Panduan Lengkap Cara Bayar PPh Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi

Memahami dan Menguasai Cara Bayar PPh Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi

Definisi Singkat: Apa Itu PPh Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi?

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi merupakan jenis Pajak Penghasilan yang bersifat final, dikenakan dan dipotong atau disetor atas penghasilan yang diperoleh dari usaha di bidang jasa konstruksi. Sifat final ini berarti pajak yang telah dipotong atau disetor sudah melunasi seluruh kewajiban pajak atas penghasilan tersebut dan tidak dapat dikreditkan saat perhitungan PPh Tahunan. Pengenaan pajak ini bertujuan untuk menyederhanakan administrasi perpajakan bagi pelaku usaha konstruksi di Indonesia, termasuk kontraktor dan konsultan.

Mengapa Kepatuhan Pajak Kontraktor Sangat Penting?

Kepatuhan pajak dalam sektor konstruksi adalah hal yang sangat vital. Selain merupakan kewajiban legal, memiliki rekam jejak kepatuhan yang bersih juga menunjukkan kredibilitas dan profesionalisme bisnis Anda di mata klien, terutama saat mengikuti tender proyek pemerintah atau BUMN. Artikel ini disusun sebagai panduan langkah demi langkah yang terperinci untuk memastikan Anda sebagai pelaku usaha jasa konstruksi dapat membayar dan melaporkan PPh Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi secara tepat waktu, akurat, dan sesuai dengan peraturan terbaru. Dengan mengikuti panduan ini, Anda memitigasi risiko sanksi dan membangun kepercayaan yang diperlukan untuk pertumbuhan bisnis.

Dasar Hukum dan Tarif PPh Final Jasa Konstruksi Terbaru

Ringkasan Peraturan Pemerintah (PP) Terbaru yang Mengatur

Kepatuhan dalam membayar Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi harus selalu didasarkan pada regulasi terbaru. Saat ini, ketentuan mengenai PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2022. Peraturan ini secara eksplisit mencabut dan menggantikan PP sebelumnya, yaitu PP Nomor 51 Tahun 2008 s.t.d.t.d. PP Nomor 40 Tahun 2009.

Perubahan ini bukan hanya sekadar formalitas; ia membawa penyesuaian signifikan, terutama pada struktur tarif. Dengan mengacu pada Pasal 2 Ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 2022, dijelaskan bahwa: “Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.” Penetapan PPh yang bersifat final ini memastikan bahwa kontraktor tidak lagi perlu memperhitungkan penghasilan ini dalam perhitungan PPh Tahunan mereka—sebuah simplifikasi administrasi yang signifikan—dan juga menegaskan bahwa tarif yang digunakan adalah yang tertera dalam regulasi ini. Memahami dasar hukum ini adalah fondasi utama untuk memastikan akuntabilitas dan meningkatkan kredibilitas pajak perusahaan Anda.

Tabel Lengkap Tarif Pajak Berdasarkan Kualifikasi Usaha

Struktur tarif PPh Final Jasa Konstruksi memiliki variasi yang ketat, dipengaruhi oleh dua faktor utama: kepemilikan Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan jenis layanan jasa konstruksi yang dilakukan. Secara umum, tarif PPh Final Jasa Konstruksi bervariasi antara 1.75% hingga 4% dari nilai kontrak, sesuai dengan kualifikasi kontraktor.

Berikut adalah ringkasan tarif terbaru berdasarkan PP No. 9 Tahun 2022 yang wajib Anda pahami dan terapkan:

Kualifikasi Kontraktor Jenis Layanan Tarif PPh Final
Memiliki SBU Kualifikasi Usaha Kecil Jasa Konstruksi 1.75%
Memiliki SBU Kualifikasi Usaha Menengah atau Besar Jasa Konstruksi 2.65%
Kontraktor Non-Kualifikasi (Tidak memiliki SBU) Jasa Konstruksi 4.00%
Kontraktor Konsultansi Konstruksi (SBU) Jasa Konsultansi Konstruksi 3.50%
Kontraktor Konsultansi Konstruksi Non-Kualifikasi Jasa Konsultansi Konstruksi 6.00%
Pelaksana Konstruksi Terintegrasi (SBU) Jasa Konstruksi Terintegrasi 2.65%

Perlu ditekankan bahwa tarif tertinggi dikenakan pada Kontraktor Tanpa SBU, yaitu 4.00% untuk jasa konstruksi. Kontras dengan tarif terendah untuk kontraktor berkualifikasi kecil (1.75%), ini secara jelas menyoroti dan memberikan insentif besar bagi para pelaku usaha untuk segera mengurus dan mempertahankan sertifikasi mereka. Kontraktor yang tidak memiliki SBU tidak hanya menghadapi tarif pajak yang lebih tinggi tetapi juga seringkali kesulitan mendapatkan proyek-proyek besar.

Tarif 1.75% untuk Usaha Kecil adalah penurunan dari tarif sebelumnya sebesar 2% di PP 51/2008, sementara tarif 2.65% untuk Usaha Menengah/Besar adalah kenaikan dari 3%. Perubahan ini harus menjadi perhatian utama karena penggunaan tarif yang salah dapat menyebabkan kekurangan pembayaran yang berujung pada sanksi dan denda, sehingga merusak reputasi profesional Anda di mata otoritas pajak.

Langkah-Langkah Pembuatan Kode Billing untuk Pembayaran PPh

Proses pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi diawali dengan satu langkah krusial: pembuatan Kode Billing. Kode billing ini adalah identitas unik yang wajib dimiliki setiap setoran pajak dan bertindak sebagai kunci untuk mencatat pembayaran Anda secara akurat dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Panduan Membuat Kode Billing via DJP Online

Membuat kode billing melalui platform DJP Online adalah metode yang paling direkomendasikan karena kecepatan dan akurasinya. Berdasarkan pengalaman kami dalam memfasilitasi ratusan transaksi pajak jasa konstruksi, proses digital ini secara signifikan mengurangi risiko kesalahan input dibandingkan metode manual. Akses portal resmi DJP Online, masuk dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Anda, dan navigasikan ke menu “Bayar” untuk memilih “e-Billing”.

Setelah berada di menu e-Billing, Wajib Pajak (WP) akan diminta mengisi Surat Setoran Elektronik (SSE). Anda harus memastikan data wajib yang diisi tervalidasi dengan benar sebelum melanjutkan ke tahap pembayaran. Setelah semua data terisi, sistem akan menampilkan ringkasan, dan Kode Billing 15 digit akan diterbitkan.

Data Kunci yang Diperlukan: Jenis Pajak, Masa Pajak, dan Setoran

Akurasi dalam pengisian data ini adalah penentu apakah setoran pajak Anda akan tercatat dengan benar sebagai PPh Jasa Konstruksi. Kesalahan di tahap ini dapat mengakibatkan pembayaran yang tidak teridentifikasi, yang berujung pada sanksi keterlambatan, meskipun Anda telah menyetor dan mengurangi kepercayaan pihak otoritas terhadap ketaatan pajak Anda.

Secara spesifik, untuk PPh Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi, Anda wajib menggunakan kode berikut:

  • Kode Jenis Pajak (KJP): $\text{411128}$
  • Kode Jenis Setoran (KJS): $\text{410}$ atau $\text{411}$

Pemilihan Kode Jenis Setoran (KJS) ini sangat penting dan bergantung pada peran Anda. Gunakan KJS 410 jika Anda adalah kontraktor yang melakukan penyetoran sendiri (Penyetor), biasanya untuk kontrak di mana pengguna jasa bukan pemotong pajak. Sebaliknya, gunakan KJS 411 jika Anda adalah pihak pengguna jasa (Pemotong) yang wajib memotong dan menyetorkan PPh atas nama kontraktor.

Atomic Tip: Selalu periksa ulang KJS Anda. Kesalahan memilih KJS 410 padahal seharusnya 411, atau sebaliknya, akan mengakibatkan pajak Anda tidak tercatat dengan benar. Hal ini dapat menghambat proses validasi perpajakan Anda di kemudian hari dan berpotensi memicu pemeriksaan oleh otoritas.

Kode billing yang telah Anda buat memiliki masa kedaluwarsa. Kode tersebut harus dibuat sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran, yaitu tanggal 10 bulan berikutnya setelah penghasilan diterima atau dibayarkan. Setelah kode billing dibuat, Anda memiliki batas waktu tertentu (umumnya 24 jam untuk bank tertentu, atau hingga tanggal jatuh tempo pembayaran) untuk segera melakukan setoran agar kepatuhan perpajakan Anda tetap terjaga. Tindakan segera setelah pembuatan kode akan mempermudah Anda dalam memenuhi tenggat waktu pelaporan (tanggal 20 bulan berikutnya).

Metode dan Prosedur Cara Bayar PPh Pasal 4 Ayat 2 yang Efisien

Setelah Anda berhasil membuat Kode Billing, langkah selanjutnya adalah menyelesaikan pembayaran. Efisiensi dalam proses pembayaran akan sangat memangkas waktu administrasi dan menghindarkan Anda dari risiko keterlambatan. Memilih metode pembayaran yang tepat juga krusial untuk memastikan dana pajak Anda tercatat dengan benar oleh sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Pembayaran Melalui Bank Persepsi: Teller vs. Internet Banking

Pembayaran PPh Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi wajib dilakukan melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos Persepsi yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Ada dua jalur utama yang bisa Anda pilih: secara manual melalui teller atau secara digital menggunakan internet banking atau ATM.

Untuk membangun kualitas dan kepercayaan dalam proses perpajakan, kami sangat merekomendasikan metode pembayaran digital (internet banking atau ATM). Berdasarkan data kepatuhan yang dihimpun DJP, transaksi non-tunai memiliki tingkat akurasi dan kecepatan validasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan setoran tunai.

  • Internet Banking/ATM: Metode ini menawarkan kecepatan dan akurasi karena sistem akan secara otomatis memverifikasi format Kode Billing, KJP (Kode Jenis Pajak), dan KJS (Kode Jenis Setoran) sebelum transaksi diselesaikan. Proses ini dapat dilakukan 24 jam sehari, memangkas proses administrasi manual. Sebagai contoh, pada layanan internet banking bank-bank terkemuka di Indonesia, Anda cukup memilih menu “Pembayaran Pajak” dan memasukkan 15 digit Kode Billing. Prosesnya instan.
  • Teller Bank Persepsi: Meskipun masih valid, pembayaran melalui teller memiliki risiko kesalahan input data oleh petugas bank dan memerlukan waktu tunggu. Proses ini juga hanya bisa dilakukan pada jam operasional bank.

Perlu ditekankan, pembayaran dapat dilakukan di hari yang sama kode billing dibuat, bahkan hanya dalam hitungan menit, asalkan Anda menggunakan saluran digital. Hal ini secara signifikan memangkas proses administrasi dan memastikan kepatuhan tepat waktu.

Proses Verifikasi dan Penerbitan Bukti Penerimaan Negara (BPN)

Setelah pembayaran berhasil dilakukan, baik melalui teller, ATM, maupun internet banking, Anda akan menerima dokumen krusial yang berfungsi sebagai satu-satunya bukti sah telah membayar pajak: Bukti Penerimaan Negara (BPN).

Bukti Penerimaan Negara (BPN) adalah satu-satunya bukti sah pembayaran pajak. Dokumen ini sangat vital dan harus disimpan dengan baik. BPN yang valid dan legal wajib mencantumkan elemen-elemen kunci, terutama Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN adalah nomor unik yang diterbitkan oleh sistem perbendaharaan negara (Sistem MPN G2) pada saat transaksi setoran diterima. Ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa dana Anda telah masuk ke kas negara.

Jika Anda menggunakan:

  1. Internet Banking/ATM: BPN akan berupa struk fisik (dari ATM) atau e-receipt/file PDF yang bisa diunduh langsung dari platform bank, yang di dalamnya sudah tertera NTPN.
  2. Teller Bank: BPN akan berupa formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang sudah divalidasi dengan NTPN dan stempel oleh bank.

Tanpa adanya NTPN yang tercantum dalam BPN, pembayaran dianggap tidak sah. Oleh karena itu, pastikan setelah setiap transaksi, Anda segera memeriksa dan menyimpan BPN yang mencantumkan NTPN ini untuk keperluan pelaporan SPT Masa dan audit di masa mendatang. Menyimpan BPN yang sah menunjukkan otoritas dan rekam jejak kepatuhan finansial perusahaan Anda.

Kewajiban Pemotongan dan Penyetoran PPh oleh Pengguna Jasa Konstruksi

Kapan PPh Dipotong oleh Pengguna Jasa (Pemerintah/Swasta)?

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 atas jasa konstruksi memiliki mekanisme pemotongan yang unik, di mana kewajiban tersebut dapat beralih dari kontraktor (pihak yang menerima penghasilan) kepada pengguna jasa (pihak yang membayar). Pemotongan PPh ini wajib dilakukan oleh pengguna jasa jika mereka ditunjuk atau termasuk dalam kategori pemotong pajak. Contohnya termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), instansi pemerintah, dan subjek pajak badan tertentu lainnya. Jika pengguna jasa ini membayar kepada kontraktor, mereka wajib memotong PPh final sebesar tarif yang berlaku pada saat pembayaran dan menyetorkannya ke kas negara atas nama kontraktor.

Perpindahan tanggung jawab ini penting untuk memastikan kepatuhan. Misalnya, dalam skenario kontrak dengan BUMN, BUMN tersebut secara otomatis berfungsi sebagai Pemotong PPh. Saat BUMN melakukan pembayaran termin kepada kontraktor, mereka akan menahan sejumlah dana yang besarnya sesuai dengan tarif PPh final yang berlaku (misalnya 1.75% atau 3%) dan menyetorkannya menggunakan Kode Jenis Pajak 411128 dan Kode Jenis Setoran 410. Kontraktor, dalam hal ini, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pemotongan telah dilakukan dengan benar dan meminta bukti resminya. Mekanisme ini menciptakan akuntabilitas yang lebih tinggi dalam rantai bisnis konstruksi.

Prosedur Penerbitan dan Penyerahan Bukti Potong (Formulir Bukti Potong)

Setelah pemotongan PPh dilakukan, tanggung jawab pengguna jasa belum selesai. Mereka memiliki kewajiban penting untuk menerbitkan dan menyerahkan Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat 2 Final kepada kontraktor. Bukti Potong ini adalah dokumen krusial yang secara legal membuktikan bahwa PPh atas penghasilan kontraktor telah dipotong dan disetorkan oleh pihak lain.

Kontraktor harus memahami bahwa Bukti Potong (Bupot) adalah dokumen yang berbeda dari Bukti Penerimaan Negara (BPN). BPN adalah bukti setoran yang dipegang oleh pihak yang menyetor uang ke bank/pos (dalam hal ini, BUMN atau Pemotong PPh), sementara Bukti Potong adalah dokumen yang diserahkan kepada penerima penghasilan (kontraktor) sebagai kredit pajak saat pelaporan SPT Tahunan.

Atomic Tip: Sebagai kontraktor, Anda harus selalu meminta Bukti Potong, bukan hanya salinan BPN, dari pengguna jasa yang melakukan pemotongan. Bukti Potong ini merupakan satu-satunya dasar yang sah bagi Anda untuk melaporkan penghasilan Anda sebagai penghasilan yang telah dikenakan PPh final dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Anda. Kegagalan mendapatkan Bukti Potong dapat mempersulit proses pelaporan dan audit pajak Anda. Kontraktor profesional yang ingin membangun reputasi bisnis yang kuat dan dapat dipercaya memastikan setiap transaksi pajak didokumentasikan dengan benar.

Sesuai ketentuan, Bukti Potong harus diserahkan kepada kontraktor segera setelah pemotongan dilakukan. Bukti Potong ini wajib mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dari setoran PPh yang telah dilakukan oleh pengguna jasa, yang menjamin bahwa setoran tersebut telah tercatat secara resmi. Prosedur ini tidak hanya memastikan kepatuhan, tetapi juga membangun transparansi dan kepercayaan yang diperlukan antara kedua belah pihak dalam setiap proyek konstruksi.

Jadwal Kepatuhan: Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan (SPT Masa)

Memahami jadwal kepatuhan adalah fondasi untuk menghindari sanksi dan menjaga kredibilitas fiskal perusahaan konstruksi Anda. Kepatuhan tepat waktu—baik dalam hal penyetoran maupun pelaporan—menunjukkan keahlian dan tanggung jawab Anda dalam pengelolaan keuangan, yang sangat dipertimbangkan oleh institusi pemberi pinjaman dan calon klien besar.

Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran PPh Final Jasa Konstruksi

Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 Final Jasa Konstruksi, baik yang disetor sendiri oleh kontraktor maupun yang dipotong oleh pengguna jasa, tanggal jatuh tempo pembayaran memiliki aturan yang jelas. Secara umum, jatuh tempo pembayaran adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Misalnya, PPh Final yang terutang untuk penghasilan yang diterima pada bulan November harus sudah disetor selambat-lambatnya pada tanggal 10 Desember.

Keterlambatan dalam penyetoran ini akan memicu sanksi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), keterlambatan pembayaran akan dikenakan sanksi bunga yang dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran hingga tanggal pembayaran dilakukan. Mengingat sanksi ini dapat terus menumpuk, kepatuhan pembayaran sebelum batas waktu adalah langkah proaktif dan strategis dalam manajemen risiko.

Panduan Pelaporan SPT Masa PPh Final melalui e-Filing atau e-Bupot

Setelah kewajiban pembayaran dipenuhi, langkah selanjutnya adalah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa. Untuk PPh Final Jasa Konstruksi, jatuh tempo pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya setelah Masa Pajak. Ini memberikan jeda waktu 10 hari setelah batas akhir pembayaran untuk menyiapkan dan mengajukan laporan.

Pelaporan saat ini dapat dilakukan secara digital menggunakan fasilitas yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Jika terjadi keterlambatan pelaporan, wajib pajak akan dikenakan denda administrasi yang bersifat tetap per SPT Masa. Untuk meminimalkan risiko kesalahan dan keterlambatan, penting bagi kontraktor dan pengguna jasa untuk memanfaatkan sistem pelaporan elektronik:

  • Pihak Pemotong/Penyetor: Jika Anda adalah pengguna jasa konstruksi (seperti BUMN, instansi pemerintah, atau badan usaha besar) yang bertindak sebagai pemotong PPh, Anda wajib membuat dan melaporkan Bukti Potong PPh Pasal 4 Ayat 2 menggunakan aplikasi e-Bupot. Aplikasi ini mempermudah proses pembuatan, penyerahan kepada kontraktor, dan pelaporan SPT Masa.
  • Pihak Kontraktor: Sebagai kontraktor yang dipotong pajaknya, Anda harus menerima Bukti Potong tersebut dari pengguna jasa, karena ini merupakan dokumen krusial yang membuktikan PPh Anda sudah dipotong dan disetorkan, serta menjadi dokumen pendukung saat pelaporan SPT Tahunan.

Atomic Tip: Baik Anda berada di posisi pemotong maupun pihak yang dipotong, integrasikan penggunaan e-Bupot dalam alur kerja Anda. Bagi pemotong, ini adalah cara paling efisien untuk membuat dan melaporkan bukti potong. Bagi kontraktor, pastikan Bukti Potong Anda telah diunduh atau diterima. Memiliki sistem yang terverifikasi secara digital ini sangat meningkatkan akurasi dan transparansi data perpajakan Anda.

Your Top Questions About PPh Jasa Konstruksi Answered

Q1. Apakah PPh Pasal 4 Ayat 2 Jasa Konstruksi Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan?

Ya, meskipun Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 untuk jasa konstruksi bersifat final, penghasilan yang telah dikenakan pajak final ini tetap memiliki kewajiban untuk dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Anda. Sebagai ahli pajak, kami menegaskan bahwa pelaporan ini adalah langkah kepatuhan yang tidak boleh terlewatkan. Penghasilan tersebut harus dicantumkan pada bagian “Penghasilan yang Dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final”. Pelaporan ini penting untuk memastikan total penghasilan yang Anda peroleh selama tahun pajak tercatat sepenuhnya, yang menunjukkan transparansi dan akuntabilitas usaha Anda di mata otoritas pajak. Mengabaikan pelaporan ini dapat menimbulkan pertanyaan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) meskipun kewajiban pajaknya sudah lunas.

Q2. Apa Sanksi Jika Terlambat Bayar PPh Jasa Konstruksi?

Keterlambatan dalam pembayaran PPh Final Jasa Konstruksi (yang jatuh tempo pada tanggal 10 bulan berikutnya) akan dikenakan sanksi bunga sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Berdasarkan peraturan terbaru, sanksi bunga keterlambatan pembayaran dihitung berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran hingga tanggal pembayaran dilakukan.

Sanksi bunga ini dihitung secara proporsional. Sebagai contoh, tarif sanksi bunga dihitung menggunakan formula yang telah ditetapkan pemerintah, biasanya sekitar 0.5% hingga 1% per bulan. Jika Anda ingin memastikan kepatuhan yang tinggi, selalu prioritaskan pembayaran sebelum tanggal 10. Mengingat pemerintah secara teratur merevisi tarif sanksi bunga ini untuk mempertahankan disiplin wajib pajak, segera melunasi tunggakan adalah langkah yang paling bijak untuk meminimalkan beban finansial yang tidak perlu.

Final Takeaways: Mastering Kepatuhan Pajak Konstruksi di Indonesia

Menguasai cara bayar PPh Pasal 4 Ayat 2 atas jasa konstruksi adalah lebih dari sekadar kepatuhan; ini adalah fondasi untuk membangun bisnis yang kredibel dan bebas risiko denda. Setelah menelusuri setiap langkah, dari dasar hukum hingga prosedur pelaporan, penting untuk mengonsolidasikan kunci sukses kepatuhan Anda.

Tiga Langkah Utama untuk Pembayaran yang Tepat

Kepatuhan yang sempurna terhadap PPh Final Jasa Konstruksi dapat disarikan menjadi tiga pilar utama yang harus selalu Anda perhatikan. Kunci utama kepatuhan adalah memastikan Anda:

  1. Menggunakan tarif yang benar sesuai SBU: Verifikasi Sertifikat Badan Usaha (SBU) Anda untuk menerapkan tarif PPh final yang paling rendah dan tepat. Ini menunjukkan keahlian dalam pemahaman regulasi pajak.
  2. Membuat kode billing yang akurat: Selalu gunakan Kode Jenis Pajak (KJP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang tepat (411128 dan 410/411) untuk menghindari setoran yang tidak tercatat, sebuah praktik yang diakui oleh para profesional pajak sebagai penentu keandalan pelaporan.
  3. Menyimpan BPN/Bukti Potong dengan baik: Bukti Penerimaan Negara (BPN) atau Bukti Potong yang mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) adalah bukti sah pembayaran. Simpan dokumen ini dalam sistem digital yang terorganisir untuk memfasilitasi otoritas dan audit di masa depan.

Meningkatkan Kualitas dan Kepercayaan Bisnis Anda

Kepatuhan pajak yang proaktif mengirimkan sinyal positif kepada mitra bisnis, klien, dan regulator. Ketika Anda secara konsisten membayar dan melaporkan pajak tepat waktu—sebuah indikator pengalaman operasional yang matang—Anda secara otomatis meningkatkan kualitas dan kepercayaan bisnis Anda di mata klien potensial, terutama dalam proyek-proyek pemerintah atau BUMN. Kepatuhan pajak yang kuat adalah aset yang sama pentingnya dengan kualitas konstruksi fisik Anda.

Untuk memastikan tidak ada langkah yang terlewat dan memitigasi risiko sanksi, kami menyediakan sumber daya yang ringkas: Unduh infografis ‘Checklist Kepatuhan PPh Konstruksi’ kami sekarang untuk memastikan setiap kewajiban pajak Anda telah terpenuhi dengan benar.

Jasa Pembayaran Online
💬