Batas Maksimal Pembayaran Uang Persediaan (UP) kepada Penyedia Jasa

Memahami Batas Maksimal Pembayaran UP: Panduan Kepatuhan Pengadaan Jasa

Panduan ini hadir untuk memberikan kejelasan mendalam bagi seluruh Pejabat Perbendaharaan—Bendahara, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM)—dalam menjalankan proses pembayaran pengadaan jasa pemerintah. Kepatuhan terhadap aturan limitasi pembayaran Uang Persediaan (UP) adalah fondasi utama integritas dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Apa Batas Maksimal Pembayaran UP kepada Penyedia Jasa?

Regulasi pengadaan jasa pemerintah telah menetapkan batasan yang sangat jelas mengenai penggunaan Uang Persediaan (UP). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 190/PMK.05/2012 dan perubahannya, batas maksimal pembayaran UP kepada penyedia jasa adalah Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) per satu kali pembayaran. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh Satuan Kerja (Satker) yang melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap transaksi dengan nilai di atas batas ini wajib dibayarkan melalui mekanisme Pembayaran Langsung (LS) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).

Mengapa Regulasi Batas Pembayaran UP Ini Penting?

Mematuhi batasan nominal UP bukan hanya masalah administratif, tetapi merupakan langkah krusial untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan dana publik. Panduan yang disajikan dalam artikel ini akan memberikan langkah demi langkah yang terstruktur untuk memastikan Satuan Kerja mencapai kepatuhan anggaran penuh dan secara efektif meminimalkan risiko temuan auditor. Dengan memahami dan menerapkan aturan batas UP secara ketat, pengelola keuangan dapat menunjukkan tata kelola yang baik dan membangun kepercayaan terhadap sistem perbendaharaan.

Dasar Hukum dan Regulasi Terbaru Batas Pembayaran UP (Kemenkeu 2024)

Peraturan Kunci: PMK 190 Tahun 2012 dan Perubahannya

Memahami batas maksimal pembayaran Uang Persediaan (UP) bukan sekadar prosedur, melainkan landasan kepatuhan anggaran yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Sumber kewenangan utama yang mengatur secara spesifik batas UP adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Regulasi ini menetapkan batasan nominal yang harus dipatuhi oleh seluruh Satuan Kerja (Satker) dalam menggunakan dana UP.

Secara eksplisit, Pasal 44 ayat (2) PMK 190/PMK.05/2012 (dan perubahannya, terutama PMK 178/PMK.05/2018) mengatur bahwa batas maksimal pembayaran dari Bendahara Pengeluaran kepada satu Penyedia Barang/Jasa untuk satu kali pembayaran adalah Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Batas ini merupakan garis demarkasi krusial yang menentukan apakah suatu transaksi pengadaan jasa dapat dibayarkan menggunakan UP atau harus menggunakan mekanisme Pembayaran Langsung (LS). Untuk memastikan keabsahan dan keakuratan informasi regulasi terbaru, setiap pengelola keuangan wajib melakukan verifikasi mandiri melalui sumber resmi pemerintah. Sebagai bentuk kejelasan otoritas dan transparansi, teks regulasi PMK 190/2012 dan perubahan terbarunya dapat diakses langsung pada laman resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kementerian Keuangan.

Definisi Uang Persediaan (UP) dan Penerapannya dalam Pengadaan

Uang Persediaan (UP) adalah uang muka kerja yang diberikan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker yang tidak mungkin atau tidak efisien dibayar melalui mekanisme Langsung (LS). UP dirancang untuk transaksi rutin, mendesak, dan dalam jumlah yang relatif kecil, seperti pembelian alat tulis kantor, biaya perjalanan dinas non-kontrak, atau pembayaran jasa dengan nilai di bawah batas maksimal.

Dalam konteks pengadaan jasa, pemanfaatan UP harus sangat ketat. Ketika sebuah transaksi pembayaran kepada penyedia jasa melebihi batas nominal Rp50 juta, peraturan secara tegas mewajibkan Satker untuk mengalihkan metode pembayarannya. Pembayaran di atas ambang batas Rp50.000.000 harus dilakukan secara Langsung (LS). Mekanisme LS ini berarti pembayaran dilakukan langsung dari Rekening Kas Negara ke rekening Penyedia Jasa melalui KPPN, melewati Bendahara Pengeluaran. Kepatuhan terhadap aturan ini adalah indikator utama pengelolaan keuangan negara yang bertanggung jawab, memastikan setiap pengeluaran signifikan tercatat langsung dan diawasi ketat oleh otoritas perbendaharaan. Pelanggaran terhadap batasan ini dapat memicu temuan audit serius.

Pengecualian dan Perbedaan Pembayaran UP untuk Barang vs. Jasa

Kapan Batas Maksimal Rp50 Juta Tidak Berlaku?

Pemahaman yang keliru sering terjadi mengenai penerapan batas Uang Persediaan (UP) sebesar Rp50.000.000. Penting untuk digarisbawahi bahwa batas ini secara spesifik merujuk pada nominal per transaksi atau faktur yang dibayarkan, bukan total akumulasi tagihan dari satu penyedia jasa dalam satu periode tertentu. Artinya, jika suatu Satuan Kerja (Satker) mengadakan layanan dari penyedia jasa dan penyedia tersebut menerbitkan beberapa tagihan atau faktur dalam bulan yang sama, setiap faktur harus berada di bawah batas Rp50 juta agar dapat dibayarkan menggunakan mekanisme UP. Jika nilai satu faktur tunggal, atau satu transaksi pembayaran untuk satu dokumen pendukung, telah melampaui Rp50 juta, maka pembayaran tersebut wajib diajukan melalui mekanisme pembayaran Langsung (LS) kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), terlepas dari apakah Satker masih memiliki saldo UP yang mencukupi.

Sebagai contoh penerapan nyata di lapangan, misalnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di wilayah tertentu pernah menghadapi situasi di mana mereka harus membayar sewa alat berat yang, berdasarkan kontrak, menghasilkan beberapa faktur mingguan. Meskipun total nilai kontraknya sangat besar, pembayaran faktur mingguan yang nilainya konsisten di bawah Rp50 juta dapat dilakukan melalui UP. Namun, untuk satu faktur tertentu yang mencakup pemakaian selama satu bulan penuh dan nilainya mencapai Rp65.000.000, Satker tersebut secara patuh mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Surat Perintah Membayar (SPM) dengan mekanisme LS (Langsung). Tindakan ini menunjukkan keahlian dan kehati-hatian dalam memisahkan pembayaran sesuai batas regulasi untuk menjaga akuntabilitas anggaran yang tinggi.

Perbedaan Batas Nominal Pembayaran untuk Belanja Barang dan Jasa

Batas nominal Rp50 juta per transaksi berlaku secara umum untuk seluruh jenis pembayaran yang menggunakan mekanisme UP, baik itu untuk belanja barang (misalnya, pembelian ATK, suku cadang) maupun belanja jasa (misalnya, sewa, jasa konsultan, event organizer). Tidak ada perbedaan nominal maksimum berdasarkan klasifikasi belanja (seperti akun 52 atau 53).

Namun, risiko pelanggaran yang paling sering ditemukan dalam review kepatuhan terkait pengadaan jasa adalah praktik pemecahan pembayaran (splitting). Praktik ini terjadi ketika total tagihan dari penyedia jasa yang seharusnya dibayarkan melalui LS (karena nominalnya di atas Rp50 juta) dipecah-pecah menjadi beberapa faktur atau pembayaran terpisah yang masing-masing nilainya di bawah batas nominal UP.

Tindakan pemecahan pembayaran untuk menghindari batas nominal secara tegas dilarang karena dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin anggaran yang serius. Otoritas fiskal dan pengawas anggaran, seperti BPK, memandang tindakan ini sebagai upaya manipulasi prosedur pembayaran. Misalnya, jika suatu jasa konsultan bernilai Rp90.000.000, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Bendahara tidak boleh meminta penyedia jasa memecahnya menjadi dua faktur: satu Rp45.000.000 dan satu lagi Rp45.000.000, dengan tujuan agar kedua faktur tersebut dapat dibayar melalui UP. Transaksi semacam ini akan dicatat sebagai temuan audit yang dapat berujung pada sanksi administratif atau kewajiban pengembalian kerugian negara jika tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kepatuhan terhadap aturan ini adalah fondasi kepercayaan dan otoritas dalam pengelolaan keuangan negara.

Prosedur Operasional Standar (SOP) Pembayaran UP yang Mematuhi Batas

Kepatuhan terhadap batas maksimal pembayaran Uang Persediaan (UP) bukan sekadar tindakan reaktif, melainkan hasil dari prosedur operasional yang terstruktur. Untuk mencapai kualitas dan kepercayaan dalam pengelolaan keuangan negara, Satuan Kerja (Satker) harus mengintegrasikan prinsip kehati-hatian ini sejak tahap perencanaan anggaran. Memiliki SOP yang jelas adalah bukti otoritas dan keahlian tim perbendaharaan dalam menjalankan tugasnya sesuai PMK yang berlaku.

Langkah 1: Verifikasi Nilai Kontrak dan Termin Pembayaran

Kunci utama untuk menghindari pelanggaran batas nominal pembayaran UP sebesar Rp50.000.000 per transaksi dimulai pada fase perencanaan kontrak. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memegang peran krusial di sini. Sebelum penandatanganan kontrak dengan penyedia jasa, PPK harus secara tegas memastikan rincian pembayaran kontrak jasa sudah memisahkan porsi mana yang akan dibayar menggunakan UP dan porsi mana yang wajib diajukan secara Langsung (LS).

Untuk kontrak yang nilainya melebihi Rp50 juta, termin pembayaran harus dirancang sedemikian rupa sehingga setiap penagihan individual (faktur) oleh penyedia jasa tidak melampaui batas UP jika memang direncanakan menggunakan mekanisme tersebut. Jika satu tagihan melampaui batas tersebut, maka PPK harus sejak awal menetapkan pembayaran tagihan tersebut wajib melalui mekanisme LS yang diajukan ke KPPN. Pengelolaan kontrak yang cerdas dan detail ini akan meminimalkan risiko temuan oleh auditor.

Langkah 2: Mekanisme Pengajuan Ganti Uang (GU) dan Tambah Uang (TU)

Mekanisme Ganti Uang (GU) dan Tambah Uang (TU) adalah denyut nadi pengelolaan UP. Kepatuhan tidak hanya berhenti pada batas per transaksi, tetapi juga pada pengelolaan saldo UP yang ada di Bendahara Pengeluaran. Proses GU harus dilakukan secara periodik, tidak menunda pengajuan SPJ (Surat Pertanggungjawaban). Penundaan pengajuan SPJ dapat menyebabkan saldo UP terakumulasi melebihi batas kebutuhan normal, yang mana kondisi ini sering menjadi perhatian auditor. Proses GU memastikan bahwa dana yang telah dibelanjakan segera diganti dari Kas Negara, menjaga saldo UP tetap pada batas ideal dan siap digunakan untuk transaksi kecil berikutnya.

Pengajuan Tambah Uang (TU) hanya boleh dilakukan jika UP sebelumnya sudah di-GU-kan minimal 50% atau telah digunakan lebih dari batas minimal pengajuan GU. Prosedur ini penting untuk menunjukkan akuntabilitas dan kompetensi dalam mengelola kas.

Untuk membantu visualisasi dan memperkuat kepercayaan dan keahlian, berikut adalah bagan alir sederhana yang mengilustrasikan perbedaan jalur proses pembayaran UP dan LS, serta peran spesifik dari tiap pejabat:

Aktor Transaksi < Rp50 Juta Transaksi > Rp50 Juta Peran Kepatuhan
Penyedia Jasa Mengajukan Tagihan/Kuitansi Mengajukan Tagihan/Kuitansi + Bukti Penerimaan Memastikan kuitansi tidak dipecah (splitting)
Bendahara Pengeluaran Membayar menggunakan UP, lalu merekap untuk SPJ/GU. Menolak pembayaran (jika diajukan UP), meneruskan dokumen ke PPK. Memastikan pembayaran < Rp50 Juta dan tidak splitting.
PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) Menerima SPJ dari Bendahara, meneruskan ke PPSPM. Membuat dan mengajukan SPP-LS ke PPSPM. Memverifikasi kelengkapan dokumen dan memastikan jenis pembayaran (UP/LS) tepat.
PPSPM (Pejabat Penandatangan SPM) Menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM-GU) ke KPPN. Menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM-LS) ke KPPN. Menguji kebenaran formal SPP dan menerbitkan SPM sesuai regulasi.
KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) Mencairkan dana GU ke Rekening Bendahara. Mentransfer dana langsung ke Rekening Penyedia Jasa. Memastikan proses pembayaran (SPM) sesuai dengan batas dan ketentuan PMK.

Bagan alir ini menunjukkan bagaimana pemisahan flow antara UP dan LS (di atas Rp50 juta) menjadi kewajiban yang harus dipegang teguh oleh Bendahara Pengeluaran, PPK, dan PPSPM, sebagai wujud kompetensi kolektif dalam menjaga disiplin anggaran.

Risiko Pelanggaran dan Sanksi Jika Melebihi Batas Pembayaran UP

Melampaui batas nominal pembayaran Uang Persediaan (UP) kepada penyedia jasa sebesar Rp50.000.000, atau melakukan pemecahan tagihan (splitting), bukan sekadar kekeliruan administratif, melainkan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara. Risiko yang timbul sangat nyata dan berpotensi merugikan negara, bahkan memicu konsekuensi hukum bagi para pejabat perbendaharaan terkait.

Konsekuensi Audit oleh BPK dan Inspektorat Jenderal

Kepatuhan terhadap batas maksimal pembayaran UP adalah area sensitif yang menjadi fokus utama dalam setiap pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian/Lembaga.

Pelanggaran batas UP, terutama yang melibatkan pemecahan transaksi untuk menghindari mekanisme Pembayaran Langsung (LS), secara inheren dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengarah pada Kerugian Negara atau Potensi Kerugian Negara jika dana yang dibayarkan tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya atau disalahgunakan. Dalam situasi yang lebih ekstrem, pelanggaran administrasi keuangan ini berpotensi memicu sanksi yang bersifat pidana, tergantung pada tingkat keseriusan dan niat di balik pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan UP wajib dijunjung tinggi.

Secara rutin, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK seringkali mencantumkan temuan umum terkait penyalahgunaan Uang Persediaan yang dibayarkan di atas batas nominal. Temuan ini biasanya menggarisbawahi kegagalan Satuan Kerja (Satker) dalam mematuhi Pasal 44 ayat (2) PMK No. 190/PMK.05/2012. Beberapa common findings BPK meliputi:

  • Pembayaran after the fact: Pembayaran menggunakan UP untuk pengeluaran yang seharusnya diajukan LS.
  • Pemecahan tagihan (splitting): Transaksi dipisah menjadi beberapa faktur kecil agar masing-masing di bawah Rp50 juta.
  • UP terakumulasi melebihi batas: Saldo UP di Bendahara Pengeluaran tidak segera diganti (GU) sehingga total dana yang dikelola melebihi batas kepatutan.

Temuan-temuan ini sering berujung pada rekomendasi pengembalian kerugian negara dan permintaan perbaikan tata kelola keuangan yang ketat, menjadi bukti pentingnya kepatuhan nominal.

Implikasi Disiplin Anggaran bagi Bendahara dan Pejabat Perbendaharaan

Disiplin anggaran adalah pilar utama dalam pengelolaan APBN. Pelanggaran batas UP membawa implikasi serius terhadap Pejabat Perbendaharaan Negara, meliputi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM), dan terutama Bendahara Pengeluaran.

Sanksi administrasi yang paling umum dan langsung dikenakan kepada Satker yang terbukti melanggar batas pembayaran UP meliputi:

  1. Teguran Tertulis: Diberikan kepada pejabat terkait, yang tercatat dalam catatan akuntabilitas kinerja mereka.
  2. Penghentian Sementara Pembayaran UP: Jika pelanggaran terus berulang, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dapat menghentikan sementara pengajuan Tambah Uang (TU) atau Ganti Uang (GU) bagi Satker yang bersangkutan. Penghentian ini melumpuhkan operasional harian Satker karena tidak ada dana kas kecil yang bisa digunakan, memaksa semua transaksi harus melalui mekanisme LS yang lebih panjang.
  3. Tuntutan Ganti Kerugian Negara (TGR): Jika kerugian negara terbukti terjadi akibat penyalahgunaan UP yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, pejabat terkait dapat diwajibkan mengganti kerugian tersebut secara pribadi.

Setiap Pejabat Perbendaharaan harus memahami bahwa tanggung jawab mereka bersifat personal dan fungsional. Bendahara Pengeluaran, misalnya, bertanggung jawab secara pribadi atas dana UP yang dikelolanya dan harus memastikan bahwa setiap pembayaran yang dia lakukan tidak melanggar batasan nominal per transaksi. Kegagalan dalam kepatuhan ini tidak hanya merusak reputasi Satker tetapi juga dapat berdampak pada karir dan sanksi disiplin sesuai Peraturan Pemerintah mengenai Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Pertanyaan Paling Sering Diajukan Seputar Batas Pembayaran UP

Q1. Apakah Batas Rp50 Juta Berlaku untuk Seluruh Jenis Belanja (52, 53, dll.)?

Regulasi mengenai Uang Persediaan (UP) diatur secara umum untuk pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan pengalaman dan pemahaman terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait, batas maksimal Rp50.000.000 per sekali bayar berlaku untuk seluruh jenis belanja yang menggunakan mekanisme UP. Hal ini mencakup, tetapi tidak terbatas pada, Belanja Barang (Akun 52xx) dan Belanja Modal/Jasa (Akun 53xx).

Penting bagi Bendahara Pengeluaran dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) untuk memahami bahwa limitasi ini didasarkan pada mekanisme pembayaran (melalui UP) dan bukan pada peruntukan akun belanjanya. Setiap pengeluaran yang dananya berasal dari UP, terlepas dari apakah itu untuk membeli alat tulis kantor (52) atau membayar jasa konsultan (53), harus mematuhi batasan nominal ini. Prinsip ini memastikan pertanggungjawaban dan akuntabilitas keuangan negara yang tinggi.

Q2. Apa yang Harus Dilakukan Jika Nilai Transaksi Penyedia Jasa Tepat Rp50.000.000?

Jika nilai transaksi penyedia jasa tepat Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah), pembayaran secara teknis masih diperbolehkan menggunakan mekanisme Uang Persediaan (UP). Sesuai redaksi regulasi, batas yang ditetapkan adalah sampai dengan Rp50.000.000. Namun, berdasarkan rekomendasi dan praktik terbaik yang disarankan oleh auditor dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dalam berbagai sosialisasi, sangat disarankan untuk langsung menggunakan mekanisme Pembayaran Langsung (LS) untuk nilai transaksi sebesar ini.

Menggunakan mekanisme LS untuk transaksi yang nilainya tepat mencapai batas maksimal dapat membantu menghindari keraguan interpretasi dalam proses audit dan mempercepat verifikasi pertanggungjawaban. Meskipun secara aturan dapat dibayarkan melalui UP, memilih LS adalah tindakan kehati-hatian (prinsip prudence) yang meningkatkan kredibilitas dan kepatuhan dalam pengelolaan anggaran, serta menghindari potensi temuan administrasi.


Disclaimer Penting: Batas pembayaran ini mengacu pada PMK No. 190/PMK.05/2012 dan perubahannya. Pengelola keuangan wajib memverifikasi regulasi terbaru di laman resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kementerian Keuangan untuk memastikan kepatuhan terkini.

Final Takeaways: Mastering Kepatuhan Anggaran Melalui Batas UP 2024

Memahami dan menerapkan batasan Uang Persediaan (UP), terutama batas maksimal Rp50.000.000 per transaksi untuk pembayaran kepada penyedia jasa, adalah pilar utama dalam pengelolaan keuangan negara yang bertanggung jawab dan kredibel. Kepatuhan ini tidak hanya menghindari temuan audit, tetapi juga mencerminkan tingkat keahlian dan ketelitian para pengelola perbendaharaan dalam menjalankan mandat fiskal.

3 Langkah Kunci Mencegah Pelanggaran Batas UP

Untuk memastikan setiap transaksi pengadaan jasa mematuhi peraturan, tim keuangan harus fokus pada tiga langkah pencegahan kunci yang ditekankan oleh laporan kepatuhan anggaran:

  1. Selalu Merujuk pada Regulasi PMK Terbaru: Kunci kepatuhan adalah selalu merujuk pada regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru yang mengatur tata cara pembayaran UP, memverifikasi setiap transaksi dengan dasar hukum yang kuat, dan menghindari pemecahan tagihan (splitting). Memiliki sumber informasi yang kredibel dan terbarui adalah bentuk otoritas tertinggi dalam praktik ini.
  2. Verifikasi Pra-Pembayaran yang Ketat: Sebelum melakukan pembayaran, Bendahara dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) harus memastikan nilai faktur penyedia jasa tidak melebihi batas nominal Rp50 juta.
  3. Dokumentasi Transparan: Catat alasan setiap pengajuan pembayaran Langsung (LS) di atas batas UP, memberikan bukti konkret kepatuhan terhadap prosedur.

Tindakan Selanjutnya: Peningkatan Kompetensi Pengelola Keuangan

Pencegahan pelanggaran anggaran memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai sistem pembayaran. Oleh karena itu, segera implementasikan pemisahan pengajuan antara pembayaran UP (maksimal Rp50 Juta) dan pembayaran LS (di atas Rp50 Juta) untuk semua transaksi penyedia jasa. Tindakan ini harus didukung dengan program pelatihan berkala yang meningkatkan kompetensi Bendahara, PPK, dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) mengenai regulasi perbendaharaan terbaru. Hal ini memastikan seluruh tim memiliki pengalaman praktis dan pengetahuan teoritis untuk mengelola UP secara akuntabel dan efisien.

Jasa Pembayaran Online
💬