat untuk menunjukkan terjadinya transaksi yang sah. Dokumen wajib yang harus dilampirkan meliputi: Kuitansi Asli yang telah ditandatangani oleh penyedia jasa dan lunas dibayar, Bukti Penerimaan Barang/Jasa (BAP) yang memastikan deliverables telah diterima dan diverifikasi oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), serta Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTJB) yang ditandatangani oleh PPK untuk menjamin bahwa seluruh pengeluaran adalah benar dan sah.
Lebih lanjut, dalam transaksi jasa konsultansi, aspek perpajakan tidak dapat diabaikan. Untuk pembayaran jasa, instansi wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 (untuk Wajib Pajak Orang Pribadi) atau PPh Pasal 23 (untuk Wajib Pajak Badan) sesuai tarif yang berlaku. Adanya bukti pemotongan dan penyetoran pajak ini, yang umumnya berupa Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah divalidasi, harus dilampirkan. Para profesional akuntansi dan keuangan pemerintah menegaskan bahwa ketepatan perhitungan dan penyetoran pajak adalah bukti integritas keuangan dan dapat menghindari temuan audit. Kegagalan memotong pajak dapat mengakibatkan sanksi dan temuan kerugian negara.
Peran Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) dalam Persetujuan Pembayaran
Setelah SPP diajukan, dokumen tersebut akan melalui verifikasi ketat oleh Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) atau Pejabat Penguji SPP. Peran pejabat ini sangat penting untuk memastikan seluruh persyaratan administrasi dan substantif telah terpenuhi sebelum pembayaran dapat disetujui.
Alur proses yang terstruktur dan transparan sangat penting untuk membangun kepercayaan terhadap proses keuangan instansi. Berikut adalah gambaran alur yang disarankan untuk menunjukkan kepatuhan prosedural, mulai dari penyerahan bukti komitmen hingga pencairan dana:
- Penyerahan Kuitansi & BAP: Konsultan menyerahkan kuitansi asli dan hasil kerja (deliverables) yang disahkan dengan BAP kepada PPTK.
- Verifikasi PPTK/PPK: PPTK memverifikasi BAP; PPK menyusun dan menandatangani SPTJB, lalu menerbitkan SPP.
- Pengajuan ke Penguji SPP: SPP dilampiri Kuitansi, BAP, SPTJB, dan Bukti Potongan Pajak (SSP) diajukan ke Pejabat Penguji SPP (PPK/PPSPM).
- Verifikasi Dokumen: Pejabat Penguji SPP memverifikasi kelengkapan dan keabsahan semua lampiran dan kepatuhan terhadap batasan nilai.
- Penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM): Jika dokumen lengkap, Pejabat Penguji SPP menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM).
- Pencairan Dana: SPM diajukan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) atau Kas Daerah untuk pencairan dana.
Setiap langkah dalam alur ini berfungsi sebagai check and balance untuk memastikan dana publik digunakan sesuai peruntukan dan dengan dokumentasi yang lengkap, bahkan untuk transaksi sederhana sekalipun. Kepatuhan terhadap prosedur ini menunjukkan pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab dan kredibel.
Catatan: Pejabat yang berwenang harus memastikan bahwa pengeluaran tersebut tidak melampaui pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) atau dokumen sejenis.
Risiko Hukum dan Strategi Mitigasi dalam Transaksi Pembayaran Non-Formal
Transaksi pembayaran jasa konsultansi tanpa Surat Perintah Kerja (SPK) membawa efisiensi dalam pengadaan kecil, namun juga membuka potensi risiko hukum yang serius jika tidak ditangani dengan ketelitian dan kredibilitas. Dalam kerangka tata kelola keuangan negara, setiap pengeluaran, termasuk yang bersifat non-kontraktual, harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Mengabaikan aspek ini dapat berujung pada temuan audit dan, yang lebih parah, implikasi hukum.
Konsekuensi Hukum dari Pembayaran yang Tidak Sah
Risiko terbesar dalam pembayaran non-formal adalah potensi pengeluaran dikategorikan sebagai “kerugian negara” atau, dalam kasus terburuk, “fiktif” apabila bukti pembayaran dan hasil kerja (deliverables) yang diklaim tidak didukung oleh dokumentasi yang memadai. Jika hasil audit menemukan ketidaksesuaian antara uang yang dibayarkan dan output jasa yang diterima, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, membangun otoritas dan akuntabilitas dalam setiap langkah verifikasi adalah krusial.
Untuk menggarisbawahi pentingnya kelengkapan dokumen, pertimbangkan skenario studi kasus. Kasus Penolakan Dokumen oleh BPK: Sebuah instansi pemerintah X membayar jasa konsultansi sebesar Rp45.000.000 hanya berdasarkan kuitansi dan nota dinas tanpa melampirkan Berita Acara Penerimaan Barang/Jasa (BAP) resmi yang ditandatangani oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Dalam audit, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menolak transaksi tersebut sebagai pengeluaran yang sah dan meminta pengembalian dana karena tidak adanya bukti fisik penyerahan hasil kerja. Skenario ini menunjukkan bahwa kuitansi, meskipun merupakan bukti pembayaran, tidak pernah bisa menggantikan BAP sebagai bukti bahwa jasa telah diterima dan disetujui sesuai kualitas yang disepakati. Kepemilikan pengalaman dan kehati-hatian dalam melengkapi setiap berkas administrasi adalah benteng pertahanan utama terhadap temuan audit.
Strategi Proaktif: Dokumentasi Pengganti yang Setara Kontrak
Meskipun pembayaran dilakukan tanpa SPK, tidak berarti proses tersebut bebas dari kewajiban dokumentasi yang ketat. Untuk memitigasi risiko hukum dan menjamin kredibilitas pembayaran, instansi harus menerapkan strategi proaktif dengan membuat dokumentasi pengganti yang memiliki kekuatan hukum yang setara dengan kontrak dalam batasan nilainya.
Dokumentasi pengganti yang direkomendasikan mencakup dua hal:
- Memo Intern atau Nota Kesepakatan Pelaksanaan (NKP): Dokumen ini wajib disahkan oleh atasan langsung PPK, yang menunjukkan persetujuan atas urgensi dan penunjukan konsultan. NKP harus mencakup secara eksplisit:
- Tujuan penunjukan jasa konsultansi.
- Uraian singkat ruang lingkup pekerjaan.
- Nilai jasa yang disepakati.
- Jangka waktu penyelesaian.
- Deliverables atau hasil akhir yang diharapkan.
- Berita Acara Serah Terima Hasil (BASTH): Ini adalah dokumen kritis yang menjadi pengganti BAP. BASTH ini harus secara spesifik merujuk pada hasil kerja yang telah diverifikasi oleh PPTK dan disetujui oleh PPK, menjadi dasar otentik bahwa uang telah dibelanjakan untuk hasil kerja yang nyata dan berkualitas.
Mengimplementasikan dokumentasi pengganti ini secara disiplin akan memperkuat kepercayaan dan otoritas atas transaksi, mengubah pembayaran non-formal menjadi transaksi yang secara administratif aman dan dapat dipertanggungjawabkan di mata auditor dan regulator.
Your Top Questions About Pembayaran Konsultansi Dijawab
Q1. Apakah ‘Nota Dinas’ dapat menggantikan fungsi SPK dalam pengadaan jasa konsultansi?
Meskipun Surat Perintah Kerja (SPK) adalah bentuk kontrak formal yang ideal, untuk pengadaan barang/jasa pemerintah dengan nilai di bawah ambang batas tertentu, Nota Dinas dapat berperan sebagai bukti komitmen yang sah. Nota Dinas ini harus dikeluarkan oleh Pejabat yang Berwenang (misalnya Pejabat Pembuat Komitmen/PPK) dan wajib mencantumkan rincian yang lengkap dan jelas.
Rincian ini meliputi uraian pekerjaan yang spesifik, nilai pembayaran yang disepakati, dan dasar penunjukan penyedia jasa. Namun, penting untuk dipahami bahwa Nota Dinas ini bukanlah pengganti total SPK, melainkan berfungsi sebagai Surat Bukti Persetujuan Pelaksanaan Kegiatan. Oleh karena itu, agar transaksi dianggap valid dan patuh pada akuntabilitas, Nota Dinas tersebut harus tetap disertai dengan bukti pembayaran final berupa Kuitansi Asli dan Berita Acara Serah Terima (BAST) atas hasil pekerjaan. Penggunaan Nota Dinas sebagai dokumen pendukung ini menunjukkan adanya otoritas dan validitas internal dari proses pengadaan yang dilakukan.
Q2. Berapa batas maksimal nilai jasa konsultansi yang bisa dibayar hanya dengan kuitansi?
Batas maksimal nilai pengadaan jasa konsultansi yang secara umum dapat dibayarkan hanya dengan Kuitansi (atau bukti pembayaran langsung) tanpa memerlukan SPK atau Surat Perjanjian formal mengacu pada ambang batas Pengadaan Langsung dalam peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 dan perubahannya, batas maksimal umum untuk pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk jasa konsultansi, yang dapat dilakukan melalui metode Pengadaan Langsung adalah sebesar Rp50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah).
Dengan demikian, pengadaan jasa konsultansi yang nilainya tidak melebihi Rp50 juta dapat menggunakan bukti pembayaran langsung (seperti Kuitansi atau Bukti Pembayaran Langsung yang ditandatangani oleh PPK) sebagai dokumen komitmen utama. Penggunaan ambang batas ini dan kepatuhan terhadap prosedur ini menunjukkan tingkat keahlian dan kepatuhan regulasi yang tinggi dalam pengelolaan keuangan negara. Selalu pastikan kuitansi tersebut dilampiri oleh dokumen serah terima hasil pekerjaan untuk mencegah temuan audit.
Final Takeaways: Mastering Kepatuhan Pembayaran Jasa Konsultansi
Ringkasan 3 Pilar Kunci: Legalitas, Bukti Fisik, dan Akuntabilitas
Memahami cara pembayaran jasa konsultansi tanpa SPK secara patuh adalah kunci untuk menghindari masalah hukum dan temuan audit. Intinya, keberhasilan pembayaran layanan konsultansi tanpa Surat Perintah Kerja (SPK) terletak pada tiga pilar utama: Legalitas, Bukti Fisik, dan Akuntabilitas. Kunci keberhasilan terletak pada kelengkapan dan validitas bukti dukung—yaitu Kuitansi Asli yang terperinci ditambah Berita Acara Penerimaan (BAP) atau bukti serah terima jasa—serta kepatuhan yang ketat terhadap batasan nilai pengadaan (umumnya di bawah Rp50 juta) yang ditetapkan oleh peraturan, seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagai profesional, Anda harus memastikan bahwa setiap transaksi didasarkan pada referensi peraturan yang jelas untuk membangun kredibilitas proses keuangan.
Tindakan Selanjutnya untuk Proses Pembayaran yang Aman
Setelah proses pembayaran selesai, langkah penting adalah menjaga otoritas dan keandalan sistem administrasi Anda. Untuk keperluan audit di masa mendatang, disarankan untuk selalu menyimpan arsip dokumen keuangan secara lengkap, termasuk Kuitansi, BAP, dan semua korespondensi terkait, minimal selama 10 tahun. Periode penyimpanan ini sesuai dengan standar akuntansi dan kebutuhan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau instansi pengawas lainnya, sehingga memastikan Anda selalu siap untuk membuktikan kompetensi dan kepatuhan instansi terhadap regulasi.