Akad Syariah untuk Membayar Jasa Tukang: Panduan Hukum Islam
Memilih Akad Syariah yang Tepat untuk Jasa Tukang
Definisi Hukum Islam Tentang Pembayaran Jasa Tukang
Dalam Islam, setiap transaksi bisnis dan jasa harus didasarkan pada prinsip-prinsip syariah untuk memastikan keadilan dan keberkahan. Ketika membayar jasa tukang—baik itu untuk renovasi rumah, pembangunan, atau pekerjaan spesifik lainnya—akad yang paling sesuai dan umum digunakan adalah akad Ijarah. Ijarah didefinisikan sebagai akad sewa jasa, di mana salah satu pihak (pekerja/tukang) menyewakan tenaganya atau keahliannya kepada pihak lain (pemilik proyek) dengan imbalan upah (disebut ujrah) yang telah ditetapkan secara jelas di awal. Transaksi ini secara eksplisit mengatur jenis pekerjaan (manfa’ah) yang disewa dan besaran upah, menjadikannya pilihan utama yang transparan dan diakui oleh para ulama.
Mengenal Prinsip Kredibilitas dan Keahlian dalam Transaksi Upah
Kesuksesan dan keabsahan suatu kontrak jasa syariah sangat bergantung pada prinsip Kredibilitas dan Keahlian (Knowledge and Experience) dari kedua belah pihak. Bagi pemilik proyek, ini berarti memilih tukang yang memiliki track record baik. Bagi tukang, ini berarti menjalankan tugas dengan penuh amanah dan profesionalisme. Artikel ini disusun sebagai panduan langkah-demi-langkah berdasarkan kajian syariah terpercaya untuk memastikan proses pembayaran jasa tukang Anda sah dan sesuai dengan syariah. Tujuannya adalah untuk menghindarkan transaksi dari unsur-unsur terlarang seperti riba (bunga/tambahan tidak sah) dan gharar (ketidakpastian atau spekulasi) yang dapat membatalkan akad. Dengan mengikuti panduan ini, Anda dapat menjamin transaksi yang adil, transparan, dan penuh kepercayaan.
Akad Ijarah: Pilihan Utama untuk Sewa Jasa dan Tenaga Kerja
Akad Ijarah, atau akad sewa jasa, adalah kontrak syariah yang paling mendasar dan umum digunakan untuk mengatur pembayaran jasa tenaga kerja, termasuk jasa tukang bangunan. Dalam konteks ini, Ijarah adalah transaksi di mana satu pihak (pemilik proyek) menyewa manfaat (manfa’ah) dari tenaga kerja pihak lain (tukang) untuk jangka waktu atau output tertentu dengan imbalan upah (ujrah) yang disepakati.
Akad Ijarah merupakan fondasi untuk memastikan transparansi dan keadilan. Ia mengharuskan penentuan upah (ujrah) yang jelas di awal, baik dalam bentuk harian, mingguan, atau borongan per unit pekerjaan. Selain itu, spesifikasi pekerjaan (manfa’ah) yang disewa – misalnya, memasang 100 meter persegi keramik atau bekerja selama 10 hari – juga harus ditetapkan secara eksplisit. Kejelasan ini merupakan kunci untuk mencegah sengketa (gharar) di masa depan dan menjamin kesepakatan yang adil bagi kedua belah pihak. Penggunaan Ijarah terjadi ketika output dan waktu kerja tukang dapat ditentukan dengan pasti, memberikan transparansi penuh dalam hak dan kewajiban.
Rukun dan Syarat Sah Akad Ijarah dalam Kontrak Kerja
Agar sebuah akad Ijarah sah secara syariah, ada beberapa rukun (pilar) dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun utamanya meliputi: A’qid (pihak yang berakad: pemberi kerja dan pekerja), Ma’qud Alaih (objek akad: manfaat jasa dan upah), dan Sighah (pernyataan ijab-qabul).
Untuk membangun kepercayaan dan keahlian, penting untuk merujuk pada pedoman otoritatif. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), dalam beberapa fatwanya, menegaskan keabsahan upah yang dibayarkan berdasarkan waktu (harian/mingguan/bulanan) maupun berdasarkan hasil (borongan/per unit). Ini memberikan fleksibilitas asalkan ujrah tersebut disepakati dan jelas. Misalnya, DSN-MUI memperbolehkan ujrah (upah) dalam Ijarah bersifat tetap atau berubah, asalkan mekanismenya ditentukan di awal kontrak. Dengan demikian, baik kontrak harian maupun borongan (berdasarkan unit hasil) sah selama besaran upah (Ekspertise dan Kredibilitas dari tukang) dan objek kerjanya terdefinisi dengan baik.
Perbedaan Ijarah dengan Jua’lah (Sayembara) dalam Konteks Proyek Pembangunan
Meskipun keduanya melibatkan pembayaran atas jasa, terdapat perbedaan mendasar antara akad Ijarah dan Jua’lah (sayembara atau reward contract). Memahami perbedaan ini sangat penting untuk memilih jenis kontrak yang tepat.
Dalam Akad Ijarah, fokusnya adalah pada penyewaan tenaga kerja atau manfaat waktu dari tukang (manfa’ah), dan upah (ujrah) wajib dibayarkan tanpa memandang hasil akhir jika waktu telah dihabiskan atau manfaat telah diserahkan (misalnya, tukang harian tetap dibayar meski ada kendala di luar kuasanya).
Sebaliknya, Akad Jua’lah digunakan dalam kasus di mana pekerjaan yang dibutuhkan bersifat tidak pasti atau hasilnya sangat spesifik dan memerlukan insentif. Upah dalam Jua’lah (disebut ju’l) hanya dibayarkan jika hasil yang disyaratkan tercapai secara sempurna. Contohnya adalah sayembara desain rumah. Untuk jasa tukang yang pekerjaannya jelas dan terstruktur (seperti membangun tembok atau memasang atap), Ijarah lebih sesuai karena memberikan transparansi dan kejelasan yang lebih tinggi. Ijarah menegakkan prinsip akuntabilitas dan kejelasan kontrak untuk semua pihak.
Akad Istishna’: Kontrak Syariah untuk Proyek Bangunan Borongan
Akad Istishna’ (kontrak pemesanan pembuatan) merupakan solusi syariah yang sangat tepat untuk proyek konstruksi berskala besar atau proyek borongan yang melibatkan penggabungan jasa dan penyediaan material. Dalam akad ini, pihak pemesan (Mustashni’) menugaskan kontraktor atau produsen (Shani’) untuk membuat atau membangun aset tertentu (misalnya, satu unit rumah selesai, perabotan khusus) dengan spesifikasi yang jelas, di mana material dan tenaga kerja sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Pembayaran dalam akad Istishna’ bersifat fleksibel; ia dapat dilakukan secara tunai di muka, dicicil sesuai progres proyek, atau bahkan ditangguhkan hingga serah terima barang atau bangunan selesai, memberikan keringanan arus kas yang signifikan bagi Mustashni'.
Kapan Akad Istishna’ Lebih Tepat Dibandingkan Ijarah atau Salam?
Keputusan untuk menggunakan Istishna’ harus didasarkan pada kompleksitas dan sifat proyek. Akad ini secara spesifik dirancang untuk memfasilitasi proyek yang memerlukan penggabungan antara jasa (tenaga kerja) dan penyediaan material (bahan baku). Misalnya, jika Anda ingin membangun rumah secara borongan (termasuk material), Istishna’ adalah pilihan yang paling sesuai.
- Istishna’ vs. Ijarah: Akad Ijarah (sewa jasa) hanya melibatkan pembayaran upah untuk jasa tukang atau tenaga kerja tanpa material. Jika Anda membeli material sendiri dan hanya menyewa tukang harian atau borongan jasanya saja, Ijarah lebih tepat. Sebaliknya, Istishna’ melibatkan keseluruhan paket: jasa dan material.
- Istishna’ vs. Salam: Akad Salam (pemesanan di muka) memiliki batasan bahwa barang yang dipesan harus sudah ada di pasar dan memiliki standar yang seragam (misalnya, 1 ton beras kualitas A). Istishna’, di sisi lain, digunakan untuk pembuatan barang yang membutuhkan proses fabrikasi atau konstruksi khusus yang belum ada pada saat akad disepakati, seperti pembangunan properti atau manufaktur mesin.
Ketentuan Pembayaran dan Risiko dalam Akad Istishna’ untuk Proyek Besar
Untuk memastikan kontrak berjalan sesuai prinsip syariah dan memberikan rasa aman, ketentuan pembayaran dan risiko harus ditetapkan dengan sangat cermat. Akad Istishna’ menetapkan harga kesepakatan akhir (fixed price) yang tidak dapat diubah setelah akad ditandatangani, meskipun terjadi kenaikan harga material di kemudian hari. Prinsip ini memberikan transparansi penuh dan perlindungan bagi pemesan.
Untuk memastikan keabsahan dan kepatuhan syariah, penting untuk membandingkan ketentuan Istishna’ yang digunakan dengan standar industri. Misalnya, Bank Syariah Mandiri (BSI) dan lembaga keuangan syariah terkemuka lainnya biasanya mengeluarkan panduan kontrak Istishna’ yang ketat, yang mengharuskan spesifikasi teknis proyek dijelaskan secara rinci (jenis material, desain, batasan waktu) untuk menghilangkan elemen ketidakpastian (gharar). Pematuhan terhadap standar ini memastikan transaksi Anda memiliki landasan hukum Islam yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan (Trust dan Expertise).
Tabel berikut memberikan perbandingan ringkas antara ketiga akad ini dalam konteks proyek konstruksi:
| Fitur Kunci | Akad Ijarah (Sewa Jasa) | Akad Salam (Pemesanan di Muka) | Akad Istishna’ (Pemesanan Pembuatan) |
|---|---|---|---|
| Objek Akad | Jasa (Tenaga Kerja) | Barang dengan spesifikasi standar | Pembuatan Barang Baru (Jasa + Material) |
| Waktu Penyerahan | Sesuai durasi kontrak | Ditentukan di masa depan | Ditentukan di masa depan (setelah selesai) |
| Pembayaran | Upah (Ujrah), biasanya saat/setelah jasa | Tunai di muka (Wajib) | Fleksibel (Tunai, Cicil, Tangguh) |
| Konteks Proyek | Jasa tukang harian/borongan jasa | Pembelian material baku (mis. semen, besi) | Kontrak pembangunan rumah borongan |
Akad Istishna’ secara efektif mengalihkan risiko kenaikan harga material kepada kontraktor (Shani’) dan memfasilitasi proyek yang memerlukan penggabungan jasa dan material, dengan harga yang pasti dan pembayaran yang fleksibel. Kontrak ini menciptakan sebuah struktur yang adil dan transparan untuk proyek pembangunan borongan.
Prinsip Keadilan dan Transparansi dalam Penentuan Upah (Ujrah)
Penentuan upah atau ujrah dalam akad syariah, khususnya Ijarah (sewa jasa), bukanlah sekadar transaksi ekonomi, tetapi merupakan bagian integral dari sistem etika Islam yang menjunjung tinggi keadilan sosial. Prinsip utama yang harus dipastikan adalah tidak adanya eksploitasi baik dari pihak pemberi kerja maupun pekerja.
Keadilan dalam penentuan upah berakar pada konsep ‘Urf, yaitu kebiasaan atau praktik yang diterima secara umum oleh masyarakat setempat. Upah yang disepakati harus mencerminkan nilai yang wajar (harga pasar) untuk jenis pekerjaan dan tingkat kesulitan yang dilakukan di area tersebut. Dengan berpegang pada ‘Urf, kedua belah pihak dapat yakin bahwa nilai yang dipertukarkan adalah adil, sehingga menghilangkan unsur ketidakpastian (gharar) dan mencegah terjadinya kezaliman atau eksploitasi. Upah yang ditetapkan secara transparan di awal, sesuai dengan standar profesional yang berlaku, merupakan fondasi dari hubungan kerja yang berlandaskan kredibilitas dan kepercayaan.
Menetapkan Upah yang Adil: Borongan, Harian, atau Campuran?
Dalam praktik lapangan, terdapat beberapa metode umum untuk membayar jasa tukang: sistem borongan (berdasarkan hasil proyek selesai), sistem harian (berdasarkan waktu kerja), atau kombinasi keduanya. Secara syariah, ketiga metode ini pada dasarnya sah selama upah (ujrah) telah ditentukan secara eksplisit di awal kontrak dan tidak mengandung unsur ketidakpastian.
- Sistem Borongan (Proyek Selesai): Sering digunakan dalam akad Istishna’ atau Ijarah untuk proyek besar. Upah total ditetapkan berdasarkan hasil akhir yang disepakati (misalnya, satu kamar mandi selesai). Keunggulannya adalah kepastian biaya bagi pemberi kerja.
- Sistem Harian (Waktu Kerja): Lebih umum dalam Ijarah untuk pekerjaan yang variabel atau jangka pendek. Upah ditetapkan per hari atau per jam. Kelemahannya adalah perlunya pengawasan waktu yang ketat.
Apapun metode yang dipilih, esensi dari keabsahan syariahnya terletak pada transparansi dan kesepakatan mufakat. Jika upah harian dipilih, jumlah per hari harus jelas. Jika borongan, total upah untuk lingkup kerja yang spesifik harus disepakati dan tertulis, memastikan bahwa pembayaran dilakukan atas dasar keahlian dan tanggung jawab yang jelas.
Pentingnya Keahlian dan Pengalaman (Kredibilitas) Tukang dalam Negosiasi Upah
Tingkat keahlian dan pengalaman (Expertise) seorang tukang secara langsung berkorelasi dengan kualitas dan efisiensi hasil kerjanya. Dalam negosiasi ujrah, penting untuk mengakui bahwa pekerja dengan tingkat kredibilitas yang lebih tinggi berhak atas upah yang lebih tinggi. Ini merupakan refleksi keadilan dalam menilai manfa’ah (manfaat) yang disewakan. Lembaga-lembaga keuangan syariah terkemuka sering menekankan bahwa penentuan harga jasa harus didasarkan pada standar industri, yang secara inheren mempertimbangkan kualifikasi.
Berikut adalah tabel perbandingan yang mengilustrasikan korelasi antara tingkat keahlian tukang dan kisaran upah yang adil (ujrah):
| Tingkat Keahlian | Deskripsi Kredibilitas | Contoh Indikator | Implikasi pada Upah (Ujrah) |
|---|---|---|---|
| Tukang Pembantu | Minim keahlian, bekerja di bawah arahan. | Tanpa sertifikasi, pengalaman < 1 tahun. | Upah Dasar (sesuai UMR atau ‘Urf terendah). |
| Tukang Mahir | Mampu bekerja mandiri, menguasai satu bidang. | Pengalaman 3-5 tahun, hasil teruji. | Upah Standar Industri (di atas Upah Dasar). |
| Kepala Tukang / Mandor | Memiliki sertifikasi, pengalaman > 5 tahun, mampu memimpin tim. | Sertifikasi BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) atau portofolio besar. | Upah Premium (mencerminkan keahlian dan tanggung jawab). |
Jaminan Keadilan: Pembayaran Upah Tepat Waktu
Salah satu pilar utama dalam membangun kepercayaan (Trust) dan kredibilitas dalam transaksi jasa syariah adalah menjamin pembayaran upah tepat waktu. Dalam Islam, menunda pembayaran hak pekerja tanpa alasan yang sah adalah bentuk kezaliman. Ini secara tegas dilarang oleh Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.”
Hadis ini menekankan aspek keadilan dan kemanusiaan dalam hubungan kerja. Implementasinya dalam kontrak kerja adalah:
- Jadwal Pembayaran yang Jelas: Kontrak harus mencantumkan tanggal pembayaran yang spesifik, baik itu mingguan, bulanan, atau berdasarkan progress proyek (untuk borongan).
- Keterbukaan Komunikasi: Jika terjadi kendala pembayaran, pemberi kerja harus segera berkomunikasi secara transparan dengan tukang.
Dengan mematuhi prinsip pembayaran tepat waktu, pemberi kerja tidak hanya menjalankan ajaran agama tetapi juga secara signifikan meningkatkan kepercayaan dan motivasi pekerja, yang pada akhirnya akan berdampak positif pada kualitas hasil kerja.
Menghindari Elemen Ketidakpastian (Gharar) dan Kezaliman dalam Kontrak Jasa
Dalam kerangka akad syariah untuk membayar jasa tukang, tujuan utama dari kontrak adalah menghilangkan potensi sengketa dan kerugian di masa depan. Dua pilar penting yang harus dihindari adalah Gharar (ketidakpastian yang berlebihan) dan Zalim (kezaliman atau eksploitasi). Ketidakpastian mengenai hasil akhir, batasan waktu, atau bahkan penentuan upah pada akhirnya dapat membatalkan keabsahan akad. Oleh karena itu, semua elemen krusial dari pekerjaan harus ditentukan secara eksplisit dan terperinci di awal kesepakatan, memberikan transparansi penuh bagi pemilik proyek dan tukang. Kontrak yang jelas adalah manifestasi dari prinsip Amanah (kepercayaan) dan Maslahah (manfaat umum) dalam Islam.
Spesifikasi Pekerjaan (Manfa’ah): Detail yang Harus Tertulis dalam Kontrak
Pekerjaan yang menjadi objek sewa jasa (Manfa’ah) dalam akad Ijarah atau hasil akhir dalam akad Istishna’ tidak boleh hanya didefinisikan secara umum. Kontrak harus mendetailkan batasan waktu yang telah disepakati untuk penyelesaian, hasil yang diharapkan (spesifikasi teknis), dan tanggung jawab spesifik dari setiap pihak. Misalnya, jika pekerjaan adalah pemasangan keramik, kontrak harus menyebutkan jenis keramik, pola pemasangan, dan standar kualitas penyelesaian.
Detail-detail ini secara langsung berfungsi untuk meminimalkan Gharar dan sengketa di kemudian hari. Ketika spesifikasi teknis dan harapan hasil kerja tertulis dengan jelas—mulai dari dimensi, material yang digunakan, hingga finish-nya—pemilik proyek dan tukang memiliki titik referensi yang pasti. Hal ini memastikan bahwa pemilik proyek menerima apa yang ia bayar dan tukang tahu persis apa yang menjadi kewajibannya, sehingga membangun kepercayaan yang kokoh dalam transaksi.
Mengatasi Pembatalan Kontrak atau Gagal Selesai Sesuai Panduan Syariah
Meskipun akad dibuat dengan niat baik, risiko pembatalan kontrak atau ketidaksesuaian kualitas selalu ada. Untuk menjaga keadilan dan kepercayaan dalam situasi seperti ini, perlu ada mekanisme penyelesaian yang syar’i. Jika terdapat keterlambatan penyelesaian atau ketidaksesuaian kualitas hasil kerja (misalnya, bangunan tidak sesuai spesifikasi teknis yang disepakati), pemilik proyek berhak menuntut kompensasi.
Namun, denda keterlambatan (yang menyerupai riba) dilarang dalam syariah. Sebagai gantinya, solusi yang diperbolehkan adalah melalui skema ta’widh (ganti rugi wajar). Misalnya, dalam kontrak dapat dicantumkan klausul seperti: “Apabila terjadi keterlambatan penyelesaian proyek lebih dari 30 hari kalender, Tukang/Kontraktor bersedia membayar ta’widh sejumlah kerugian riil (misalnya, biaya sewa tempat tinggal sementara yang timbul akibat keterlambatan) namun tidak melebihi persentase tertentu dari nilai kontrak.”
Klausul kontrak yang jelas mengenai penalti wajar (ta’widh) karena keterlambatan atau ketidaksesuaian kualitas ini berfungsi sebagai penjamin amanah (integritas). Dengan adanya standar ini, kedua pihak dapat melihat bahwa kontrak didukung oleh sanksi yang adil dan non-eksploitatif, yang mengukuhkan kredibilitas perjanjian dalam kacamata hukum Islam. Ketidakpastian pada aspek ini pun hilang, karena konsekuensi dari kegagalan sudah disepakati di awal, menjaga keahlian dan tanggung jawab tukang terhadap proyek yang dipercayakan padanya.
Pertanyaan Umum (FAQ) Tentang Pembayaran Jasa Tukang dalam Islam
Q1. Apakah Boleh Memberikan Uang Muka (DP) kepada Tukang dalam Akad Ijarah?
Memberikan uang muka, atau down payment (DP), kepada pekerja atau kontraktor dalam konteks akad sewa jasa (Ijarah) atau kontrak pemesanan pembuatan barang (Istishna’) adalah diperbolehkan dan lazim dalam praktik muamalah syariah. Uang muka ini berfungsi sebagai pengikat kesepakatan dan menunjukkan keseriusan pihak yang menyewa jasa (pemilik proyek). Secara hukum Islam, uang muka yang diserahkan tersebut secara otomatis menjadi bagian tak terpisahkan dari total upah (ujrah) yang telah disepakati dalam akad Ijarah atau harga kesepakatan akhir dalam akad Istishna’.
Persetujuan ini harus dicatat secara eksplisit dalam kontrak, memastikan transparansi penuh dan menghilangkan unsur ketidakpastian (gharar). Sebagai contoh kredibilitas dalam transaksi ini, Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) tentang Istishna’ (No. 06/DSN-MUI/IV/2000) secara khusus membolehkan pembayaran dilakukan secara bertahap, termasuk pembayaran di muka, selama spesifikasi proyek sudah jelas dan disepakati. Hal ini meningkatkan kepercayaan kedua belah pihak bahwa proyek akan dilanjutkan sesuai rencana.
Q2. Bagaimana Hukum Jika Kualitas Hasil Kerja Tukang Tidak Sesuai Spesifikasi Awal?
Apabila kualitas hasil kerja tukang (atau kontraktor) ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi teknis (manfa’ah) yang telah disepakati secara tertulis dalam kontrak, pemilik proyek memiliki hak untuk menuntut penyelesaian yang adil dan sesuai syariah.
Prinsip Keadilan (Trust) mensyaratkan bahwa setiap pihak menerima haknya sesuai kewajiban yang ditunaikan. Jika hasil kerja cacat atau kurang dari standar yang disepakati, pemilik proyek memiliki dua opsi utama, yang keduanya harus diselesaikan melalui negosiasi yang jujur:
- Meminta Perbaikan (Ishlah): Tukang harus memperbaiki pekerjaannya hingga mencapai kualitas yang disepakati tanpa biaya tambahan, karena upah (ujrah) yang dibayarkan adalah untuk hasil yang sempurna.
- Menuntut Pengurangan Upah (Arsy): Jika perbaikan tidak mungkin atau tidak praktis, pemilik proyek berhak meminta pengurangan upah (Arsy) yang besarnya disesuaikan dengan tingkat kekurangan atau kerugian yang diderita akibat kualitas yang tidak sesuai.
Dalam konteks keahlian dan pengalaman (Expertise), praktik terbaik adalah mencantumkan klausul dalam kontrak yang secara jelas mendefinisikan standar kualitas dan prosedur penyelesaian sengketa mutu. Bank Syariah terkemuka seringkali menggunakan panduan ini, menekankan bahwa kegagalan untuk memenuhi spesifikasi merupakan pelanggaran terhadap amanah dan dapat memicu penalti wajar (ta’widh), namun tidak dalam bentuk denda berbunga (riba).
Final Takeaways: Menguasai Transaksi Jasa yang Halal dan Adil
Tiga Langkah Kunci Memastikan Keabsahan Akad Pembayaran Jasa Tukang
Untuk memastikan setiap transaksi pembayaran jasa tukang Anda sah secara syariah dan bebas dari unsur ketidakpastian (gharar), fokuslah pada tiga pilar utama. Selalu pilih akad Ijarah (sewa jasa) untuk pekerjaan harian atau borongan yang spesifik, atau Akad Istishna’ (kontrak pemesanan) untuk proyek pembangunan rumah secara menyeluruh (borongan material dan jasa). Kunci utama dalam kedua akad ini adalah penentuan upah (ujrah) yang jelas dan disepakati di awal, diikuti dengan spesifikasi kerja yang terperinci mengenai manfa’ah (hasil yang disewa). Terakhir, komitmen untuk pembayaran tepat waktu sesuai hadis Nabi Muhammad SAW adalah prinsip keadilan dan kepercayaan yang tidak boleh dilanggar.
Tingkatkan Kredibilitas dan Kepuasan dengan Prinsip Syariah
Menerapkan prinsip syariah bukan hanya tentang kepatuhan agama, tetapi juga tentang membangun kredibilitas dan kepuasan (Amanah) yang berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini meminimalkan sengketa dan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan (transparan dan adil). Menguasai transaksi jasa yang halal ini membawa Anda pada langkah selanjutnya: membuat template kontrak baku. Template ini harus mencakup semua rukun dan syarat sah akad yang telah dibahas—mulai dari detail ujrah hingga spesifikasi teknis dan ketentuan penyelesaian sengketa—untuk memastikan setiap proyek berjalan mulus dan sesuai tuntunan Islam.