Panduan Lengkap Cara Bayar Jasa Notaris ke Pajak 2025
Awalilah Kepatuhan: Panduan Cara Bayar Jasa Notaris ke Pajak
Pentingnya Memahami Pajak Atas Jasa Notaris (PPh Final)
Dalam setiap transaksi legal yang difasilitasi oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), terdapat aspek kewajiban perpajakan yang melekat. Pemahaman mendalam tentang pajak atas jasa notaris sangat penting. Pajak ini sering kali berkaitan erat dengan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2, yang bersifat Final. Penyetoran pajak ini merupakan tanggung jawab Notaris atau pihak yang ditunjuk, namun siapa yang menyetor secara langsung akan sangat bergantung pada jenis transaksi spesifik yang dilakukan. Misalnya, PPh atas penghasilan Notaris itu sendiri berbeda dengan PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang Notaris fasilitasi. Oleh karena itu, memastikan ketaatan terhadap aturan perpajakan adalah langkah krusial untuk menjaga legalitas dan transparansi.
Mengapa Kepatuhan Pajak Atas Jasa Notaris Menentukan Kredibilitas
Kepatuhan dalam penyetoran pajak bukan hanya sekadar kewajiban hukum, tetapi juga pilar penentu kredibilitas seorang Notaris/PPAT. Artikel ini dirancang sebagai panduan komprehensif untuk Anda. Kami akan memandu secara rinci melalui tahapan krusial, mulai dari menentukan kode billing yang tepat, memahami tarif yang berlaku, hingga prosedur penyetoran yang benar. Dengan mengikuti panduan ini secara akurat, Anda dapat memastikan bahwa setiap transaksi legal yang Anda tangani atau lakukan akan terhindar dari potensi sanksi administrasi atau denda yang tidak perlu. Pengalaman profesional menunjukkan bahwa ketelitian dalam proses penyetoran ini adalah fondasi dari praktik Notaris yang terpercaya dan bebas masalah.
Mengenal Jenis-Jenis Pajak yang Relevan dengan Jasa Notaris (Intent Mapping)
Layanan profesional yang disediakan oleh Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memiliki implikasi pajak yang beragam. Sebagai penghubung antara legalitas dan transaksi ekonomi, Notaris dan PPAT wajib memahami kewajiban pajak yang melekat, baik yang harus mereka potong dari klien maupun yang harus mereka bayarkan atas jasa yang mereka berikan. Secara umum, layanan seperti pengurusan akta jual beli tanah, perjanjian kredit, atau pendirian badan usaha dapat dikenakan dua jenis pajak utama: Pajak Penghasilan (PPh) Final dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemahaman yang akurat mengenai jenis-jenis pajak ini adalah kunci untuk memelihara kepercayaan dan otoritas di mata Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan klien.
PPh Final Pasal 4 Ayat 2: Kewajiban Utama Notaris dan PPAT
PPh Final Pasal 4 Ayat 2 adalah jenis PPh yang pelunasannya dianggap selesai setelah dilakukan pemotongan atau penyetoran. PPh jenis ini berlaku atas penghasilan tertentu dan tidak termasuk dalam perhitungan PPh pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Penting untuk dicatat bahwa PPh Final Pasal 4 Ayat 2 berbeda signifikan dari PPh Pasal 23 (Non-Final). PPh Pasal 23 umumnya dikenakan atas penghasilan berupa bunga, royalti, sewa, dan jasa manajemen atau teknik, di mana tarifnya bersifat non-final dan akan diperhitungkan kembali dalam SPT Tahunan. Sebaliknya, PPh Pasal 4 Ayat 2 memiliki tarif yang ditetapkan dan langsung dikenakan pada objek tertentu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, yang merupakan regulasi terbaru tentang PPh, Notaris/PPAT memiliki peran ganda:
- Pemotongan PPh Final atas Transaksi Klien: Misalnya, Notaris wajib memotong dan menyetorkan PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (Jual Beli Tanah) yang besarannya diatur dalam peraturan tersendiri (umumnya 2,5% dari nilai transaksi).
- Pemotongan PPh Final atas Jasa Notaris Sendiri (Honorarium): Penghasilan dari jasa Notaris/PPAT sendiri, berupa honorarium, tunduk pada ketentuan PPh, meskipun cara pemotongannya bisa berbeda-beda tergantung status subjek pajak yang membayarnya.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Penyerahan Jasa Kena Pajak
Selain PPh, jasa yang diserahkan oleh Notaris/PPAT juga dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean.
Notaris/PPAT bertanggung jawab untuk memungut PPN dari klien dan menyetorkannya kepada negara. PPN ini dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan. Saat ini, tarif PPN adalah 11%, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun, kewajiban untuk memungut PPN ini hanya berlaku bagi Notaris yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Notaris yang telah menjadi PKP harus selalu menerbitkan faktur pajak atas jasa yang mereka berikan dan kemudian menyetorkan PPN yang telah dipungut tersebut. Kewajiban notaris bukan hanya menyetorkan pajak pihak yang bertransaksi (misalnya PPh Final Jual Beli Tanah), tetapi juga PPN yang timbul dari jasa notaris itu sendiri (honorarium). Kepatuhan terhadap pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ini merupakan indikator penting dari profesionalisme dan akuntabilitas praktik Notaris/PPAT.
Prosedur 4 Langkah Setor Pajak Jasa Notaris Menggunakan e-Billing
Kepatuhan dalam menyetorkan pajak atas jasa notaris (PPh Final) dan pajak transaksi lainnya sangat bergantung pada pemanfaatan sistem e-Billing. Proses ini, jika dilakukan dengan benar, akan menghasilkan Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang sah, yang merupakan dokumen kunci untuk validasi transaksi hukum. Mengikuti prosedur ini adalah bentuk kredibilitas dan keandalan dalam praktik kenotariatan.
Langkah 1: Perhitungan Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang Tepat
Sebelum membuat kode billing, langkah fundamentalnya adalah menghitung jumlah pajak terutang. Ini memerlukan pemahaman yang akurat mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan tarif yang berlaku.
Untuk PPh Final atas honorarium Notaris, tarif umumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai PPh Final Jasa Tertentu. Sementara itu, untuk PPN atas jasa notaris, tarifnya adalah 11% dikalikan dengan DPP (honorarium jasa). Perhitungan yang tepat di awal akan mencegah proses koreksi atau pemindahbukuan yang rumit di kemudian hari.
Langkah 2: Pembuatan Kode Billing (KJS dan KJP) melalui DJP Online
Kode billing adalah kunci untuk menyetorkan pembayaran pajak. Pembuatan kode ini dilakukan melalui portal resmi DJP Online atau aplikasi M-Pajak, di mana Notaris wajib memasukkan data dengan sangat akurat.
Penting: Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang umum digunakan untuk PPh Final Jasa Notaris adalah 411128 (KAP PPh Final Jasa Tertentu) dengan KJS 423 (Setoran PPh Final Jasa Notaris).
Kesalahan dalam memasukkan KAP atau KJS dapat menyebabkan pembayaran Anda tidak tervalidasi ke jenis pajak yang benar. Untuk memastikan kepatuhan dan keahlian dalam penanganan pajak, berikut adalah tabel referensi cepat untuk tiga skenario pajak Notaris paling umum yang harus Anda gunakan saat membuat kode billing:
| Skenario Pajak Notaris | Kode Akun Pajak (KAP) | Kode Jenis Setoran (KJS) | Keterangan |
|---|---|---|---|
| PPh Final Jasa Notaris (Honorarium) | 411128 | 423 | Untuk PPh Final atas jasa yang diberikan Notaris/PPAT. |
| PPh Final Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan (Jual Beli) | 411128 | 402 | Pajak yang dipotong dari penjual dalam transaksi jual beli properti. |
| PPN Jasa Notaris (Jika PKP) | 411211 | 100/104 | PPN dalam negeri. Gunakan KJS 100 (Masa) atau 104 (Pajak yang dipungut bendaharawan). |
Pastikan Anda juga mengisi masa pajak dan tahun pajak yang sesuai, serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang benar, baik NPWP Wajib Pajak yang dipotong maupun Notaris sebagai pemotong (jika relevan).
Langkah 3: Pembayaran Melalui Kanal Bank/Pos Persepsi
Setelah kode billing berhasil dibuat, Anda dapat segera melakukan pembayaran. Pembayaran dapat dilakukan melalui berbagai kanal yang ditunjuk sebagai Bank/Pos Persepsi, termasuk teller bank, ATM, internet banking, atau mobile banking. Cukup masukkan atau pindai kode billing 15 digit yang telah Anda peroleh, dan sistem akan secara otomatis memunculkan detail tagihan pajak.
Waktu penyetoran pajak adalah aspek kredibilitas yang paling penting. Pajak yang dipotong atau dipungut (termasuk PPh Final Jasa Notaris) memiliki jatuh tempo yang ketat, umumnya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Keterlambatan pembayaran akan memicu sanksi administrasi berupa denda dan bunga sesuai ketentuan perpajakan, yang dapat mengganggu praktik dan integritas Notaris.
Langkah 4: Penerbitan Bukti Penerimaan Negara (BPN) sebagai Dokumen Sah
Langkah terakhir dan paling krusial adalah penerbitan Bukti Penerimaan Negara (BPN). Setelah pembayaran berhasil, bank akan menerbitkan BPN yang sah. Dokumen ini adalah bukti otentik bahwa kewajiban perpajakan telah dipenuhi.
BPN harus dicetak atau diunduh dan disimpan dengan baik, karena berfungsi ganda: sebagai bukti setoran bagi Notaris/PPAT, dan sebagai bukti potong bagi pihak yang bertransaksi (jika Notaris bertindak sebagai pemotong/pemungut). BPN inilah yang akan digunakan sebagai dasar pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Notaris dan Wajib Pajak terkait.
Detail Teknis: Tarif Pajak dan Kode Setoran (KAP/KJS) Kritis
Tarif PPh Final Jasa Notaris: Persentase dan Ketentuan Khusus
Mekanisme perpajakan atas jasa notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Indonesia terbagi menjadi dua komponen utama: Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh atas honorarium Notaris/PPAT yang diterima untuk jasa pembuatan akta, verifikasi dokumen, dan layanan hukum lainnya umumnya dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat 2) jika notaris/PPAT tersebut telah ditunjuk sebagai pemotong pajak. Besaran tarif PPh Final ini diatur dalam Peraturan Pemerintah dan dapat bervariasi tergantung jenis penghasilan dan status wajib pajak.
Sementara itu, untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), jasa notaris merupakan Jasa Kena Pajak (JKP). Tarif PPN Jasa Notaris adalah 11%, sesuai dengan ketentuan undang-undang PPN terbaru. PPN ini dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang pada dasarnya adalah nilai honorarium atau imbalan jasa yang diterima. Notaris yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut PPN sebesar 11% ini dari klien, yang kemudian harus disetorkan ke kas negara menggunakan Kode Akun Pajak PPN yaitu 411211. Mengingat ketentuan ini bersifat mengikat, notaris harus mencantumkan PPN secara transparan dalam penagihan honorarium kepada klien.
Membedah Kode Billing Paling Sering Salah: Dampak Kesalahan KJS
Akurasi dalam pembuatan Kode Billing menjadi titik krusial dalam proses penyetoran pajak. Kode Billing terdiri dari Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS). KAP mengidentifikasi jenis pajak (misalnya 411128 untuk PPh Final Jasa Tertentu), sementara KJS merinci jenis transaksinya (misalnya 423 untuk Setoran PPh Final Jasa Notaris).
Kesalahan yang paling sering terjadi adalah ketidaktepatan dalam memilih KJS, seperti menggunakan KJS untuk PPh Pasal 23 (Non-Final) padahal transaksi yang terjadi adalah PPh Final (Pasal 4 ayat 2). Kesalahan dalam input Kode Jenis Setoran (KJS) ini dapat menyebabkan Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang diterbitkan menjadi tidak valid untuk transaksi yang dimaksud. BPN yang tidak valid ini berarti notaris dianggap belum memenuhi kewajiban pajaknya, padahal uangnya sudah disetor.
Jika ini terjadi, satu-satunya solusi adalah mengajukan permohonan Pemindahbukuan (Pbk) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Proses Pemindahbukuan ini memakan waktu, melibatkan birokrasi, dan berpotensi memunculkan surat tagihan pajak atau denda jika batas waktu pelaporan (SPT) terlewat. Oleh karena itu, verifikasi KAP dan KJS sebelum finalisasi e-Billing merupakan langkah pencegahan kritis yang selalu ditekankan oleh para ahli kepatuhan pajak.
Contoh Kasus Perhitungan: Pajak atas Honorarium Notaris
Untuk memberikan gambaran nyata mengenai penerapan pemotongan pajak, berikut adalah studi kasus perhitungan PPh Final atas honorarium Notaris.
Studi Kasus:
- Nilai Honorarium Bruto Jasa Pembuatan Akta (DPP PPh): Rp 50.000.000
- Tarif PPh Final Pasal 4 Ayat 2 (Misalnya 2,5%): Notaris adalah penerima jasa
- Tarif PPN: 11% (Notaris sudah PKP)
Perhitungan Pajak yang Harus Disetor (Diasumsikan Klien Wajib Potong/Pungut):
-
PPh Final yang Dipotong: $$PPh Final = 2,5% \times Rp 50.000.000 = Rp 1.250.000$$
-
PPN yang Dipungut: $$PPN = 11% \times Rp 50.000.000 = Rp 5.500.000$$
Dalam skenario ini, notaris menerima pembayaran sebesar: $$Pembayaran = (Honorarium + PPN) - PPh Final$$ $$Pembayaran = (Rp 50.000.000 + Rp 5.500.000) - Rp 1.250.000 = Rp 54.250.000$$
Notaris dalam hal ini bertanggung jawab atas penyetoran PPN sebesar Rp 5.500.000 (jika klien tidak ditunjuk sebagai pemungut PPN). Sementara itu, klien sebagai pemberi jasa diwajibkan memotong PPh Final sebesar Rp 1.250.000 dan menyetorkannya ke kas negara atas nama Notaris. Dengan memberikan contoh kasus ini, kami menunjukkan bagaimana setiap rupiah yang dibayarkan dan dipotong memiliki kode penyetoran yang spesifik, menegaskan keahlian teknis yang sangat diperlukan dalam praktik perpajakan notaris.
Pengarsipan dan Pelaporan yang Membangun Kredibilitas (Sinyal Keahlian)
Kepatuhan dalam membayar pajak adalah langkah awal, namun kemampuan Anda untuk mendemonstrasikan keahlian dan keandalan Anda melalui pengarsipan dan pelaporan yang terstruktur adalah kunci utama dalam membangun kepercayaan dan otoritas sebagai Notaris atau PPAT. Proses ini memastikan setiap transaksi legal dan siap menghadapi audit.
Penyusunan Bukti Potong/Setor (Bupot) sebagai Arsip Resmi
Setiap kali Anda menyelesaikan penyetoran pajak, baik itu PPh Final atas transaksi klien atau PPN atas jasa Notaris, Anda harus mendapatkan dan menyimpan dokumen yang sah. Setiap penyetoran pajak wajib didukung dengan Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang dikeluarkan oleh bank atau kantor pos persepsi. BPN ini adalah dokumen yang mengikat secara hukum dan berfungsi ganda: sebagai bukti setoran bagi Notaris dan sekaligus sebagai Bukti Potong (Bupot) bagi pihak yang bertransaksi.
Memiliki BPN yang valid dan mudah diakses adalah fondasi dari praktik profesional yang bertanggung jawab. Tanpa BPN yang lengkap, klaim telah dilakukannya penyetoran pajak dapat dipertanyakan oleh otoritas pajak.
Sistem Pengarsipan Terbaik untuk Audit
Berdasarkan pengalaman praktisi pajak yang berinteraksi langsung dengan auditor, sistem pengarsipan digital jauh lebih unggul daripada fisik. Kami menyarankan beberapa tips penting untuk meningkatkan keandalan arsip Anda:
- Penyimpanan Cloud Terstruktur: Simpan semua BPN dalam format digital (PDF) di layanan cloud dengan folder yang diatur berdasarkan tahun dan jenis pajak (misalnya, 2025/PPh Final Jual Beli Tanah).
- Penamaan File Konsisten: Gunakan format penamaan file yang mencakup Tanggal, Jenis Pajak, dan Nomor Transaksi (misalnya, 20250815_PPN_JasaNotaris_Akte123.pdf).
- Cross-Referencing: Buat lembar kerja digital (misalnya Google Sheet atau Excel) yang mencantumkan Nomor Akta, Nomor Transaksi, Tanggal BPN, dan Nilai Pajak. Tautan ke file BPN harus disertakan dalam lembar kerja ini. Pendekatan ini memastikan BPN yang sah dapat ditemukan dalam hitungan detik saat audit, yang secara substansial meningkatkan kredibilitas profesional Anda.
Kewajiban Pelaporan Tahunan (SPT Tahunan) Notaris/PPAT
Sebagai profesional yang menerima penghasilan dan bertanggung jawab atas pemotongan pajak, Notaris/PPAT memiliki kewajiban pelaporan tahunan yang ketat. SPT Tahunan berfungsi sebagai rekonsiliasi akhir atas seluruh kewajiban perpajakan dalam satu tahun.
- SPT Tahunan Pribadi (Formulir 1770): Notaris wajib melaporkan seluruh penghasilan, termasuk honorarium dari jasa yang diberikan, serta pajak yang telah dipotong dan disetor sepanjang tahun.
- SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) dan PPN: Selain SPT Tahunan, ada kewajiban pelaporan periodik (masa) yang harus dipenuhi, terutama terkait dengan pajak yang dipotong dari transaksi klien dan PPN atas jasa sendiri. Pengarsipan BPN yang baik sangat penting untuk mengisi dan melengkapi lampiran SPT secara akurat.
Kesalahan atau ketidaklengkapan dalam SPT, yang seringkali berakar dari arsip BPN yang berantakan, dapat memicu pemeriksaan pajak, yang merupakan sinyal lemah terhadap kompetensi dan kepatuhan Anda.
Risiko dan Sanksi Jika Terlambat atau Gagal Membayar Pajak
Ketidakpatuhan dalam penyetoran dan pelaporan pajak memiliki konsekuensi serius yang tidak hanya bersifat finansial tetapi juga dapat merusak reputasi.
Sanksi administrasi dihitung berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sanksi ini umumnya berupa denda atau bunga yang dikenakan atas pajak yang terlambat disetor atau kurang dibayar. Contohnya:
- Sanksi Keterlambatan Penyetoran: Dikenakan bunga per bulan dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
- Sanksi Keterlambatan Pelaporan SPT: Dikenakan denda tetap sesuai dengan jenis SPT yang terlambat (misalnya, denda untuk SPT Masa).
Angka bunga dan denda ini dihitung berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan terus diakumulasikan selama ketidakpatuhan tersebut berlangsung. Kegagalan yang berulang dalam memenuhi kewajiban ini secara langsung merusak reputasi dan kredibilitas Notaris/PPAT di mata Dirjen Pajak dan klien. Kepatuhan yang konsisten dan pengarsipan yang disiplin adalah investasi terbaik dalam mempertahankan keahlian dan keandalan Anda di mata publik dan hukum.
Jawaban Atas Pertanyaan Kunci Tentang Pajak Jasa Notaris
Menyikapi kompleksitas peraturan perpajakan, berikut adalah klarifikasi atas pertanyaan-pertanyaan yang paling sering diajukan mengenai kewajiban pajak yang melekat pada jasa Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Memahami pembagian tanggung jawab ini sangat penting untuk membangun kepercayaan dan memitigasi risiko sanksi.
Q1. Siapa yang Menanggung PPh Final Notaris: Klien atau Notaris?
Dalam transaksi yang melibatkan Notaris, penting untuk membedakan antara dua jenis PPh Final. Pertama, PPh Final yang timbul dari transaksi klien, seperti PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PPh Jual Beli). Pajak jenis ini, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, secara substansi ditanggung oleh pihak yang memperoleh penghasilan (penjual). Namun, Notaris sebagai pihak yang memfasilitasi dan mengesahkan akta tersebut memiliki kewajiban mutlak untuk memotong dan menyetorkan pajak tersebut ke kas negara. Kedua, PPh Final atas honorarium atau imbalan jasa yang diterima oleh Notaris itu sendiri. Pajak atas honorarium ini, yang sering dikategorikan sebagai PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23 (Non-Final) tergantung skenarionya, secara penuh ditanggung dan disetorkan oleh Notaris sebagai penerima penghasilan, atau dipotong oleh pemberi honorarium jika klien adalah Wajib Pajak Badan. Penetapan pihak yang bertanggung jawab atas penyetoran ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah terbaru dan merupakan titik kritis dalam kepatuhan.
Q2. Bagaimana Cara Mendapatkan Kode Billing untuk Pajak Jasa Notaris?
Prosedur untuk mendapatkan Kode Billing adalah langkah krusial dalam penyetoran pajak. Kode Billing dapat dibuat secara mandiri melalui platform resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Online atau aplikasi mobile M-Pajak. Notaris, atau pihak yang diwakilkan, wajib memiliki akun DJP Online yang telah terdaftar dan teraktivasi. Saat pembuatan, pengguna harus memilih Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang sesuai dengan jenis pajak yang akan dibayarkan (misalnya, 411128/423 untuk PPh Final Notaris tertentu, atau 411211 untuk PPN Jasa Notaris). Akurasi dalam pemilihan KAP/KJS sangat menentukan validitas Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang akan diterbitkan, yang menjadi bukti keahlian dan kepatuhan perpajakan.
Q3. Apakah PPN Jasa Notaris Wajib Dipungut oleh Semua Notaris?
Kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Notaris hanya wajib dilakukan apabila Notaris tersebut telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengukuhan PKP umumnya didasarkan pada batasan peredaran bruto/omzet yang telah melebihi nilai tertentu, yang saat ini diatur dalam peraturan perpajakan. Jika Notaris belum memenuhi syarat omzet dan belum dikukuhkan sebagai PKP, maka Notaris tersebut tidak memiliki kewajiban untuk memungut PPN atas jasa yang diserahkan. Oleh karena itu, Notaris harus secara periodik memantau dan memeriksa omzet jasa mereka untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban pengukuhan PKP.
Ringkasan Akhir: Menguasai Kepatuhan Pajak Notaris di Era Digital
Menguasai proses pembayaran pajak atas jasa notaris bukanlah sekadar kewajiban hukum, melainkan pilar utama yang membangun otoritas, kredibilitas, dan profesionalisme seorang Notaris atau PPAT. Di era digital ini, kemudahan sistem e-Billing menuntut ketelitian yang lebih tinggi, terutama dalam input data yang krusial. Kepatuhan yang baik adalah fondasi yang membantu Anda dihormati sebagai praktisi yang cermat dan berpengetahuan.
3 Langkah Aksi Penting untuk Kepatuhan Mutlak
Untuk memastikan kepatuhan pajak Anda sempurna dan terhindar dari sanksi, fokuskan perhatian Anda pada tiga langkah aksi penting ini:
- Validasi Kode Kritis: Kunci utama kepatuhan adalah validitas Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang Anda gunakan untuk e-Billing. Sebelum menekan tombol bayar, selalu verifikasi dan pastikan kombinasi KAP/KJS yang diinput (misalnya 411128/423 untuk PPh Final Jasa Notaris) sesuai dengan jenis transaksi pajak yang disetorkan. Kesalahan di sini adalah pintu masuk utama masalah administrasi.
- Jadwal Setoran: Patuhi secara ketat tanggal jatuh tempo pembayaran pajak, umumnya tanggal 10 bulan berikutnya. Disiplin waktu adalah manifestasi dari profesionalisme Anda.
- Pengarsipan Digital: Segera periksa dan sesuaikan sistem pengarsipan bukti bayar Anda. Setiap transaksi harus memiliki Bukti Penerimaan Negara (BPN) yang sah dan mudah diakses.
Langkah Berikutnya: Audit Mandiri dan Peningkatan Keahlian
Setelah melakukan penyetoran, lakukan audit mandiri secara berkala. Periksa apakah semua BPN telah tersimpan rapi dan sesuai dengan transaksi yang terjadi. Kepatuhan pajak adalah proses berkelanjutan. Apakah Anda memerlukan panduan langkah demi langkah tentang tata cara pelaporan SPT Tahunan Notaris yang valid dan lengkap untuk mengintegrasikan semua BPN ini?