Belanja Jasa Kena Pajak? Panduan Lengkap PPN dan PPh

Apakah Belanja Jasa Wajib Bayar Pajak? PPN vs. PPh Dijelaskan

Definisi Singkat: Jasa Apa Saja yang Dikenakan Pajak?

Sebagian besar transaksi dalam dunia bisnis, termasuk pembelian jasa konsultasi, desain, manajemen, teknik, hingga jasa digital, pada prinsipnya akan dikenakan dua jenis pajak utama sesuai peraturan perpajakan terbaru di Indonesia. Pajak tersebut adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan/atau PPh (Pajak Penghasilan). PPN dikenakan atas penyerahan barang atau jasa, sedangkan PPh dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh penyedia jasa. Memahami perbedaan dan penerapan keduanya sangat penting untuk kepatuhan fiskal perusahaan Anda.

Mengapa Memahami Kewajiban Pajak Jasa Penting bagi Bisnis Anda

Kesalahan dalam memungut, memotong, atau menyetor pajak atas belanja jasa dapat menimbulkan denda yang signifikan dan sengketa dengan otoritas pajak. Dengan kompleksitas jenis jasa dan tarif pajak yang berbeda, artikel ini hadir sebagai panduan langkah demi langkah. Kami akan membantu Anda mengidentifikasi jenis pajak dan tarif yang berlaku untuk setiap transaksi jasa yang Anda lakukan, memastikan operasi bisnis Anda berjalan lancar dan patuh terhadap regulasi. Menguasai alur ini adalah langkah awal menuju manajemen keuangan yang efisien.

Memetakan Jenis Pajak: Kapan Jasa Dikenakan PPN?

Memahami kapan transaksi belanja jasa Anda wajib dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah langkah awal krusial dalam kepatuhan pajak. PPN pada jasa memiliki mekanisme yang berbeda dengan PPh, di mana PPN berfokus pada konsumsi jasa dan dipungut oleh pihak penyedia jasa yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Kriteria Jasa Kena Pajak (JKP) Berdasarkan Undang-Undang PPN

Secara definisi, Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan, yang diserahkan di dalam Daerah Pabean. Jasa ini, secara umum, dikenakan PPN sebesar 11% (tarif yang berlaku saat ini), kecuali undang-undang menetapkan lain.

Sebagai bentuk otoritas dan kejelasan regulasi, penting untuk merujuk pada ketentuan resmi. Berdasarkan Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang PPN, terdapat daftar spesifik jasa yang dikecualikan dan digolongkan sebagai Jasa Non-Kena Pajak sehingga tidak dikenakan PPN. Beberapa contoh Jasa Non-JKP yang diatur meliputi jasa di bidang:

  • Jasa Medis: Pelayanan kesehatan medis.
  • Jasa Keuangan: Kredit, pembiayaan, asuransi.
  • Jasa Pendidikan: Pendidikan sekolah dan luar sekolah.
  • Jasa Kesenian dan Hiburan: (yang sudah dipungut Pajak Daerah).
  • Jasa Perhotelan: Jasa yang disediakan oleh hotel dan sejenisnya.

Jika jasa yang Anda beli tidak termasuk dalam daftar pengecualian tersebut, dan penyedia jasa Anda adalah PKP, maka PPN 11% wajib dipungut.

Mekanisme Pemungutan dan Pengkreditan PPN Jasa untuk PKP

Dalam transaksi JKP, pemungutan PPN dilakukan oleh pihak penyedia jasa (sebagai PKP). Mereka wajib memungut PPN sebesar 11% dari harga jual jasa dan menerbitkan Faktur Pajak kepada pihak pembeli jasa. Bagi PKP pembeli jasa, Faktur Pajak ini berfungsi sangat penting sebagai bukti formal.

Penting: Faktur Pajak adalah bukti pungutan PPN yang krusial.

Bagi PKP pembeli jasa, PPN yang dibayarkan saat belanja jasa disebut PPN Masukan. PPN Masukan ini dapat dikreditkan (dikurangkan) terhadap PPN Keluaran (PPN yang dipungut dari penjualan jasa atau barang) di akhir masa pajak.

Kegagalan dalam aspek administratif PPN dapat berdampak serius:

  1. Sanksi Administratif: Kegagalan atau keterlambatan dalam menerbitkan Faktur Pajak yang benar dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan perpajakan.
  2. PPN Tidak Dapat Dikreditkan: Jika Faktur Pajak yang Anda terima tidak valid, tidak diisi lengkap, atau tidak diunggah melalui sistem e-Faktur dalam jangka waktu yang ditentukan, PPN Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. Ini berarti PPN yang 11% tersebut menjadi beban biaya bagi perusahaan Anda, meningkatkan total cost of service secara signifikan.

Oleh karena itu, selalu pastikan penyedia jasa Anda adalah PKP dan Anda menerima Faktur Pajak yang sah dan tervalidasi saat melakukan pembayaran.

Kewajiban Pemotongan PPh: Mengidentifikasi Jasa yang Dipotong PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan salah satu jenis pajak yang paling sering ditemui dalam transaksi belanja jasa. Berbeda dengan PPN yang dipungut oleh penjual, PPh Pasal 23 memiliki mekanisme pemotongan, yang berarti pembeli jasa (pemberi penghasilan) wajib memotong, menyetor, dan melaporkan pajak tersebut. Memahami kapan kewajiban ini muncul sangat penting untuk kepatuhan fiskal perusahaan Anda.

Daftar Jasa yang Dikenakan PPh Pasal 23 dan Tarif Pemotongan

PPh Pasal 23 secara spesifik dikenakan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan penggunaan modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 141/PMK.03/2015, daftar jasa yang dipotong PPh Pasal 23 sangat luas, mencakup lebih dari 60 jenis jasa. Beberapa kategori jasa yang paling umum dan sering ditemui termasuk jasa manajemen, jasa konsultan, jasa teknik, jasa akuntansi/pembukuan, jasa perbaikan/pemeliharaan, dan jasa penyediaan tempat/waktu.

Tarif PPh Pasal 23 yang berlaku standar adalah 2% dari jumlah bruto nilai imbalan. Namun, hal ini berlaku hanya jika penyedia jasa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk memastikan integritas dalam transaksi, apabila penyedia jasa (penerima penghasilan) tidak dapat menunjukkan NPWP yang valid, maka tarif pemotongan yang berlaku akan menjadi dua kali lipat (4%). Ketentuan ini berlaku untuk seluruh jenis jasa yang diatur dalam PPh Pasal 23. Oleh karena itu, memastikan validitas NPWP mitra bisnis Anda adalah langkah awal yang krusial untuk mengoptimalkan beban pajak.

Perbedaan PPh Pasal 23 dengan PPh Final (Pasal 4 Ayat 2) untuk Jasa Tertentu

Seringkali, pembeli jasa bingung membedakan antara PPh Pasal 23 dengan PPh Final (Pasal 4 Ayat 2). Kedua pasal ini mengatur pemotongan atas penghasilan dari jasa, namun dengan kriteria yang berbeda. PPh Pasal 23 bersifat tidak final (dapat dikreditkan oleh penerima penghasilan pada akhir tahun), dan dikenakan atas berbagai jasa yang telah disebutkan di atas.

Sebaliknya, PPh Final Pasal 4 Ayat 2 dikenakan atas penghasilan dari jasa tertentu yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, dan pajak yang dipotong sudah dianggap lunas (final) serta tidak dapat dikreditkan. Contoh paling umum untuk jasa yang dikenakan PPh Final adalah:

  • Jasa Konstruksi: Dikenakan PPh Final dengan tarif bervariasi antara 1,75% hingga 4% tergantung kualifikasi badan usaha (sesuai PP 9 Tahu 2022).
  • Sewa Tanah dan/atau Bangunan: Dikenakan PPh Final sebesar 10% dari nilai sewa.
  • Jasa Pelaku UMKM: Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (saat ini hingga Rp 4,8 Miliar setahun) dapat menggunakan tarif PPh Final 0,5% (sesuai PP 55 Tahun 2022).

Jika Anda sebagai pembeli jasa bertransaksi dengan Wajib Pajak yang termasuk kriteria PPh Final (misalnya penyedia jasa konstruksi), maka kewajiban pemotongan Anda harus merujuk ke PPh Final, bukan PPh Pasal 23.

Panduan Langkah: Prosedur Penerbitan Bukti Potong PPh Pasal 23

Inti dari kepatuhan PPh Pasal 23 terletak pada kewajiban pembeli jasa untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan yang benar. Langkah-langkah prosedural ini sangat penting karena kegagalan pembeli jasa (pemotong pajak) dapat berujung pada sanksi.

  1. Potong Pajak Saat Pembayaran: Pemotongan PPh Pasal 23 wajib dilakukan pada akhir bulan dibayarkannya penghasilan, disediakan untuk dibayarkan, atau saat jatuh tempo pembayaran (tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu). Misalnya, jika pembayaran jasa konsultan dilakukan pada tanggal 25 Januari, pemotongan wajib dilakukan pada bulan Januari.

  2. Setor Pajak: PPh Pasal 23 yang telah dipotong wajib disetor ke kas negara melalui bank persepsi menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau kode billing atas nama pemotong (pembeli jasa). Batas waktu penyetoran adalah paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan.

  3. Terbitkan Bukti Potong: Setelah penyetoran, pemotong pajak wajib membuat Bukti Potong PPh Pasal 23. Bukti potong ini adalah dokumen yang sangat krusial karena merupakan bukti sah bagi penyedia jasa untuk mengkreditkan pajak yang telah dipotong. Saat ini, penerbitan Bukti Potong wajib dilakukan secara elektronik melalui aplikasi e-Bupot milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bukti potong harus diberikan kepada penyedia jasa segera setelah dibuat.

  4. Laporkan Pajak: Terakhir, pemotong pajak wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23. Batas waktu pelaporan adalah paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya pemotongan. Pelaporan juga diwajibkan melalui saluran elektronik yang telah ditetapkan DJP. Dengan mengikuti prosedur ini secara disiplin, perusahaan dapat memenuhi tanggung jawab pemotongan pajak secara tuntas.

Studi Kasus Jasa Populer: Konsultan, Freelancer, dan Jasa Digital

Memahami implementasi kewajiban pajak dalam studi kasus nyata adalah kunci untuk memastikan kepatuhan. Tiga kategori jasa berikut—konsultansi, freelance, dan digital—sering menimbulkan pertanyaan karena variasi status Wajib Pajak penyedia jasa dan sifat transaksinya.

Perlakuan Pajak Jasa Konsultansi Manajemen dan Hukum

Jasa konsultansi, baik di bidang manajemen, teknik, maupun hukum, memiliki perlakuan perpajakan ganda yang harus dipertimbangkan. Jika penyedia jasa adalah Badan Usaha atau Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka transaksi jasa tersebut akan dikenakan dua jenis pajak:

  1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN): PPN sebesar 11% wajib dipungut oleh penyedia jasa atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan diterbitkan dalam Faktur Pajak.
  2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23: Pihak pembayar jasa (Badan atau penyelenggara kegiatan) wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto.

Sebaliknya, jika penyedia jasa adalah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), kewajiban PPh bergeser. Dalam kasus ini, pihak pembayar jasa wajib memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan, bukan PPh Pasal 23. Perubahan ini krusial dan harus didukung oleh Surat Pernyataan Wajib Pajak untuk memverifikasi status penyedia jasa. Memverifikasi status ini di awal kontrak akan memberikan kewenangan dalam penentuan jenis pajak yang tepat, menghindari koreksi di kemudian hari.

Pajak Atas Jasa Freelance dan Kontraktor Individu: Fokus pada PPh 21 dan PPh Final

Sektor freelance dan kontraktor individu di Indonesia berkembang pesat, dan perlakuan pajaknya terpusat pada PPh Pasal 21. Perlakuan PPh 21 ini dikenakan karena penghasilan freelancer dianggap sebagai imbalan yang dibayarkan kepada orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan bebas.

Berdasarkan regulasi PPh, mekanisme perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 atas jasa yang dilakukan oleh freelance adalah sebagai berikut:

  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP): 50% dari Penghasilan Bruto.
  • Tarif PPh 21: Menggunakan tarif progresif Pasal 17 UU PPh.

Seorang praktisi pajak senior dengan pengalaman di bidang PPh 21 menekankan bahwa tarif PPh 21 yang dipotong adalah 50% dari Penghasilan Bruto dikalikan dengan tarif progresif Wajib Pajak Orang Pribadi (misalnya, lapisan pertama 5%) jika freelancer memiliki NPWP. Secara formula, pemotongan PPh 21 adalah $\text{50%} \times \text{Penghasilan Bruto} \times \text{Tarif PPh Pasal 17}$. Dalam praktik, pemahaman keahlian ini sangat penting agar pemotongan dilakukan secara benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain PPh 21, freelancer juga wajib melihat status PPN mereka. Jika omzetnya melebihi batasan sebagai PKP (saat ini Rp4,8 Miliar), maka mereka wajib memungut PPN 11% dan menerbitkan Faktur Pajak.

Aspek Pajak untuk Jasa Digital dan Transaksi Lintas Batas (Luar Negeri)

Belanja jasa digital, seperti langganan software (SaaS), layanan cloud, atau iklan digital dari penyedia luar negeri, menciptakan skema pajak lintas batas. Transaksi ini dikenakan PPN Jasa Luar Negeri.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 48/PMK.03/2020, penyedia jasa digital luar negeri atau Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan wajib memungut PPN sebesar 11% atas penjualan barang/jasa digital kepada konsumen di Indonesia. Ini berarti, PPN 11% sudah dimasukkan oleh penyedia jasa asing dalam tagihan.

Namun, terdapat skema lain untuk jasa digital non-PMSE (seperti jasa konsultasi atau teknik yang dilakukan secara daring oleh penyedia luar negeri). Dalam kasus ini, pembeli jasa di Indonesia wajib menyetorkan sendiri PPN yang terutang (disebut PPN Jasa Luar Negeri atau PPN Self-Assessment) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Selain PPN, PPh Pasal 26 (PPh atas penghasilan luar negeri) juga mungkin berlaku, tergantung pada ada atau tidaknya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara domisili penyedia jasa. Pemahaman mendalam tentang P3B menjadi bukti kepercayaan dalam mengelola risiko pajak internasional.

Meningkatkan Kepatuhan Pajak: Dokumen Penting dan Praktik Terbaik

Peran Kontrak Kerja/SPK dalam Menentukan Status Pajak Jasa

Kepatuhan pajak dimulai jauh sebelum pembayaran dilakukan—yakni pada saat penandatanganan kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK). Kontrak kerja/SPK berfungsi sebagai dokumen legal yang harus secara eksplisit menyatakan status perpajakan dari transaksi jasa yang disepakati. Pernyataan ini krusial karena menentukan siapa yang bertanggung jawab menanggung dan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau siapa pemotong Pajak Penghasilan (PPh).

Ketidakjelasan dalam kontrak mengenai siapa yang menanggung PPN/PPh sering kali menjadi sumber sengketa dan potensi denda saat audit. Misalnya, jika PPN tidak tercantum jelas, pembeli jasa mungkin berspekulasi bahwa harga sudah termasuk PPN, sementara penjual berasumsi sebaliknya. Dengan detail yang jelas di awal, Anda mencegah ketidakpatuhan, memvalidasi biaya, dan mengamankan kedudukan Anda dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Kesalahan Umum dalam Perpajakan Jasa yang Harus Dihindari

Banyak bisnis, bahkan yang sudah mapan, kerap jatuh pada kesalahan administratif yang berdampak besar pada kepatuhan. Salah satu kesalahan fatal terkait PPN adalah masalah validitas dan ketepatan waktu Faktur Pajak. Sebagai langkah pencegahan yang sangat penting, selalu pastikan Faktur Pajak yang diterima valid dan telah diunggah (melalui aplikasi e-Faktur). Peraturan tegas menyatakan bahwa Faktur Pajak harus diunggah paling lambat tiga bulan setelah tanggal seharusnya diterbitkan. Kegagalan mematuhi tenggat waktu ini berarti PPN Masukan Anda tidak dapat dikreditkan, yang secara langsung meningkatkan beban biaya perusahaan.

Selain itu, berdasarkan pengalaman kami dalam menangani litigasi pajak, salah satu risiko ketidakpatuhan PPh Pasal 23 yang paling sering muncul adalah kelalaian pembeli jasa dalam memastikan dokumen dari penyedia jasa. Misalnya, tidak adanya Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 23. Jika penyedia jasa berhak atas pembebasan PPh (misalnya, karena menggunakan PPh Final UMKM), namun gagal menyerahkan SKB yang sah, pembeli jasa wajib tetap memotong PPh 23. Kelalaian ini tidak hanya membebani penyedia jasa tetapi juga menempatkan pembeli jasa pada posisi yang melanggar kewajiban pemotongan PPh.

Tips untuk Mempersiapkan Audit Pajak Terkait Belanja Jasa

Persiapan audit yang cermat adalah kunci untuk menunjukkan tanggung jawab dan mengurangi potensi koreksi fiskal. Semua transaksi belanja jasa harus didukung oleh dokumentasi yang lengkap dan kronologis.

  1. Arsip Kontrak yang Rapi: Pastikan semua kontrak kerja/SPK, purchase order, dan invoice disimpan terpisah dan mudah diakses. Dokumen-dokumen ini menjadi dasar penetapan jenis dan tarif pajak yang berlaku.
  2. Validitas Dokumen Pajak: Selalu simpan salinan Bukti Potong PPh Pasal 23 yang Anda terbitkan dan Faktur Pajak Masukan (PPN) yang Anda terima. Lakukan rekonsiliasi rutin antara total biaya jasa yang dicatat di pembukuan dengan total PPN Masukan dan PPh yang dipotong/dibayar.
  3. Verifikasi NPWP: Sebelum membayar jasa, verifikasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) penyedia jasa. Pemotongan PPh Pasal 23 akan dikenakan tarif lebih tinggi (4%) jika penyedia jasa tidak memiliki NPWP.

Dengan menerapkan praktik-praktik terbaik ini, Anda tidak hanya mematuhi undang-undang pajak tetapi juga membangun bukti keahlian dan kredibilitas (Authority) dalam tata kelola keuangan perusahaan Anda, yang sangat dihargai oleh pemeriksa pajak.

FAQ Perpajakan Jasa: Jawaban Instan untuk Kepatuhan Bisnis

Q1. Apakah PPN dan PPh dapat dikenakan secara bersamaan pada satu transaksi jasa?

Sebagai pembeli atau penyedia jasa yang mengutamakan kredibilitas dan kepatuhan, penting untuk memahami bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) dapat dikenakan secara bersamaan pada satu transaksi jasa. Kedua jenis pajak ini memiliki objek yang berbeda. PPN adalah pajak tidak langsung yang dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean, yang saat ini bertarif 11%. Sementara itu, PPh (misalnya PPh Pasal 23) adalah pajak langsung yang dikenakan atas penghasilan atau imbalan yang diterima oleh penyedia jasa atas layanan yang diberikan.

Contoh sederhananya, ketika Anda membayar jasa konsultasi, Anda membayar PPN sebesar 11% dari nilai jasa kepada penyedia jasa (jika penyedia adalah PKP) dan, pada saat yang sama, Anda sebagai pembayar jasa wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari nilai imbalan jasa tersebut. Pemahaman mengenai perbedaan objek dan subjek kedua pajak ini adalah fondasi keahlian dalam menjalankan operasi bisnis yang patuh.

Q2. Bagaimana perlakuan pajak jika penyedia jasa adalah UMKM dengan PPh Final 0.5%?

Perlakuan pajak menjadi lebih spesifik ketika penyedia jasa adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memilih untuk menggunakan tarif PPh Final 0.5%. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, Wajib Pajak UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak dapat memilih untuk dikenakan PPh Final sebesar 0.5%.

Poin krusialnya adalah: jika penyedia jasa adalah UMKM yang menggunakan skema PPh Final 0.5% (berdasarkan PP 55 Tahun 2022), maka pihak pembeli jasa tidak memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23. Ini karena penghasilan dari jasa tersebut sudah dianggap lunas melalui mekanisme PPh Final yang dibayarkan sendiri oleh UMKM. Namun, untuk menegaskan otoritas dan transparansi dalam transaksi, pihak pembeli jasa harus memastikan bahwa penyedia jasa dapat menyerahkan Surat Keterangan (Suket) yang menyatakan bahwa mereka memang dikenakan PPh Final berdasarkan PP 55/2022. Tanpa surat keterangan ini, kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 secara standar akan tetap berlaku bagi pembeli jasa.

Final Takeaways: Strategi Meminimalkan Risiko Pajak Jasa di Tahun 2026

Tiga Langkah Aksi Cepat untuk Mengamankan Transaksi Jasa Anda

Mengelola kewajiban pajak atas belanja jasa memerlukan ketelitian dalam setiap transaksi. Berdasarkan pengalaman praktis para konsultan pajak, tiga pilar kepatuhan berikut adalah yang paling krusial untuk meminimalkan risiko denda dan sengketa: 1) Memastikan validitas status Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari penyedia jasa sebelum transaksi dilakukan, yang menjamin PPN dapat dikreditkan dengan benar. 2) Melakukan pemotongan dan penyetoran PPh yang tepat sesuai jenis jasa (terutama PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21) dan status NPWP pihak penerima penghasilan. 3) Selalu meminta dan menyimpan dokumen pajak lengkap dan valid (Faktur Pajak dan Bukti Potong PPh) sebagai bukti transaksi yang sah. Kepatuhan pada tiga langkah ini akan sangat meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas catatan pajak bisnis Anda di hadapan otoritas fiskal.

Sumber Daya Lanjutan dan Konsultasi Pajak yang Direkomendasikan

Dalam rangka menjaga kepatuhan yang berkelanjutan, bisnis harus proaktif. Langkah Selanjutnya yang sangat direkomendasikan adalah melakukan review internal atas semua kontrak jasa yang sedang berjalan. Verifikasi ini bertujuan untuk memastikan kesesuaian tarif PPN maupun PPh yang dikenakan atau dipotong, terutama setelah adanya perubahan regulasi terbaru. Untuk kasus-kasus kompleks, seperti transaksi jasa lintas batas atau interpretasi atas pengecualian Jasa Non-Kena Pajak, sangat disarankan untuk merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak terbaru dan berkonsultasi dengan profesional pajak berlisensi yang memiliki keahlian mendalam dalam perpajakan jasa.

Jasa Pembayaran Online
💬